Para nara sumber tampil pada seminar yang menggali Nilai-nilai Pancasila. (Foto: Istimewa) |
Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber ST Wahana Ananta
(anggota Komisi VI DPR RI), Dr. Tantry Widiyanarti (akademisi UMT), Muhammad
Daud (akademisi Institut Ilmu Al Qur'an Jakarta), yang dipandu moderator Yusuf
Fauzi, M.Soc.Sc.
Ketua Pelaksana Kegiatan Mohamad Romli mengatakan tujuan
digelarnya acara itu untuk meningkatkan pemahaman dan menambah wawasan
mahasiswa FISIP UMT tentang nilai-nilai Pancasila, kemudian diharapkan dapat
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
"Kami berharap melalui seminar ini, wawasan kebangsaan
kami sebagai anak bangsa semakin luas. Sehingga, kami dapat menjadi generasi
muda penerus bangsa yang mampu berkiprah untuk mengharumkan nama keluarga,
serta bangsa, dan negara," ungkapnya.
Wakil Dekan 1 FISIP UMT Dr. Nurhakim mengapresiasi mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi
yang telah menyelenggarakan seminar nasional tersebut.
Menurut Nurhakim, tema kegiatan tersebut sangat relevan,
sebab nilai-nilai Pancasila harus terus dihidupkembangkan. "Karena banyak
nilai-nilai Pancasila yang konteksnya harus terus dipahami dalam kehidupan saat
ini. Sebab jika kita salah memahaminya, akan jadi bias dan kabur. Sehingga
acara seminar ini sangat bagus sekali," ujarnya.
Ananta Wahana yang menjadi pemateri pertama memaparkan mulai
dari sejarah perumusan Pancasila hingga fungsi Pancasila.
Ananta memaparkan Pancasila yang menjadi pengikat dan
pemersatu bangsa Indonesia yang memiliki luas wilayah 2 juta Km², jumlah
penduduk sekitar 270 jiwa yang tersebar di 17.504 pulau dengan keragaman etnis,
suku, bahasa, hingga agama.
"Sampai cendekiawan Barat menyebut Indonesia negara khayalan.
Sebab jarak tempuh dengan naik pesawat dari Aceh ke Papua sama dengan dari
Jakarta ke Makkah. Satu negara sama dengan 11 negara," paparnya.
Menurut Ananta, luasnya wilayah Indonesia adalah jasa
pemerintah Kolonial Belanda yang membuang Bung Karno (Soekarno) ke Brastagi,
Bangka, Bengkulu, Ende, Jawa Barat, dan lain-lain.
"Sehingga dalam pengasiangannya itu, menginspirasi
Pidato Bung Karno lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila sebagai pemersatu
atau pengikat antar wilayah, rasa kebangsaan, serta kekayaan perbedaan
Indonesia," terangnya.
Kemudian, dia mencontohkan beberapa negara yang tercerai
berai karena tidak memiliki pengikat sebagaimana yang dimiliki bangsa
Indonesia. Bangsa-bangsa yang tak sekompleks Indonesia itu namun kini menjadi
bangsa-bangsa kecil di antaranya Yugoslavia yang pecah menjadi 7 negara.
"Yugoslavia yang luas wilayahnya hanya 200 Kilometer
pecah menjadi 7 negara, yaitu Serbia, Montenegro, Bosnia, Kosovo, Slovenia
(Kroasia), Herzegovina, dan Makedonia Utara,” ujarnya.
Negara besar karena tidak ada pengikat seperti Pancasila
yang bercerai berai yaitu Uni Soviet yang pecah menjadi 15 negara, di antaranya
ada yang sedang berperang, yaitu Rusia dengan Ukrania.
Uni Soviet terpecah belah menjadi Rusia, Uzbekistan,
Ukrania, Armenia, Georgia, Azerbain, Belarusia, Kazakhstan, Estonia, dan
lain-lain.
"Kita sangat bersyukur karena mendapatkan warisan dari
para pendahulu kita yaitu Pancasila yang menjadi pemersatu bangsa
Indonesia," katanya.
Narasumber kedua yaitu Muhammad Daud menerangkan nilai-nilai
Pancasila selaras dengan Islam. Islam dan Pancasila berjalan seiringan. Sebab
umat Islam dalam kehidupan dituntut untuk berbuat kebaikan yang selaras dengan
nilai-nilai Pancasila.
Daud menyebutkan keselarasan itu di antaranya Pancasila
sebagai pelindung dan pelayanan agama-agama. Dia mengutip dalil Al Qur'an surat
Yunus ayat 99 dan dan Al-Maidah ayat 48.
"Kemudian seruan berbuat adil kepada semua umat
manusia, dalilnya Al Qur'an surat Annisa ayat 58, An-Nahal ayat 90. Memperkokoh
persatuan, Al Qur'an surat Al Hujurat ayat 13, dan mengedepankan musyawarah,
dalilnya surat Al-Syura ayat 38," terangnya.
Menurut Daud, agama semestinya sebagai sumber untuk
meningkatkan peradaban, bukan sebagai identitas kelompok sosial, sehingga
kehadiran agama yang berbeda-beda tidak dimaknai sebagai ancaman antar kelompok
agama itu sendiri.
"Agama bisa meneguhkan nilai-nilai Pancasila ketika
agama dimaknai oleh pemeluknya sebagai sumber peradaban dalam masyarakat
plural. Berislamlah secara subtansi, bukan dengan simbol-simbol," tuturnya.
Narasumber ketiga yaitu Dr Tantry Widiyanarti menelaah etika
Pancasila yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila, yang terkandung lima nilai,
di antaranya : spiritualitas, humanis, solidaritas, menghargai orang lain, dan
peduli.
Tantry menekankan pengimplementasian etika Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat penting. Sebab,
permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini yaitu korupsi, terorisme,
pelanggaran HAM, kesenjangan sosial, ketidakadilan hukum, dan kurangnya
kesadaran membayar pajak.
"Alasan munculnya Pancasila sebagai sistem etika karena
terjadi dekadensi moral, korupsi yang merajalela, kurangnya kontribusi dalam
pembangunan, pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan,"
katanya.
Pancasila sebagai sistem etika, menurut Tantry, sangat
mendesak. Pertama sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap,
tindakan, dan keputusan yang diambil setiap warga negara.
Kemudian memberi panduan bagi setiap warga negara, sehingga
memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan, baik lokal, nasional,
maupun internasional.
"Urgensi Pancasila sebagai sistem etika juga karena
menjadi dasar analisis berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara
negara, dan filter untuk menyaring pluralitas," pungkasnya. (*/rls)
0 Comments