Surya Paloh (Foto: Istimewa) |
Oleh: Smith Alhadar
TIDAK ada yang lebih hina daripada dianiaya orang tolol.
Dalam kehinaan ini, aku membuka kembali lembar demi lembar perjalanan hidupku
di bawah langit hitam dan badai yang menyapu dari utara.
Ternyata hidup tak selalu mudah. Sering tak terduga. Banyak
yang telah berhasil aku capai. Tapi tak sedikit juga yang gagal. Semuanya aku
terima dengan jiwa besar dan rasa syukur.
Aku pernah cukup lama menikmati puji-pujian, dihormati, dan
hamparan rezeki yang melimpah, di saat banyak orang di kolong langit ini menanggung
kehinaan dan terbuang.
Kini, di ujung senjakala hidupku, yang mungkin akan melumat
habis seluruh prestasi dan harga diriku, harus aku hadapi dengan kepala tegak.
Pada akhirnya, mungkin saja aku akan menemukan diri lebih hina daripada raja
yang jatuh dari singgasana.
Tak kusangka teman seperjuangan yang dulu bukan siapa-siapa,
lalu kubantu dia mencapai posisi puncak negeri besar ini, sekarang berbalik
menghantamku. Dengan cara yang kejam pula untuk alasan yang sulit dimengerti.
Mengapa aku tak bisa mengusung seorang muda yang cakap untuk
menjadi calon pengganti temanku itu ketika mandatnya segera berakhir? Mengapa
calon pemimpin yang kompeten, yang aku yakini dapat mengurai benang kusut
negeri ini, harus disingkirkan dari cara-cara biadab? Aku kira Orba telah
berakhir. Ternyata ia berinkarnasi menjadi kingkong yang aku turut
memeliharanya.
Aku kecewa pada temanku itu. Tapi lebih kecewa lagi pada
diriku sendiri. Mengapa orang seperti ini, yang gagal memakmurkan rakyat dan
merusak negara, aku bantu sepenuh hati meskipun untuk itu aku menyengsarakan
sebagian besar orang?
Aku menyesal. Tapi akan kuhadapi tragedi ini sekalipun
sendirian. Aku terluka, tapi sisa martabatku pemberian Tuhan akan aku jaga
hingga di ujung hayatku. Manusia hanya berharga kalau dia menghargai harga
dirinya. Harta bisa lenyap, gengsi bisa hilang, tapi harga diri harus terus
menyala untuk membuatku terlihat bermartabat sebagai manusia.
Setidaknya untuk diriku sendiri. Siapa tahu rakyat juga
menghargai sikap yang kuambil sehingga menjadi satu-satunya legacy-ku untuk
rakyat, bangsa, dan negara yang aku cintai ini.
Tak aku pungkiri karut-marut negeri saat ini tak bisa
dilepaskan dari kepicikan, ambisi buruk, dan syahwat kekuasaan pemimpin yang
dulu kudukung habis-habisan. Dan aku menikmati keuntungan materi dan non-materi
dari pemerintahannya.
Media-media yang kumiliki secara sengaja dan bersemangat
menutupi semua kelemahan dan kesalahan yang dibuat temanku itu. Jelas aku
berdosa. Mengapa bukan aku sendiri yang harus memikul akibatnya, melainkan
menyeret juga rakyat ke dalam kehidupan yang durjana ini?
Orang menuduh — dengan mengusung temanku yang nirprestasi
dan nirintegritas itu — bertolak dari karakter oportunistikku. Bahwa aku tak
peduli pada kemaslahatan rakyat dan bangsa. Yang aku kejar hanyalah keuntungan
pribadi dari pemerintahannya.
Anggapan itu tak sepenuhnya benar. Aku tidak sedang membela
diri. Sumpah, ketika itu aku juga punya mimpi besar untuk kejayaan negeri ini.
Temanku yang tampak lugu, jujur, bersih, konon pintar pula, dan tak terkait
dengan Orba, aku yakin dapat menjadi variabel penting untuk menyelesaikan
sebagian masalah, terutama terkait KKN.
Ternyata aku salah besar. Tapi semua sudah terlambat.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme justru merajalela selama 9 tahun periode
pemerintahannya. Untuk semua itu, dan syahwat kekuasaannya, ia lebih durjana
daripada penguasa Orba. Wallahi, aku terkejut. Tapi aku membiarkannya karena
kerajaan bisnisku aman dan lancar. Meskipun terkadang aku terbangun dari tidur
ketika wajahnya yang aneh muncul dalam tidurku.
Sekarang aku heran sendiri, mengapa sikap resistensiku
kepada kezaliman yang aku jaga sejak dulu berubah? Padahal, dulu, ketika
Soeharto sedang kuat-kuatnya, aku mendirikan koran “Prioritas” yang kritis pada
pemerintah. Pada saat bersamaan, bisnisku berkembang. Namaku melejit di panggung
nasional. Bravo, Surya Paloh!
Dus, sejak awal aku meyakini bisnis tetapi bisa tumbuh tanpa
perlu menjilat pada kekuasaan. Sekali lagi pasti orang mengira aku oportunistik.
Aku membangun “Prioritas” yang kritis pada rezim tak lebih daripada siasat
bisnisku doang.
Toh, pada waktu itu, media yang kritis terhadap rezim pasti
laku keras. Dan memang dalam waktu singkat, oplah “Prioritas” terjual hingga
100 ribu eksemplar. Yang dilupakan orang adalah resiko yang mungkin aku pikul
jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang akan aku peroleh.
Aku adalah kader Golkar dan sedang membangun bisnisku
sendiri. Karier politikku pun sedang menanjak. Aku menyadari sepenuhnya bahwa
rezim dengan mudah dapat menggulung karier politik dan bisnisku kapan saja ia
kehendaki. Terbukti, tak sampai dua tahun “Prioritas” dibreidel. Aku menyesal,
tapi menyadari tak semua yang kita inginkan di dunia ini dapat terpenuhi.
Tak lama, aku mendirikan koran “Media Indonesia” yang sangat
vokal pada Menteri Penerangan Harmoko, yang ketika itu menjadi common enemy
bagi pers nasional. Dengan mempertimbangkan resiko besar yang mungkin kuhadapi,
mestinya menggugurkan imajinasi orang bahwa tak ada hal lain yang kukejar
kecuali keuntungan materi.
Dan ketika kader partaiku baru-baru ini digelandang sebagai
koruptor ada orang yang mengaitkannya dengan aku dan kader-kader partaiku. Aku
tantang: silakan periksa kami seluruhnya. Tapi jangan juga membatasi hanya pada
aku, partaiku, dan orang-orang aku. Periksa semua orang terkait dari ujung
kanan sampai ujung kiri, dari ujung Barat hingga ujung Timur. Biar semua jelas
dan tak ada dusta di antara kita.
Kendati aku berkepentingan memelihara kerajaan bisnisku,
sungguh aku berkomitmen memajukan bangsa ini melalui mediaku. Media berfungsi
sebagai instrumen untuk menjaga kewarasan publik, mengawasi pemerintah, dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan.
Kalau aku hanya mengejar keuntungan pribadi, mestinya bukan
bisnis media yang aku geluti, yang beresiko secara politik maupun kelangsungan
bisnisku.
Cap oportunistik pada diriku muncul ketika — menurut musuh
rezim — partai dan mediaku menopang secara tidak kritis terhadap rezim saat
ini. Aku menganggap hal itu wajar karena, sebagai pendukung rezim, tidak logis
kalau aku mengambil sikap berbeda secara diametral dengan pemerintah.
Biar begitu, mediaku kadang menolak secara arif kebijakan
rezim yang aku pandang berdampak luas pada kemaslahatan bangsa secara
keseluruhan. Kendati terkejut atas aniaya rezim atas bisnisku saat ini —
mungkin juga dilanjutkan dengan aniaya atas partai dan bakal Capres yang kudukung
— aku tak menyesal. Tidak bakal!
Malah, semakin kuat tekatku melawan rezim jorok, picik, dan
khianat terhadap cita-cita bangsa. Karena aku yang bertanggung jawab terhadap
kehadiran rezim durhaka ini, aku tak meminta rakyat untuk membantuku
melawannya. Boleh jadi aku kalah. Tapi aku ingin kalah secara terhormat.
Ingat, wahai penguasa! Ojo dumeh. Jangan mentang-mentang.
Sejarah banyak mencatat tumbangnya pemimpin besar dan pemimpin kuat karena
pemimpin yang berusaha memperkuat dirinya dengan cara-cara bedebah justru akan
berbalik menghantam dirinya sendiri dari dalam maupun dari luar. Tak perlu
membaca sejarah negara lain untuk bercermin diri. Tengoklah sejarah kita
sendiri.
Siapa sangka great man Soekarno dan strong man Soeharto
terhempas dari Istana secara tak terduga dan meninggal dalam kesunyian yang
getir. Pemimpin kita yang sekarang bukan orang besar ataupun oang kuat. Dia juga
bukan orang yang cerdas. Banyak orang dengan berbagai kepentingan menjemput dia
dari kampung halamannya untuk menjadi proksi bagi kepentingan mereka. Aku
ikut-ikutan karena termakan propaganda bahwa dia walikota terbaik dunia,
pembuat mobil Esemka. Pasti orang ini luar biasa!
Sebenarnya aku cukup heran pemimpin dengan kapasitas sangat
terbatas ini bertahan hingga dua periode. Tapi aku sadari bahwa kekuasaannya
awet karena pencitraan manipulatif yang menipu rakyat, menipu kita semua. Aku
ingin mengungkap siapa dia sebenarnya. Tapi dia telah bertransformasi menjadi
penguasa yang berbahaya bagi negara,bagi diriku sendiri. Ia menciptakan
kerusakan yang hampir menyeluruh. Ia memanjakan oligarki, melayani kepentingan
Cina, membangun politik dinasti, menimbun utang yang harus dibayar rakyat,
memarakkan korupsi, meninggalkan legacy IKN dan proyek infrastruktur lain yang
mangkrak. Astaghafirullahul azim! Aku belum pernah merasa bersalah seperti ini.
Untuk semua ini, ditambah kebijakan-kebijakan yang melanggar
banyak aturan bernegara, semestinya rezim ini telah kehilangan legitimasi.
Namun, karena kebodohan, ketakutan, dan dikendalikan kekuatan lain, bukannya
memperbaiki kesalahan di ujung pemerintahannya, ia justru bertindak ngawur,
ceroboh, dan mengekspos keluarganya ke hadapan bahaya.
Ia tak mau belajar pada nasib keluarga Soekarno yang harus
hidup terkucil dan dibatasi akses politik dan ekonomi mereka dalam waktu lama.
Ia juga lupa pada nasib keluarga Soeharto yang dimaki dan dikucilkan
masyarakat. Putera bungsu Soeharto bahkan harus mendekan dalam penjara.
Aku menyesal harus mengungkap hal-hal buruk tentang
pemerintahan yang kelahirannya turut aku bidani. Silakan Anda tak percaya, tapi
sesungguhnya dengan mengusung tokoh muda cemerlang untuk menjadi presiden
berikut, aku berikhtiar untuk menebus dosaku kepada rakyat.
Tak kuduga begitu bengis reaksinya. Ia terus berupaya
menghancurkan seluruh napas hidupku. Tak apa. Aku dididik orang tuaku, kebudayaanku,
dan agamaku, untuk senantiasa melawan kemungkaran. Mendiamkannya berarti aku
lebih zalim daripada penzalim itu sendiri. Mungkin banyak orang menertawaiku
karena dipecundangi orang yang bukan dari kelasku. Aku terima kalau ditertawai
rakyat yang dulu pernah memperingatkan aku tentang watak asli temanku ini.
Ketika itu aku malah balik menertawai mereka. Aku menyesal, tapi tak usah
memaafkan aku.
Memang pahit di puncak kesuksesanku sebagai politisi dan
pengusaha aku dipecundangi lelaki dungu, tak tahu balas budi, dan tak tahu
hukum-hukum kehidupan. Tapi akan kuhadapi semua ini dengan dada yang membusung.
Percuma kau menindas Surya Paloh! Aku berdiri di sini,
telanjang dalam ruang terang, tanpa siapa-siapa. Aneh kalau kau yang powerful berani menghadapi
orang seperti ini, orang yang terzalimi dan yang kau khianati.
Biarlah aku kalah. Dan dilupakan. Kalaupun ada yang peduli
pada diriku, aku ingin Surya Paloh dikenang sebagai orang yang kalah dalam
perjuangan. Itu saja! (***)
Tangsel, 21 Mei 2024
Penulis adalah – Penasihat Institute for Democracy Education
(IDe).
0 Comments