![]() |
Erros Djarot. (Foto: Istimewa/medcom.id) |
PENGANTAR: Bayangkan Prabowo-Gibran menang... bagaimana bila
sebelum Presiden pemenang Pilpres 2024 sempat dilantik, atas rencana Tuhan di
luar kuasa manusia, atau rencana lain (tersembunyi), Presiden dinyatakan berhalangan
tetap? Mengerikan..! Hanya ada satu kata: LAWAN..!!!
Anak-anak sangat menyukai kembang api. Percikan apinya indah
dan sangat menyenangkan untuk dipandang mata. Namun, bermain kembang api di
arena yang rawan akan terjadinya kebakaran, sangat dilarang.
Ketika ada seseorang bermain kembang api di arena tumpukan
drum atau jerigen berisikan bensin misalnya, para petugas setempat pasti
bereaksi keras dan melarang pelaku agar segera menghentikan permainan kembang
apinya. Demi menenangkan masyarakat yang resah, terancam oleh kemungkinan
datangnya bahaya kebakaran.
Ilustrasi di atas rasanya sangat tepat untuk menggambarkan
peristiwa tragedi politik yang belakangan terjadi di negeri kita. Masyarakat
terdidik yang tak ingin menyaksikan negerinya dilanda kebakaran, serentak
bangkit berusaha menghentikan langkah Jokowi yang tengah bermain dan memainkan
‘kembang api’ politiknya. Karena percikan api politik yang dimainkan Presiden
RI Joko Widodo (Jokowi) ini, terbukti telah menyulut terjadinya ‘kebakaran’ di
rumah konstitusi negara (baca: Mahkamah Konstitusi).
Celakanya, masih banyak awam yang terhibur dan menyukai
gemerlap percikan kembang api yang dimainkan Jokowi dengan sangat indahnya ini.
Padahal permainan kembang api politik Jokowi ini dinilai sangat berbahaya. Para
akademisi, agamawan dan budayawan yang masih sehat jiwa dan pikiran, turut
berusaha menghentikan permainan kembang api politik Jokowi ini.
Secepatnya, sebelum terjadinya kebakaran nasional yang
meluas dan berpotensi menimbulkan kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang sangat mendasar. Kembang api politik Jokowi yang telah membuat keonaran
ini saya beri label dengan sebutan, ‘Kembang api Politik Dinasti Jokowi’.
Sekarang semuanya sudah terang benderang, Jokowi bertekad
menjadikan Prabowo Subiyanto sebagai Presiden RI ke-8, di mana Gibran
Rakabuming Raka sang putra sebagai wakilnya. Dengan langkah ini, terbuka lebar
kemungkinan digunakannya mesin politik negara dalam usaha Jokowi mencapai
tujuan kemenangan politik dinastinya.
Dampak dari penyalahgunaan kekuasan ini adalah terjadinya
pergeseran Indonesia dari negara berdasarkan hukum, berganti menjadi negara
berdasarkan kekuasaan. Penggiringan ke arah mimpi buruk ini sudah terasakan
gejalanya.
Di sisi lain, sebagai perenungan, betapa mirisnya hati kita
menyaksikan betapa tragisnya nasib Partai Golongan Karya (Golkar) dalam persiapan
Pemilihan Umum-Pemilihan Presiden (Pemilu-Pilpres) 2024 ini. Sebagai organisasi
politik yang mempunyai sejarah panjang selama lebih dari setengah abad, bisa
begitu mudah dipecundangi dan dikerangkeng hingga berada dalam kegelapan yang
mencekam. Hanya dalam waktu sekejap, hitungan hari, Golkar sebagai partai
besar, dapat dengan begitu mudah dirontokkan oleh seorang bocah bernama Gibran.
Anak dari seorang Presiden sangat berkuasa, Jokowi. Sementara Ketua Umum dan
para fungsionaris partai Golkar lainnya, hanya mampu tertunduk diam tak ubahnya
seperti para tawanan perang yang tengah berada di penjara tentara musuh.
Pemandangan yang ditampilkan di atas panggung politik
nasional kita ini, persis seperti suguhan adegan dalam film ‘The Last Emperor,
Pu Yi’, karya sutradara Italia, Bernardo Bertolucci. Terkhusus dalam adegan
seorang bocah balita yang dinobatkan menjadi Emperor berdasarkan garis
keturunan-dinasti. Pada upacara penobatan sang Emperor Pu Yi, para jenderal dan
petinggi istana yang jauh lebih tua, lebih matang, dan jauh lebih berwibawa, harus
dan wajib merunduk menyembah kepada sang bocah, Emperor Pu Yi.
Teringat akan adegan khusus di film Emperor Pu Yi ini,
membuat bulu kuduk berdiri. Karena kali ini adegan tersebut terjadi di depan
mata, dalam realita kehidupan di dunia politik Indonesia hari ini. Betapa
menyedihkannya, menyaksikan para Ketua Umum partai yang jauh lebih matang dan
berwibawa, hanya mampu berdiri terpaku, menundukkan kepala dan membungkuk
menghormati kehadiran seorang Gibran. Sang pemimpin baru, fresh from the oven,
kader baru Golkar yang sangat super spesial.
Saat momen itu terjadi, dari sorot wajah para petinggi
partai pendukung Cawapres Gibran, terkesan seperti dalam suatu tekanan
tertentu. Sehingga memancing keingin tahuan kita; ada apa gerangan di balik
sorot wajah yang menyimpan misteri itu?
Apalagi saat menatap wajah seorang tokoh akademisi yang juga
ketua partai pendukung Gibran. Ia terlihat gelisah dan ekspresi wajahnya sangat
mengenaskan ketika wajib menghormati sang bocah pemimpin barunya.
Menyedihkannya, terkesan ia seperti rela menggadaikan harga
diri sebagai seorang intelektual demi sepenggal, atau bahkan secuil kekuasaan.
Sungguh sangat menyedihkan.
Tapi yang lebih menyedihkan lagi bahkan mengerikan,
membayangkan ketika pasangan Prabowo-Gibran menang, terjadi sesuatu yang sangat
tidak diharapkan. Bagaimana bila sebelum Presiden pemenang Pilpres 2024 sempat
dilantik, atas rencana Tuhan di luar kuasa manusia, atau rencana lain
(tersembunyi), Presiden dinyatakan berhalangan tetap.
Bayangkan saja, bagaimana Gibran sebagai Wali Kota (Dati II
saja), selesai pun belum. Di jenjang kepemimpinan tingkat Gubernuran pun, belum
pernah. Di sirkel kepemimpinan politik tingkat wilayah provinsi juga belum, dan
apa lagi tingkat Nasional. Tapi dikarenakan calon Presiden berhalangan tetap,
Gibran wajib diajukan menjadi kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
Tanpa pengalaman dan tanpa pergaulan dan penguasaan politiik tingkat Nasional
secara baik. Juga tanpa kematangan jiwa dan pikiran yang harus dimiliki seorang
Presiden Indonesia, sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara.
Nah, hanya jiwa dan akal bermasalah saja yang membiarkan hal
luar biasa ini dianggap tidak masalah dan nggak apa-apa bila terjadi. Kan ada
Jokowi..?! Begitu mungkin pemikiran para pendukungnya yang sudah kehilangan nalar
sehat. Sungguh keterlaluan!
Sialnya, sudah jelas-jelas peristiwa politik ini sangat
miskin budi pekerti, dan rendah pikiran begini, masih ada saja yang memuliakan
perilaku tak terpuji ini. Dengan alasan Jokowi tengah menyelamatkan Indonesia
lah, dan alasan lain yang kian membuat orang-orang waras, menjadi sakit perut
dan malu mendengarnya.
Dalam keadaan seperti ini, kepada para petinggi partai
penguasa (PDIP) yang belakangan ini kian kehilangan kekuasaaan dan penguasaan
terhadap banyak hal, mulailah rendah hati dan segera kembali pada jati diri
sebagai partainya rakyat, menjadi institusi petugas rakyat yang sejati dan bermartabat.
Agar rakyat yang anti tabiat Malin Kundang dan penghianatan
terselubung, dapat dengan tegas menyatakan sikap: kami berdiri di belakang
barisan rakyat para patriot yang tengah berjuang membebaskan Indonesia dari
ancaman bahaya politik dinasti. Hanya ada satu kata: LAWAN..!!!
Semoga Allah SWT meridhoi..
Penulis adalah seniman dan pemrihati politik.
0 Comments