Brigjen Pol Hendra Kurniawan bersama Mayjen TNI Dudung Abdurachman saat masih menjadi Pangdam Jaya. (Foto: Istimewa) |
Hal itu disampaikan Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso melalui
Siaran Pers IPW yang diterima Redaksi TangerangNet.Com, Kamis (21/7/2022).
Dengan pencopotan tersebut, kata Sugeng, sudah saatnya
Penanggungjawab Tim Khusus polisi tembak polisi, Komjen Gatot Eddy Pramono yang
juga Wakapolri, sekaligus pejabat sementara Kadiv Propam Polri harus memeriksa
semua anggota Propam Polri dan anggota Polres Jakarta Selatan yang terlibat
dalam penanganan kasus tewasnya Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat.
“Hal ini dilakukan, bila Tim Khusus Internal Polri mengikuti
arahan Presiden Jokowi yang menyatakan kasusnya
harus dituntaskan. Jangan ditutupi, terbuka, dan jangan sampai ada
keraguan dari masyarakat,” tutur Sugeng.
Sehingga, imbuh Sugeng, untuk tidak menutupi kasus yang
sebenarnya terjadi dan menghilangkan keraguan dari masyarakat itu, sudah
menjadi kewajiban Tim Khusus untuk menelusuri adanya campur tangan dan perintah
dari anggota Polri baik di Satker Divisi Propam dan Polres Jakarta Selatan,
mulai sejak kejadian hilangnya nyawa Brigadir Pol Yosua.
“Penelusuran keterkaitan adanya anggota Polri dalam
penanganan kasus ini juga perlu dilakukan oleh Kompolnas dan Komnas HAM yang
sudah mendapatkan bahan dari masyarakat,” ucap Sugeng yang didampingi Sekjen
IPW Data Wardhana.
Seperti diketahui, laporan pertama yang muncul, sesuai keterangan
Karopenmas Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan adalah setelah mengetahui
kejadian, Irjen Ferdy Sambo melaporkan peristiwa ke Kapolres Jakarta Selatan,
Jumat, 8 Juli 2022.
Dengan mencuatnya kejadian di rumah Irjen Ferdy Sambo, maka
Kapolres Metro Jakarta Selatan dan anggota di Divisi Propam Polri turut serta
berada di tempat kejadian perkara (TKP). Bahkan keterlibatan anggota Propam
Polri sampai mengantar jenazah ke rumah duka di Jambi. Termasuk adanya campur
tangan saat adik kandung almarhum Brigpol Yosua dipaksa menandatangani hasil
otopsi.
“Jangan lupa, dalam kasus tewasnya polisi tembak polisi ini
semua tersangkut dengan Divisi Propam Polri. Brigpol Yosua yang tewas ditembak
adalah ajudan Irjen Ferdy Sambo yang menjabat Kadiv Propam Polri. Penembaknya
Bharada E juga ajudan Irjen Ferdy Sambo dan kejadiannya juga di rumah Irjen
Ferdy Sambo yang merupakan Pejabat Utama Mabes Polri di Duren Tiga, Jakarta,”
ujst Sugeng.
Sehingga, kata Sugeng, segala urusan mengenai kejadian tersebut
menjadi tanggungjawab Satkernya yakni Propam Polri. Hal itu terlihat jelas
dalam pengantaran jenazah ke rumah duka dilakukan oleh Propam Polri.
“Dengan begitu, sangat wajar kalau Tim Khusus yang
beranggotakan Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto selaku ketua tim, Kabareskrim
Komjen Agus Andrianto, Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri dan Asisten SDM Polri
Irjen Wahyu Widada memeriksa semua anggota Polres Jaksel dan anggota Propam
Polri yang terlibat dalam penanganan kematian Brigadir Pol Yosua yang telah
menjadi perhatian public,” tutur Sugeng.
Pasalnya, kata Sugeng, kejanggalan dalam penanganan kasus
polisi tembak polisi itu muncul ketika jenazah yang tiba di rumah duka di
Jambi, tidak boleh dibuka oleh keluarga. Kemudian, pihak kuasa hukum keluarga
menyatakan bahwa adik almarhum dilarang komandannya untuk melihat proses
otopsi. Bahkan, adiknya dipaksa untuk tanda tangan hasil otopsi.
“Karenanya, oknum-oknum yang melampaui kewenangannya
tersebut harus diberikan sanksi oleh Tim Khusus Internal Polri sesuai
transparansi berkeadilan dalam Polri Presisi yang dicanangkan Kapolri Jenderal
Listyo Sigit. Kemudian dilakukan sidang disiplin dan sidang etik untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya,” tukas Sugeng yang berprofesi sebagai advokat.
Indonesia Police Watch (IPW), kata Sugeng, mendesak kepada
Tim Khusus Internal Polri untuk melakukan tindakan hukum kepada anggota Polri
yang menghalangi proses hukum (obstruction of justice) dengan menerapkan pasal
233 KUHP.
Bunyi pasal 233 KUHP menyatakan bahwa: "Barang siapa
dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai,
menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan
sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau
daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus menerus atau untuk
sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun
kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun".
“Bagaimana pun, kasus ini harus dijadikan koreksi di tubuh
Polri yang melaksanakan Polri Presisi. Karenanya, institusi Polri harus berani
tegas, menindak terhadap anggota-anggotanya yang terlibat melakukan
penyimpangan dan pelanggaran hukum dalam kasus polisi tembak polisi yang
menewaskan Brigadir Pol Yosua,” ujar Sugeng.
Apa yang menjadi arahan Presiden Jokowi, menurut Sugeng,
cukup gamblang yakni jangan sampai ada keraguan dari masyarakat, harus
dituntaskan dan jangan ditutupi. Sebab itu, Tim Khusus Internal Polri harus
mengusutnya secara menyeluruh terhadap setiap anggota Polri yang terlibat dalam
penanganan kasus tewasnya Brigadir Pol Yosua di rumah Irjen Ferdy Sambo
tersebut. (*/rls)
0 Comments