Ilustrasi, Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bersikap dan bertindak netral. (Foto: Istimewa) |
Oleh karena, ini akan berpotensi menjadi alasan pembenar
untuk pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan
politik di dalam penyelenggaraan Pemilu, dan berpotensi membuat proses penyelenggaraan
Pemilu dipenuhi dengan kecurangan, dan menimbulkan penyelenggaraan Pemilu yang
tidak fair dan tidak demokratis.
Hal itu disampaikan Perludem dalam Siaran Pers yang diterima
oleh TangerangNet.Com, Kamis (25/1/2024) sekaitan dengan pernyataan Presiden
Jokowi yang menyatakan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak di dalam
Pemilihan Presiden, sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara.
Presiden juga menyatakan ini terkait dengan hak politik
warga negara dan jabatan politik yang dipegang oleh masing-masing pejabat Negara.
Direktur Perludem Khoirunnisa Agustyati mendesak pula Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia (RI) untuk secara tegas dan bertanggungjawab
menyelesaikan dan menindak seluruh bentuk ketidaknetralan dan keberpihakan
aparatur negara dan pejabat negara, yang secara terbuka menguntungkan peserta Pemilu
tertentu, dan menindak seluruh tindakan yang diduga memanfaatkan program dan
tindakan pemerintah yang menguntungkan peserta Pemilu tertentu.
“Kami mendesak kepada seluruh pejabat negara, seluruh aparatur
negara untuk menghentikan aktifitas yang mengarah pada keberpihakan,
menyalahgunakan program pemerintah yang mengarah kepada dukungan pada peserta Pemilu
tertentu,” ucap Khoirunnisa yang didampingi oleh Manager Program Perludem Fadli
Ramadhanil.
Khoirunnisa menyebutkan Presiden juga menyatakan ini terkait
dengan hak politik warga negara dan jabatan politik yang dipegang oleh
masing-masing pejabat negara.
“Merespon pernyataan Presiden Jokowi tersebut, kami
menyatakan Pernyataan Presiden Jokowi sangat dangkal,” tutur Khoirunnisa.
Menurut Khoirunnisa, pernyatan Presiden sangat dangkal, dan
berpotensi akan menjadi pembenar bagi Presiden sendiri, Menteri, dan seluruh
pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan
keberpihakan pada dalam Pemilu 2024.
Apalagi Presiden Jokowi, kata Khoirunnisa, jelas punya
konflik kepentingan langsung dengan pemenangan Pemilu 2024. Sebab anak
kandungnya, Gibran Rakabuming Raka adalah Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2,
mendampingi Prabowo Subianto. Padahal, netralitas aparatur negara, adalah salah
satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, fair, dan demokratis.
Pernyataan Presiden Jokowi dipastikan hanya merujuk pada
ketentuan Pasal 281 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi:
“Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden,
Menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil
walikota harus memenuhi ketentuan:
a. Tidak menggunakan failitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas
pengamanan bagi pejabat negara ebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundangundangan; dan
b. Menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Padahal, kata
Khoirunnisa, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 7 Tahun
2017, khsusnya di dalam Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 terdapat larangan kepada
“pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan
negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan
tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama
masa kampanye”.
Dalam konteks ini, imbuh Khoirunnisa, Presiden Jokowi dan seluruh
menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi Presiden dan
Pejabat Negara lain, termasuk Menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat
keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu. Apalagi dilakuakn di
dalam masa kampanye.
“Dalam konteks ini, jika ada tindakan Presiden, apapun itu bentuknya,
jika dilakukan tidak dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara, tetapi menguntungkan
peserta Pemilu tertentu, itu jelas adalah pelanggaran Pemilu,” ujar Khoirunnisa.
Khoirunnisa menjelaskan termasuk tindakan Menteri, yang
melakukan tindakan tertentu, yang menguntungkan peserta Pemilu tertentu, itu
adalah pelanggaran kampanye pemilu.
“Apalagi tindakan itu dilakukan tidak dalam cuti di luar
tanggungan Negara,” ugkap Khoirunnisa.
Khoirunnisa merujuk pada Pasal 283 ayat (1) UU No. 7 Tahun
2017 terdapat ketentuan yang mengatur soal pejabat negara yang serta aparatur
sipil negara yang dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keperbihakan
kepada peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye.
Ketentuan itu berbuyi “Pejabat negara, pejabat structural,
dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya
dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta
pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye”.
Menurut Khoirunnisa, ketentun ini jelas ingin memastikan,
pejabat negara, apalagi selevel Presiden dan Menteri untuk tidak melakukan
kegiatan yang mengarah pada keberpiakan pada peserta Pemilu tertentu. Bahkan
larangan itu diberikan untuk ruang lingkup waktu yang lebih luas, sebelum,
selama, dan sesudah kampanye.
“Kerangka hukum di dalam UU Pemilu dapat disimpulkan ingin
memastikan semua pejabat negara yang punya akses terhadap program, anggaran,
dan fasilitas negara untuk tidak menyalahgunakan jabatannya dengan
menguntungkan peserta Pemilu tertentu,” ucap Khoirunnisa. (*/pur)
0 Comments