Ketua Bidang Riset dan Advokasi Kebijakan Publik LBH-AP PP Muhammadiyah Gufroni. (Foto: Istimewa) |
Hal itu disampaikan oleh Ketua Bidang Riset dan Advokasi
Kebijakan Publik, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH-AP) Pimpinan
Pusat (PP) Muhammadiyah Jakarta Gufroni, SH MH pada Siaran Pers yang diterima
Redaksi TangerangNet.Com, Rabu (22/3/2023).
Gufroni menjelaskan pengesahan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
Undang-undang melalui persetujuan DPR-RI telah menimbulkan respon penolakan
dari berbagai elemen gerakan masyarakat sipil.
Terkait hal itu, kata Gufroni, LBH-AP PP Muhammadiyah
menilai baik Perppu Cipta Kerja tersebut maupun Undang-undangnya itu masih
bersifat inkonstitusional dan tidak memenuhi syarat formil pengesahan
undang-undang.
Gufroni menyebutkan terdapat beberapa isu yang menunjukkan
mengapa Perppu Cipta Kerja yang kemudian diundangkan bersifat inkonstitusional
dan tidak memenuhi syarat formil pengesahan undang-undang.
Pertama, imbuh Gufroni, secara formil pengundangan, Perppu
Cipta Kerja yang kemudian disetujui sebagai Undang-undang mengulangi kaset
lama. Baik itu Pemerintah maupun DPR-RI cenderung mengambil jalan pintas dengan
mengesahkan Undang-undang lewat mekanisme penerbitan Perppu yang sebenarnya
tidak memenuhi syarat penerbitan Perppu terkait ihwal kegentingan yang memaksa.
“Pun dengan diterbitkannya Perppu semacam itu, maka
penerbitannya bersifat tidak partisipatif,” ucap Gufroni yang juga dosen pada
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang (FH UMT).
Penerbitan Perppu Cipta Kerja maupun penyetujuannya sebagai
Undang-undang, kata Gufroni, dengan begini telah bertentangan dengan ketentuan
Pasal 96 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 jo. Undang-undang No. 13 Tahun 2022
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun Putusan Mahkamah
Konstitusi RI 91/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya menyatakan bahwa dalam setiap
tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan melibatkan partisipasi
masyarakat secara bermakna..
Kedua, kata Gufroni, secara materiil dan substansial, muatan
norma hukum di dalam Perppu Cipta Kerja yang kemudian disetujui sebagai
Undang-undang tidak banyak berubah dari versi lamanya. Alih-alih memperbaiki
substansi normanya agar selaras dengan konstitusi, instrumen hak asasi manusia,
konvensi-konvensi internasional yang berlaku di Indonesia, maupun
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada sebelumnya, sejumlah
norma-norma di dalam Perppu Cipta Kerja yang kemudian disetujui sebagai
Undang-undang masih melegitimasi praktik kerusakan lingkungan hidup,
pengurangan hak-hak pekerja lewat skema pasar tenaga kerja fleksibel, politik
upah murah dan sebagainya.
“Serta peminggiran terhadap kelompok petani, nelayan, dan masyarakat
adat lewat pengubahan norma-norma yang berhubungan dengan pelaksanaan proyek
bisnis dan pembangunan di wilayah daerah,” ungkapnya.
Gufroni mengatakan LBH-AP PP Muhammadiyah tentunya sangat
menyayangkan penyetujuan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang. Selain
penerbitan Perppu Cipta Kerja itu cenderung dipaksakan secara sepihak begitu
saja oleh Pemerintah Indonesia, pun DPR-RI tidak menjalankan fungsinya secara
baik dan benar dalam menerapkan mekanisme checks and balances terhadap
kebijakan yang diusulkan oleh Pemerintah Indonesia atau Lembaga Eksekutif.
“Kolaborasi Lembaga Eksekutif dan Legislatif seperti ini
berkontribusi pada menurunnya skor indeks Rule of Law di Indonesia dan justru
semakin menciptakan kondisi despotisme kekuasaan politis dalam proses
penerbitan kebijakan hukum yang tentunya tidak sehat bagi agenda reformasi dan
demokratisasi di Indonesia,” ungkap Gufroni yang juga Direktur LBH Universitas
Muhammadiyah Tangerang (UMT).
LBH-AP PP Muhammadiyah, kata Gufroni, mendesak agar
Pemerintah Indonesia secara keseluruhan untuk menunda keberlakuan Perppu Cipta
Kerja yang disetujui menjadi Undang-undang oleh DPR RI agar tidak menimbulkan
potensi sengketa maupun konflik yang lebih meluas di masyarakat bawah.
“Pemerintah Republik Indonesia dan DPR RI untuk berhenti
melakukan praktik buruk pembuatan produk legislasi dan kebijakan publik yang
tidak didasarkan pada proses partisipasi publik yang bermakna,” ucap Gufroni.
(*/pur)
0 Comments