Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Disetujui DPR Jadi UU, LBH-AP PP Muhammadiyah Minta Presiden Cabut Perpu Cipta Kerja

Ketua Bidang Riset dan Advokasi Kebijakan
Publik LBH-AP PP Muhammadiyah Gufroni.
(Foto: Istimewa)  


NET -  Presiden Republik Indonesia diminta untuk mencabut Perppu Cipta Kerja yang disetujui oleh DPR RI menjadi Undang-undang mengingat aturan tersebut bersifat inkonstitusional tidak sesuai dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, tidak memenuhi syarat objektif “ikhwal kegentingan yang memaksa”, dan tidak memenuhi syarat partisipasi publik yang bermakna.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Bidang Riset dan Advokasi Kebijakan Publik, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH-AP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Jakarta Gufroni, SH MH pada Siaran Pers yang diterima Redaksi TangerangNet.Com, Rabu (22/3/2023).

Gufroni menjelaskan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang melalui persetujuan DPR-RI telah menimbulkan respon penolakan dari berbagai elemen gerakan masyarakat sipil.

Terkait hal itu, kata Gufroni, LBH-AP PP Muhammadiyah menilai baik Perppu Cipta Kerja tersebut maupun Undang-undangnya itu masih bersifat inkonstitusional dan tidak memenuhi syarat formil pengesahan undang-undang.

Gufroni menyebutkan terdapat beberapa isu yang menunjukkan mengapa Perppu Cipta Kerja yang kemudian diundangkan bersifat inkonstitusional dan tidak memenuhi syarat formil pengesahan undang-undang.

Pertama, imbuh Gufroni, secara formil pengundangan, Perppu Cipta Kerja yang kemudian disetujui sebagai Undang-undang mengulangi kaset lama. Baik itu Pemerintah maupun DPR-RI cenderung mengambil jalan pintas dengan mengesahkan Undang-undang lewat mekanisme penerbitan Perppu yang sebenarnya tidak memenuhi syarat penerbitan Perppu terkait ihwal kegentingan yang memaksa.

“Pun dengan diterbitkannya Perppu semacam itu, maka penerbitannya bersifat tidak partisipatif,” ucap Gufroni yang juga dosen pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang (FH UMT).

Penerbitan Perppu Cipta Kerja maupun penyetujuannya sebagai Undang-undang, kata Gufroni, dengan begini telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 96 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 jo. Undang-undang No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun Putusan Mahkamah Konstitusi RI 91/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya menyatakan bahwa dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna..

Kedua, kata Gufroni, secara materiil dan substansial, muatan norma hukum di dalam Perppu Cipta Kerja yang kemudian disetujui sebagai Undang-undang tidak banyak berubah dari versi lamanya. Alih-alih memperbaiki substansi normanya agar selaras dengan konstitusi, instrumen hak asasi manusia, konvensi-konvensi internasional yang berlaku di Indonesia, maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada sebelumnya, sejumlah norma-norma di dalam Perppu Cipta Kerja yang kemudian disetujui sebagai Undang-undang masih melegitimasi praktik kerusakan lingkungan hidup, pengurangan hak-hak pekerja lewat skema pasar tenaga kerja fleksibel, politik upah murah dan sebagainya.

“Serta peminggiran terhadap kelompok petani, nelayan, dan masyarakat adat lewat pengubahan norma-norma yang berhubungan dengan pelaksanaan proyek bisnis dan pembangunan di wilayah daerah,” ungkapnya.

Gufroni mengatakan LBH-AP PP Muhammadiyah tentunya sangat menyayangkan penyetujuan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang. Selain penerbitan Perppu Cipta Kerja itu cenderung dipaksakan secara sepihak begitu saja oleh Pemerintah Indonesia, pun DPR-RI tidak menjalankan fungsinya secara baik dan benar dalam menerapkan mekanisme checks and balances terhadap kebijakan yang diusulkan oleh Pemerintah Indonesia atau Lembaga Eksekutif.

“Kolaborasi Lembaga Eksekutif dan Legislatif seperti ini berkontribusi pada menurunnya skor indeks Rule of Law di Indonesia dan justru semakin menciptakan kondisi despotisme kekuasaan politis dalam proses penerbitan kebijakan hukum yang tentunya tidak sehat bagi agenda reformasi dan demokratisasi di Indonesia,” ungkap Gufroni yang juga Direktur LBH Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT).

LBH-AP PP Muhammadiyah, kata Gufroni, mendesak agar Pemerintah Indonesia secara keseluruhan untuk menunda keberlakuan Perppu Cipta Kerja yang disetujui menjadi Undang-undang oleh DPR RI agar tidak menimbulkan potensi sengketa maupun konflik yang lebih meluas di masyarakat bawah.

“Pemerintah Republik Indonesia dan DPR RI untuk berhenti melakukan praktik buruk pembuatan produk legislasi dan kebijakan publik yang tidak didasarkan pada proses partisipasi publik yang bermakna,” ucap Gufroni. (*/pur)


Post a Comment

0 Comments