Prof. Dr. Pierre Sute. (Foto: Istimewa) |
Hampir genap 4 bulan, publik di
semua lini disibukkan dengan proses penanganan dan pengungkapan pembunuhan
Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Pol
Ferdy Sambo. Hari ini, tanggal 17 Oktober 2022 Tim Majelis Hakim yang diketuai oleh
YM Wahyu dan beranggotakan Morgan dan Alimin akan mulai menyelenggarakan sidang
kasus pembunuhan berencana sekaligus obstruction of justice dengan terdakwa
Ferdy Sambo dkk.
Dalam berkas dakwaan, lima
tersangka disangkakan melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP Jo Pasal
55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 56 ke-1 KUHP. Mereka adalah Ferdy Sambo, istri
Ferdy Sambo Putri Candrawathi, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan
Kuat Ma'ruf.
Sementara dalam kasus obstruction
of justice, selain Ferdy Sambo ada juga Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus
Nurpatria, AKBP Arif Rahman, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan
AKP Irfan Widyanto yang dijerat dengan Pasal 49 jo Pasal 33 dan/atau Pasal 48
Ayat 1 jo Pasal 32 Ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE. Selain itu, mereka juga
dijerat Pasal 55 Ayat (1) dan/atau Pasal 221 Ayat (1) ke-2 dan/atau Pasal 233
KUHP.
Pada awal pengungkapan kasus,
tampak terkesan bahwa penanganan kasus ini tidak dilakukan secara PRESISI
sesuai dengan tagline transformasi POLRI PRESISI yang merupakan abreviasi dari
PREdiktif, responSIbilitas, dan transparanSI berkeadilan.
Narasi yang dibangun sejak awal,
akhirnya porak poranda begitu Brigadir E "speak up" bahwa dirinya
bukan satu-satunya pelaku dan ada yang memerintahkan menembak serta
terungkapnya fakta-fakta hukum lainnya. Dalam kasus ini terkesan tampak begitu
jelas bahwa substansi dan prosedur hukum tidak lagi diakui keberadaannya di
negara hukum sekalipun oleh penegak hukum itu sendiri, yakni polisi.
Belum selesai persoalan Sambo,
pada awal bulan Oktober 2022 terjadi tragedi kemanusiaan yang juga terindikasi
aparat pengamanan (polisi) terlibat dalam terbunuhnya 132 suporter sepak bola
Aremania di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Belum tuntas penyelesaian
tragedi Kanjuruhan, lagi-lagi muncul peristiwa baru soal perdagangan narkoba
seberat 5 kilogram sabu-sabu yang malah melibatkan seorang Kapoldadan bawahannya
secara terstruktur.
Intinya, atas peristiwa hukum
akhir-akhir ini, banyak oknum polisi yang justru terlibat dalam tindak
kejahatan atau juga dikenal criminals in uniform hampir terjadi di semua lini
kehidupan. Boleh jadi, polisi memang dipakai sebagai alat untuk menjalankan
kejahatan dengan tujuan merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara oleh
pihak-pihak tertentu. Apakah polisi ingin mengubah negara hukum (rechtsstaat /
law state) menjadi negara polisi (police state)?
Dalam Negara hukum kedudukan
penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan
hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur.
Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang.
Demikian pula antar sesama warga negara, juga memiliki persamaan di depan
hukum. Bila tidak ada persamaan hukum dalam sistem ketatanegaraan dan sistem
peradilan di Indonesia, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal
hukum. Pada prinsipnya "Equality Before The Law" adalah tidak ada
tempat bagi "backing" yang salah, melainkan undang-undang merupakan "backing"
terhadap yang benar.
Sistem peradilan pidana di Indonesia
ditengarai telah lama menjadi industri hukum sebagaimana disinyalir oleh
Menkopolhukam Mahfud MD dalam forum ILC pada 11 Februari 2020. Ia menemukan
praktik hukum di mana orang yang benar dibuat salah dan orang salah dibuat
benar. Juga praktik pengalihan perkara dari pidana ke perdata dan sebaliknya.
Bahkan katanya, ada polisi yang
membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri agar dapat menceraikan istrinya. Ini
merupakan sindiran tajam terhadap praktik yang diselenggarakan, baik oleh
polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Maka, tak heran jika saat ini penegakan
hukum lebih berorientasi pada untung-rugi (DAGANG) dengan mengabaikan persoalan
kebenaran dan keadilan. Keadaan ini persis dengan pernyataan William T. Pizzi tentang
trials without truth.
Bilamana praktik-praktik industri
hukum oleh oknum-oknum penegak hukum di negeri ini benar adanya dan terus
dibiarkan, maka akan memunculkan adanya berbagai corporation atau perusahaan
dan perbisnisan di dunia hukum, di antaranya:
1. Police Corporation
2. Prosecutor Corporation
3. Court Corporation
4. Prison Corporation dan
5. Advocate Corporation
Bukankah begitu logika
sederhananya?
Yang terakhir akan terjadi:
INDONESIA CORPORATION. Bila demikian, maka sesungguhnya negara ini telah
menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap
rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa
boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara PRODUSEN dan KONSUMEN. Produsennya
Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya
kepengurusan negara ini hanya sebatas PROFIT bukan BENEFIT. Itukah yang
diinginkan, ketika Negara Hukum Kesejahteraan Sosial kita akan bermetamorfosis menjadi
NEGARA INDUSTRI HUKUM?
Polisi khususnya sebagai garda
terdepan penegakan hukum pun tidak boleh menjadi agen industri hukum ini karena
ketika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda
ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan
pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi
pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah
mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan "kejahatan-kejahatan
politiknya", maka di saat itulah negara ini telah menjadi POLICE STATE.
Kita tentu tidak menghendaki keadaan yang demikian terjadi di negeri ini.
Menyimak praktik hukum yang tengah
terjadi, mungkin ada benarnya tentang INDUSTRI HUKUM yang sempat viral seperti
yang disebutkan oleh Menkopolhukam. Penulis kemudian berkhayal mungkinkah dalam
industri hukum ini kita peroleh justice dalam proses trial-nya atau justru yang
akan muncul adalah: trial without justice?
Industri hukum dapat terjadi di
semua lini penegakan hukum ketika setiap lini tersebut berupaya
memperjualbelikan kebenaran dan keadilan. Sanksi pidana mungkin juga tidak
mempan, maka kata kuncinya adalah AKHLAK! Akhlak yang mana? Ukurannya apa? Itu
yang harus dirumuskan dengan standarisasi yang tepat sehingga hukum tidak lagi
diperdagangkan. Hukum dagang boleh, dagang hukum jangan. Hukum Industri harus
dipelajari, industri hukum jangan. Kita tidak ingin rechtsstaat (negara hukum)
berubah menjadi police state (negara polisi) karena hanya akan melahirkan
industri hukum yang bengis.
Tabik...!
Semarang, Senin: 17 Oktober 2022.
(**)
Penulis adalah Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro.
0 Comments