![]() |
Wina Armada Sukardi. (Foto: Istimewa) |
Asas Timbal Balik
SEBAGAIMANA dalam bidang lainnya,
di lapangan bisnis juga berlaku asas timbal balik atau asas reprositas.
Artinya, kalau kepada mitra bisnis kita memberlakukan suatu ketentuan, maka
mitra kita juga bakal memperlakukan ketentuan itu buat kita. Demikian juga
dalam konsep Perpers *Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab
Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas” perusahaan
platform digital wajib membayar hak -hak “kepemilikan” karya jurnalistik
perusahaan pers, atau kemudian dikenal dengan sebutan “publisher right” kepada
perusahaan pers.
Nah, kalau asas ini dipaksa diterapkan
kepada perusahaan Platform digital, maka
sebaliknya perusahaan platform digital juga meminta agar asas ini sama-sama diterapkan kepada
perusahaan pers. Jadi fair. Adil.
Maka setiap perusahaan platform
digital menyiarkan karya pers atau karya jurnalistik atau berita, yang diambil
dari perusahaan pers, perusahaan plafform digital itu wajib membayar sejumlah
dana ke perusahaan pers. Katakanlah karena perusahaan pers memiliki publisher
right atau hak penerbit.
Sebagai konsekuensi dari asas ini,
maka sebaliknya, jika perusahaan pers ingin mengambil data apapun dari
perusahaan platform digital, nantinya tidak lagi gratis. Otomatis juga harus
bayar.
Pada kasus seperti ini, untuk
memperkuat fakta berita dan struktur karya, perusahaan pers tidak lagi gratis
mengambil dari perusahaan platform digital. Semua data, informasi yang diambil
dari perusahaan platform digital, harus dibayar perusahaan pers. Tak ada lagi
yang gratis. Padahal sebelumnya perusahaan pers boleh mengambil data, fakta dan
infografik apapun dari plaftform digital secara gratis.
Kelak sebagai konsekuensinya
adanya pengaturan publisher right di Perpers, semua kutipan dan data apapun
dari platform digital harus dibayar.
Bakal Rontok 70 Persen
Sekarang, kita tinggal berhitung
lebih banyak untung atau rugi jika Perpers tersebut disahkan dan diberlakukan? Lebih banyak manfaatnya
atau mudaratnya?
Jawaban gamblang: jika Perpers
soal ini jadi disahkan, maka sekitar 70 persen – 80 persen perusahaan pers
digital bakal rontok. Mati. Dan kemerdekaan pers terhambat.
Pertama, selama ini sebagian
konten dari perusahaan pers online atau digital, isinya sekitar 70 persen – 80 persen
mengutip dan mengambil data dari perusahaan platform digital secara gratis.
Dalam keadaan demikian saja, perusahaan pers masih kembang kempis, bahkan
tekor. Apalagi kalau kelak masih harus membayar kepada perusahaan platform
digital. Sudah pasti mereka bakal menggali kuburnya sendiri alias akan mati
bangkrut. Hanya sebagian kecil yang bertahan.
Dalam bahasa yang lebih mudah,
berlakunya Perpers itu bukannya membuat eko sistem pers Indonesia tumbuh subur
dan sehat, malah sebaliknya menjadi virus pembunuh masal terhadap pers
Indonesia. Pers Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, akan bertumbangan
satu persatu.
Apakah yang bertahan inilah yang
dsebut sebagai penghasil “karya jurnalistik berkualitas?” Tentu tidak.
Ini masuk alasan kedua. Pola itu
selain lebih liberal dari liberalisme, juga menjadikan konfigurasi kehadiran
pers tidak lagi berwarna. Karya pers atau karya jurnalistik yang pendapatnya
berlain-lainan , karena dinilai “tidak berkualitas” sudah “dibunuh” lebih
dahulu lewat Perpers. Maklumlah harus bayar ke perusahaan platform digital.
Dalam keadaan jumlah pers cuma
sedikit, pers justeru akan lebih mudah dikontrol negara atau pemerintah. Pada
titik ini kehadiran pers digital yang harusnya juga selaras dengan pertumbuhan
demokrasi, malah mematikan demokrasi.
Sadar atau tidak, mungkin ini
mendekatkan kita ke doktrin komunis China. Biarkanlah semua warna bunga
(teratai) boleh tumbuh, tapi nanti hanya bunga (teratai) hitam saja yang
dibiarkan bertahan berkembang. Lainnya dibabat dan dikondisikan tidak tumbuh.
Setelah membiarkan banyak pers digital lahir, Perpers berlaku sebagai mata
pisau yang “memotong” sebagian besar pers digital dan membiarkan segelintir
yang hidup sehingga kelak mudah dikendalikan.
Dari sini nyata terlihat,
rancangan Perpers yang amat bertentangan dengan UU Pers yang membangun dunia
jurnalistik yang independen, bermutu, mandiri dan swaregulasi. Itulah amanah reformasi.
Amanat untuk menjadikan Indonesia lebih demokrasi. Kalau kemudian rancangan
Perpers disahkan isinya boleh disebut menghianati UU Pers karena anti
demokrasi.
Ketimbang mengurusi pers sebaiknya
pemerintah cq Kominfo lebih baik mengurus hal yang memerlukan fokus dan
perhatian. Misalnya coba agar pembangunan BTS benar-benar terwujud tanpa
korupsi sehingga seluruh desa benar-benar dapat menikmati internet. Bukan malah
“cawe-cawe“ urusan pers yang menjadi tanggung jawab pers.
T a b i k.
(Selesai)
Penulis adalah Pakar Hukum dan
Etika Pers
0 Comments