Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perludem Desak Presiden Jokowi, Tarik Pernyataan Boleh Berpihak Saat Kampanye Pilpres

Ilustrasi, Aparatur Sipil Negara (ASN) 
harus bersikap dan bertindak netral. 
(Foto: Istimewa)  


NET - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak untuk segera Presiden Joko Widodo (Jokowi) menarik pernyataan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak pada Pemilihan Umum (Pemilu).

Oleh karena, ini akan berpotensi menjadi alasan pembenar untuk pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan Pemilu, dan berpotensi membuat proses penyelenggaraan Pemilu dipenuhi dengan kecurangan, dan menimbulkan penyelenggaraan Pemilu yang tidak fair dan tidak demokratis.

Hal itu disampaikan Perludem dalam Siaran Pers yang diterima oleh TangerangNet.Com, Kamis (25/1/2024) sekaitan dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak di dalam Pemilihan Presiden, sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara.

Presiden juga menyatakan ini terkait dengan hak politik warga negara dan jabatan politik yang dipegang oleh masing-masing pejabat Negara.

Direktur Perludem Khoirunnisa Agustyati mendesak pula Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia (RI) untuk secara tegas dan bertanggungjawab menyelesaikan dan menindak seluruh bentuk ketidaknetralan dan keberpihakan aparatur negara dan pejabat negara, yang secara terbuka menguntungkan peserta Pemilu tertentu, dan menindak seluruh tindakan yang diduga memanfaatkan program dan tindakan pemerintah yang menguntungkan peserta Pemilu tertentu.

“Kami mendesak kepada seluruh pejabat negara, seluruh aparatur negara untuk menghentikan aktifitas yang mengarah pada keberpihakan, menyalahgunakan program pemerintah yang mengarah kepada dukungan pada peserta Pemilu tertentu,” ucap Khoirunnisa yang didampingi oleh Manager Program Perludem Fadli Ramadhanil.

Khoirunnisa menyebutkan Presiden juga menyatakan ini terkait dengan hak politik warga negara dan jabatan politik yang dipegang oleh masing-masing pejabat negara.

“Merespon pernyataan Presiden Jokowi tersebut, kami menyatakan Pernyataan Presiden Jokowi sangat dangkal,” tutur Khoirunnisa.

Menurut Khoirunnisa, pernyatan Presiden sangat dangkal, dan berpotensi akan menjadi pembenar bagi Presiden sendiri, Menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan pada dalam Pemilu 2024.

Apalagi Presiden Jokowi, kata Khoirunnisa, jelas punya konflik kepentingan langsung dengan pemenangan Pemilu 2024. Sebab anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka adalah Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, mendampingi Prabowo Subianto. Padahal, netralitas aparatur negara, adalah salah satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, fair, dan demokratis.

Pernyataan Presiden Jokowi dipastikan hanya merujuk pada ketentuan Pasal 281 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi:

“Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:

a. Tidak menggunakan failitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara ebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan; dan

b. Menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Padahal,  kata Khoirunnisa, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 7 Tahun 2017, khsusnya di dalam Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 terdapat larangan kepada “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.

Dalam konteks ini, imbuh Khoirunnisa, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi Presiden dan Pejabat Negara lain, termasuk Menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu. Apalagi dilakuakn di dalam masa kampanye.

“Dalam konteks ini, jika ada tindakan Presiden, apapun itu bentuknya, jika dilakukan tidak dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara, tetapi menguntungkan peserta Pemilu tertentu, itu jelas adalah pelanggaran Pemilu,” ujar Khoirunnisa.

Khoirunnisa menjelaskan termasuk tindakan Menteri, yang melakukan tindakan tertentu, yang menguntungkan peserta Pemilu tertentu, itu adalah pelanggaran kampanye pemilu.

“Apalagi tindakan itu dilakukan tidak dalam cuti di luar tanggungan Negara,” ugkap Khoirunnisa.

Khoirunnisa merujuk pada Pasal 283 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 terdapat ketentuan yang mengatur soal pejabat negara yang serta aparatur sipil negara yang dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keperbihakan kepada peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye.

Ketentuan itu berbuyi “Pejabat negara, pejabat structural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye”.

Menurut Khoirunnisa, ketentun ini jelas ingin memastikan, pejabat negara, apalagi selevel Presiden dan Menteri untuk tidak melakukan kegiatan yang mengarah pada keberpiakan pada peserta Pemilu tertentu. Bahkan larangan itu diberikan untuk ruang lingkup waktu yang lebih luas, sebelum, selama, dan sesudah kampanye.

“Kerangka hukum di dalam UU Pemilu dapat disimpulkan ingin memastikan semua pejabat negara yang punya akses terhadap program, anggaran, dan fasilitas negara untuk tidak menyalahgunakan jabatannya dengan menguntungkan peserta Pemilu tertentu,” ucap Khoirunnisa. (*/pur)

 


Post a Comment

0 Comments