Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat paparan tentang pembangun manusia. (Foto: Istimewa) |
Artinya, sektor pendidikan menjadi faktor penting. Mimpi
yang ingin dibangun dalam bidang pendidikan, sebagaimana digagas oleh Presiden
Jokowi adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat pendidikan, teknologi, dan
peradaban dunia.
"Dalam bidang pendidikan tinggi, Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi yang tahun 2015 hanya berada di kisaran 29,9 persen, diharapkan meningkat menjadi 60 persen pada 2045," ujar Bamsoet saat acara Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru Universitas Muhammadiyah Jakarta secara daring dari Denpasar, Bali, Senin (12/9/2022).
Pengembangan ilmu di perguruan tinggi, kata Bamsoet, juga
diselaraskan agar mampu menjawab perubahan struktur ekonomi, dengan ditopang
oleh penguatan kemitraan tiga pihak, yakni pemerintah, perguruan tinggi, dan
industri yang kuat.
Acara yang dihadiri oleh Rektor Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ) Dr. Ma’mun Murod dan para wakil rektor UMJ, Ketua DPR RI ke-20
dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM dan Keamanan ini
menuturkan, target yang ingin dicapai adalah terciptanya sumber daya manusia
terampil dan mempunyai daya saing untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang
semakin kompetitif. Angkatan kerja dengan kualifikasi SMA dan perguruan tinggi,
yang pada 2015 masih berkisar pada angka 39,3 persen, diharapkan meningkat
hingga 90 persen.
"Kita beruntung memiliki modal sumber daya untuk
mewujudkan harapan pada sektor pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Salah
satunya adalah modal bonus demografi. Pada 2045 nanti, kita akan berada pada
periode puncak bonus demografi, yakni sekitar 70 persen dari komposisi jumlah
penduduk akan didominasi oleh kelompok usia produktif," ucap Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan
Penegakan Hukum, Keamanan dan Pertahanan KADIN Indonesia ini mengingatkan bonus
demografi hanya akan menjadi data statistik komposisi kependudukan tanpa makna
yang tidak akan memberikan dampak apa-apa. Jika tidak disikapi dengan benar dan
dimanfaatkan dengan optimal. Jumlah penduduk usia produktif ini hanya akan
bermanfaat sebagai generator dan dinamisator pembangunan, jika memiliki
kompetensi dan daya saing. Sebaliknya, keberlimpahan usia produktif yang tidak
tersalurkan dan terserap pada pasar lapangan kerja, hanya akan menjadi beban
pembangunan.
"Kondisi ini meniscayakan adanya kepedulian dari
segenap pemangku kepentingan khususnya pemerintah. Namun di sisi lain, juga
harus ada kesadaran dari masyarakat, khususnya generasi muda untuk memahami
pentingnya bonus demografi sebagai kesempatan untuk memberdayakan diri. Terkait
hal ini, kita dapat merujuk pada hasil survei tentang persepsi generasi muda
terhadap bonus demografi," urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI
ini menjelaskan dari hasil survei program Gue Muda yang dilakukan pada Maret
2022, terdapat pemahaman dan pemaknaan yang berjenjang di antara generasi muda
dalam menyikapi bonus demografi. Sekitar 66,4 persen responden dapat mengetahui
istilah bonus demografi.
Meski demikian, masih ada sekitar 42,5 persen yang tidak
yakin bahwa mereka telah melakukan manajemen yang baik menyongsong masa depan
pada periode bonus demografi. Bahkan 37 persen responden tidak menyadari bahwa
mereka menjadi bagian dari bonus demografi.
Sementara, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2021, dari sekitar 138 juta angkatan kerja pada 2020, hanya sekitar 10-12
persen yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Fakta lain, setiap tahun, dari
sekitar 3,7 juta lulusan SMA dan sekolah sederajat, sekitar 1,9 juta orang di antaranya
tidak melanjutkan kuliah.
"Tentu kondisi tersebut harus menjadi perhatian kita
bersama. Pendidikan, khususnya perguruan tinggi, sebagai faktor fundamental
dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 dan optimalisasi bonus demografi harus
mampu menjawab berbagai tantangan yang masih menjadi pekerjaaan rumah untuk
diselesaikan," pungkas Bamsoet. (*/pur)
0 Comments