![]() |
Ahmad Khozinudin (Foto: Ist/tinta.media.web.id) |
NET – MULANYA penulis berfikir, terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90 yang memberikan jalan lapang bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam Pilpres 2024 adalah puncak dari kengawuran rezim Joko Widodo (Jokowi) mengeksploitasi (baca: menyalahgunakan) kekuasaan untuk kepentingan melanggengkan dinasti politiknya. Nyatanya, itu hanya awal saja.
Rupanya, praktik penyalahgunaan wewenang untuk memberikan
karpet merah bagi putra mahkotanya, masih berlanjut. Satu per satu, putra
mahkota Jokowi dinaikan ke tampuk kekuasaan.
Bukan seperti putra mahkota dalam sistem kerajaan yang
bersifat tunggal, putra mahkota dalam sistem Republik ala Kerajaan Jokowi ini
tak cukup satu. Setelah sukses menggendong Gibran menuju Pilpres 2024 melalui
putusan MK (dan skenario dari rencana ini adalah hingga pelantikan Gibran
menjadi Wapres RI), kini Jokowi menyiapkan karpet merah untuk putranya yang
lain.
Adalah Kaesang Putra Pangarep, anak kedua Jokowi yang karir
politiknya moncer naik menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
dalam waktu dua hari, berpotensi dinaikan posisinya menduduki tampuk kekuasaan
Gubernur Jakarta, melalui penerbitan RUU DKJ (Rencana Undang-Undang Daerah
Khusus Jakarta). Pasalnya, dalam Pasal 10 RUU DKJ tegas dinyatakan :
Pasal 10
"Provinsi Daerah Khusus Jakarta dipimpin oleh gubernur
dan dibantu oleh wakil gubernur."
"Gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan
diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD."
"Masa jabatan gubernur dan wakil gubernur selama lima
tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan
diangkat kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian gubernur dan
wakil gubernur sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah."
Kekuasaan Presiden menjadi full dan bisa menetapkan siapapun
Gubernur yang dikehendakinya. Kaesang bisa diusulkan melalui Fraksi PSI DK
Jakarta yang memang memiliki kursi parlemen di DPRD DK Jakarta (saat ini DKI
Jakarta).
Partai pengusung Prabowo - Gibran, yakni Golkar, Gerindra,
PAN, hingga Demokrat bisa saja akan taklid buta, ikut ramai-ramai mengusung
Kaesang sebagai pejabat Gubernur DK Jakarta. Alasan gampang saja dibuat,
seperti mudahnya membuat alasan untuk terbitnya Putusan MK No. 90.
Saat istana dikonfirmasi tentang potensi skenario menaikan
Kaesang sebagai Gubernur DK Jakarta via RUU DKJ, istana mudah saja membantah.
Istana tinggal katakan, itu kewenangan DPR dan RUU DKJ inisiatif DPR. Persis,
gaya cuci tangan rezim Jokowi yang tak mau tanggung jawab pelemahan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdalih RUU KPK yang menjadi UU No. 19/2019 adalah
inisiatif DPR.
Setelah RUU DKJ diundangkan (sekitar Februari 2024), maka
praktis kewenangan menentukan Gubernur DKI Jakarta ada Pada Presiden Jokowi,
bukan pada organ Pilkada. Itu artinya, langkah penerbitan RUU DKJ ini lebih
praktis untuk menaikan Kaesang ke tampuk kekuasaan Gubernur Jakarta, ketimbang
melalui skenario memajukan Pilkada DKI Jakarta dari bulan November 2024 ke
September 2024 melalui penerbitan Perppu, yang gagal karena ditentang Parpol,
karena dianggap modus untuk menaikan Kaesang menjadi Gubernur Jakarta.
Nah, RUU DKJ ini adalah Short
Cut paling aman untuk menyiapkan karpet merah sang pangeran menuju tampuk
kekuasaan Gubernur Jakarta. Langkah ini,
lebih spektakuler ketimbang Putusan Paman Usman yang meloloskan Gibran menuju
Pilpres 2024.
Dari sisi kewenangan dan tanggungjawab, istana bisa lempar
tanggungjawab RUU DKJ itu kewenangan DPR RI. Berbeda dengan memajukan jadwal
Pilkada via Perppu, modus menaikan putra mahkota Kaesang sangat kentara karena
Perppu produk Presiden.
Lagi pula, RUU DKJ ini langsung memberikan otoritas kepada
Presiden Jokowi untuk mengangkat Gubernur DK Jakarta. Sehingga, karpet merahnya
lebih praktis ketimbang modus memajukan jadwal Pilkada yang harus
mempertaruhkan Kaesang via proses Pilkada, yang butuh biaya lebih besar dan
tahan malu lebih lama (potensi Kaesang tak siap debat seperti kakaknya,
Gibran).
Analisa ini tentu saja sangat dapat dipertanggungjawabkan
secara logika. Mengingat, jika alasan terbitnya RUU DKJ an sich menindaklanjuti amanat UU IKN, tentu kekhususan Jakarta
tidak perlu inklud dengan memberikan
wewenang kepada Presiden mengangkat dan memberhentikan pejabat Gubernur DKI
Jakarta.
Kewenangan Presiden dari RUU DKJ inilah, yang bisa dijadikan
celah Abuse Of Power oleh Jokowi, untuk menaikan Putra Mahkota Kedua Kaesang
Pangarep, menuju kursi Gubernur DK Jakarta. (**)
Penulis adalah Sastrawan Politik
0 Comments