Ilustrasi buah durian yang enak dikonsumsi. (Foto: Istimewa) |
ADA kesan di masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
seperti lembaga sandera. KPK dianggap menyandera sejumlah politisi. Mereka yang
tidak loyal, jadi tersangka. Yang loyal, dibiarkan meski layak jadi tersangka.
Kasus kardus duren, e-KTP (elektronik Kartu Tanda Penduduk),
impor garam, dan sejumlah kasus lainnya yang diduga melibatkan beberapa elit
partai disimpan untuk kemudian dikeluarkan ketika elit partai itu mulai tidak
loyal kepada penguasa. Kesan ini begitu kuat di memori publik.
Pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi
Indonesia Raya (KIR), bahkan rencana menggabungkan dua koalisi tersebut
dianggap bagian dari konsolidasi berbasis penyanderaan. Siapa yang tidak loyal,
kasusnya mulai dimunculkan.
Ketika rencana koalisi besar itu muncul, Partai Kebangkitan
Bansa (PKB) merespon kurang positif. PKB mengatakan bahwa koalisi besar sulit
terwujud ketika akan menentukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden (Capres-Cawapres).
Di KIB saja, sampai sekarang belum mampu menentukan capres-cawapres. Meski KIB
adalah koalisi yang lahir paling awal. Begitu juga dengan KIR. Di KIR,
capresnya Prabowo. Tapi, jika Prabowo mengambil cawapres selain Muhaimin
Iskandar (Cak Imin), maka KIR bubar. Sementara Prabowo gak mau didampingi Cak
Imin.
Dua koalisi yang ingin digabungkan, masing-masing kesulitan
untuk menentukan pasangan capres-cawapres. Apalagi jika digabungkan, maka akan
semakin sulit. Persoalan akan semakin kompleks.
Upaya penggabungan dua koalisi menjadi koalisi besar seperti
kawin paksa. Ada pihak yang di mata publik terlibat memaksa koalisi ini
terbentuk. Menentang, kasus ketumnya muncul. Entah akan jadi negara macam
Indonesia ini jika hukum dijadikan sandera terhadap ketum-ketum partai. Ironis!
Setelah Ketum lima partai ini diundang oleh Presiden Jokowi
ke istana, maka wacana koalisi besar makin santer. Jokowi cukup bilang:
"cocok". Ini sinyal kuat bahwa Jokowi memang menginginkan koalisi
besar terbentuk. Kenapa presiden ikut campur soal pencapresan? Bukankah ini justru
resisten bagi terselenggarannya Pemilu secara jurdil (jujur dan adil)? Memang
sih, sebaiknya presiden Jokowi dengan jiwa kenegarawanannya tidak perlu ikut
campur terkait urusan pencapresan. Ini akan menjaga kewibawaan Jokowi sebagai
kepala negara. Jika kepala negara netral, Indonesia aman dan nyaman. Hilang
semua bentuk keterbelahan dan kegaduhan.
Atas kawin paksa ini, PKB membaca bahwa koalisi besar akan
semakin kesulitan menentukan siapa capres dan siapa cawapres. Tarik ulurnya
akan kencang. Cenderung babaliut dan
mbulet.
Setelah PKB menyatakan pendapatnya, muncul kembali kasus
"Kardus Durian". Kasus yang dikait-kaitkan dengan nama ketum PKB Cak
Imin itu diungkap kembali. Padahal, kasus ini terjadi pada tahun 2012. Sudah 12
tahun lalu. Kalau memang Cak Imin, cucu pendiri NU (Nahdatul Ulama) ini
terlibat, kenapa tidak dituntaskan dari dulu?
Inilah yang membuat publik menyimpulkan adanya penyanderaan
kasus. Dan tidak hanya Cak Imin. Tapi, ada beberapa ketum partai lain yang
tersandera dengab kasus yang sengaja dibiarkan. Tidak dituntaskan. Kasihan!
Kasihan ketum-ketum partai itu. Kasihan partainya. Yang pasti, kasihan bangsa
ini.
Ketika perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau
MAKI melakukan gugatan pra-peradilan atas penghentian kasus kardus durian oleh
KPK, maka KPK menjawab bahwa kasus ini tidak berhenti. KPK bahkan mengatakan
bahwa nama Cak Imin disebut dalam persidangan. Pertanyaannya: kalau memang nama
Cak Imin disebut dalam persidangan, kenapa Cak Imin tidak diproses dari dulu?
Sudah 12 tahun kasus ini didiamkan, dan hanya muncul ketika Cak Imin diaggap
tidak sejalan pilihan politiknya dengan penguasa. Begitulah bacaan publik.
Wajar jika masyarakat kemudian mengasumsikan bahwa KPK
terlibat politik praktis. KPK, selain menjadi lembaga negara, dianggap pula
mengambil peran sebagai lembaga penguasa.
Apalagi jika dikaitkan dengan kasus Formula E. Publik
menangkap kesan yang begitu kuat jika KPK bernafsu ingin mentersangkakan Anies.
Pemecatan terhadap tiga nama pegawai KPK, yaitu Fitroh, Karyoto, dan Endar yang
dianggap memegang prinsip dan bekerja secara profesional untuk tidak
mentersangkakan siapapun yang tidak adanya alat bukti cukup, termasuk Anies.
Dalam kasus Formula E, sudah delapan kali gelar perkara. Rekor, delapan kali
gelar perkara di KPK terkait Formula E, tidak ditemukan alat bukti. Kok ngotot
banget, kata publik. Lalu, tiga orang penentu itu mau disingkirkan. Ngeri!
Sejak revisi Undang-Undang (UU) KPK, lembaga antirusuah ini
punya kesan tidak netral lagi. Lebih menjadi lembaga yang melayani kepentingan
politik pihak tertentu. Di mata publik, KPK dianggap telah terlibat jauh dalam
penyanderaan elit politik dan memburu mereka yang tidak sejalan dengan penguasa
untuk segera dijadikan tersangka. Sudah saatnya KPK dievaluasi dengan mengganti
oknum pemimpinnya yang sudah off side. (***)
Los Angeles, California USA, April 2023.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
.
0 Comments