![]() |
Rasyid Taufik (Foto: Ist/koleksi pribadi) |
IDE untuk menulis ini sebenarnya muncul beberapa hari lalu
sepulang silaturahmi lebaran di kediaman Pak Wahidin Walim. Malam itu bersama
saudara kembar, Rasyid Hidayat, kami datang berkunjung ke kediaman Pak WH.
Sudah ada tamu sekitar 10 orang pengurus Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional
Pemuda Indonesia (DPD KNPI) Banten pimpinan Dwi Nopriadi Atmaja. Penulis duduk
di kursi tepat bersebelahan dengan Pak WH.
“Kurusan kamu!”
“Iya pak. Biasa abis puasa hehe.”
Penulis senang juga dengan sapaan Pak WH. Pertama karena
memang punya target turun berat badan. Kedua, penulis menganggap itu adalah bentuk
perhatian beliau.
Penulis bertemu Pak WH bisa dibilang sangat jarang bahkan
tidak sampai hitungan jari sebelah. Terakhir ketemu beberapa tahun sebelum
pandemi Covid-19. Sama, pas lebaran juga. Pertemuan sebelumnya di tahun 2010-an
di Gedung Pusat Pemerintahan Kota Tangerang. Saat itu, beliau menjabat walikota
dan membuka acara training ESQ untuk guru dan ustadz/ustadzah. Penulis
bertindak sebagai trainer pada acara itu.
“Kegiatan apa sekarang?”
“Ngajar di pesantren An Nuqthah dan mimpin lembaga training
pengembangan SDM”
Pak WH lalu menyampaikan kepada para pengurus KNPI tentang
pentingnya menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah kepada pemuda dan remaja.
“Ikhtiar menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah harus terus
dilakukan meskipun membentuk sebuah
budaya dalam masyarakat itu proses yang komplek karena terkait juga contoh
perilaku dari pada pemimpin. Tapi nilai-nilai itu yang akan membentuk perilaku
kolektif sebuah masyarakat” ujar WH.
Lalu Pak WH panjang lebar menyampaikan tentang kondisi
sosial masyarakat yang menurutnya memprihatinkan. Gaya hidup orang yang menjadi
awal banyaknya terjadi penyalahgunaan wewenang. Persaingan dalam hal yang
sifatnya artibut seperti harta dan kemewahan.
Pak WH juga menyinggung tentang pemimpin daerah yang tidak
memahami makna hakiki sebuah kepemimpinan dan juga terkait penyerahan
kewenangan dan anggaran Pemerintah pusat ke Pemerintah daerah.
Mendengarkan penjelasan WH tentang otonomi daerah, penulis
tiba-tiba teringat perkenalan penulis dengan beliau awal tahun 2000-an. Peristiwa itu masih
tersimpan di memori jangka panjang otak penulis. Waktu itu, penulis mengundangnya
menjadi narasumber di seminar nasional yang diadakan oleh Badan Ekskutif
Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Jakarta.
Penulsi masih ingat, WH mengenakan kemeja warna ping dan
menyetir mobil offroad ( overland- kekinian) yang diparkir di halaman gedung
rektorat. Ketika acara dimulai, pembawa acara mempersilakan penulis untuk
memberi sambutan.
“Selanjutnya sambutan dari Gubernur BEM Fakultas Ekonomi.
Kepada Sdr Rasyid Taufik dipersilakan”
WH yang tepat berada di sebelah penulis berbisik:
“Kamu udah jadi gubernur aja. Saya belum”
Penulis senyum saja dapat candaan itu. Iya, saat itu eforia
demokrasi hingga masuk ke nama jabatan pimpinan di kampus. Yang sebelumnya ketua
senat diubah menjadi gubenur.
Penulis ingat, pada seminar itu terjadi perdebatan yang
lumayan seru antara WH dan seorang ibu pejabat Kementerian Dalam Negeri yang
menjadi narasumber juga. Debat itu seingat penulus terkait penyerahan
kewenangan dan anggaran ke daerah. Intinya, WH ingin Pemerintah pusat komitmen
dengan Undang Undang Dasar (UUD) dan UU terkait otonomi daerah. Mungkin kalimat
persisnya bukan seperti itu tapi serupa dan senada dengan itu.
Malam itu, penulis menyaksikan bagaimana pandangan WH masih
konsisten dengan apa yang disampaikan 20 tahun yang lalu.
Mendapatkan kuliah singkat tentang akhlak, pergeseran
orientasi masyarakat yang lebih kepada atribut fisik, perilaku kepemimpinan
pejabat dan juga soal otonomi daerah, saya merasa dapat pencerahan. WH tampak
sekali sangat menguasai permasalahan dan dinamika masyarakat. Mengurai
permasalahan menjadi jelas, sederhana, memakai bahasa dan studi kasus
keseharian.
Tidak mengherankan jika WH memiliki program-program yang
menjadi solusi atas permasalahan yang ada di wilayahnhya.
Penulis ingat saat menjadi Walikota Tangerang, WH
mendapatkan pujian karena prestasinya membangun 450 gedung sekolah bertingkat
semua, under pass di Ciledug, fly over di jalan by pass Sudirman, insentif
untuk para guru ngaji dan marbot, insentif RT RW, program multiguna yaitu
berobat gratis hanya dengan menunjukkan Kartu Tandan Penduduk (KTP) dan Kartu
Keluarga (KK).
Tidak mengherankan jika program waktu WH Walikota menjadi
referensi dan tujuan studi banding dari Pemkab/Pemkot daerah lainnya di
Indonesia.
Amanah yang Allah titipkan kepada Pak WH semakin besar
seiring bertambah usianya. Sejak 2017 menjadi Gubernur Banten. Sepertinya
beliau punya sebuah tradisi. Iya, tradisi berprestasi. Prestasi yang didorong
semangat memenuhi harapan para Sultan Banten.
“Menjadi tugas dan kewajiban kita untuk memenuhi harapan
para Sultan Banten,” ungkap WH saat HUT ke-21 Provinsi Banten.
Didorong oleh semangat itu, akhirnya mewujud dalam bentuk
fisik berupa predikat Wajar Tanpa Pengecualian Badan Pemeriksaan Keuangan (WTP
BPK) atas laporan keuangan 6 kali berturu-turut, Banten dinilai berhasil
menangani pandemi Civid-19, pembangunan jalan dengan cor beton, revitalisasi
kawasan Bantan lama, gedung 8 lantai RSUD Banten, jembatan Aria Wangsakara,
Banten Internasional Stadium dan lainnya.
Hari ini masa jabatan beliau menjadi Gubernur Banten
berakhir. Sebagaimana motivasinya untuk memenuhi harapan dan cita-cita para
Sultan, semoga para Sultan tersenyum hari ini menyaksikan begitu banyak
prestasi yang ditorehkan oleh seorang Wahidin Halim.
Terimakasih atas pengabdian. Semoga selalu sehat dan berkah
umur panjang untuk kemaslahatan masyarakat Banten. (***)
Penulis adalah Founder Titik Terang Leadership Center
0 Comments