Almarhum Margiono dimakamkan. (Foto: Istimewa) |
SELAMAT jalan Mas Margiono, wartawan senior, sejawat,
sahabat, sosok hangat, yang berpulang ke Rakhmatullah Selasa (1/2/2022) pagi
pukul 09.45 WIB di RSPP Modular, Jakarta. Ia mengembuskan nafas terakhir dalam
usia 62 tahun. Meninggalkan isteri dan tujuh anak.
Mulanya, hanya mau kontrol di Rumah Sakit
Margiono masuk RSPP Modular, Jakarta, Sabtu (22/1/2022)
lalu. Ia pasien Rumah Sakit (RS) Eka BSD ( Bumi Serpong Damai) yang dirujuk ke
RSPP Modular, Jakarta, karena terkonfirmasi Covid-19.
Sabtu siang itu, Margiono ke RS Eka hanya untuk check up
rutin. Ia memang mengidap sakit ginjal. Setahun terakhir ia rutin sebulan
sekali kontrol di rumah sakit itu.
"Terkonfirmasi Covid-19 pas siang itu di RS Eka. Papa
tiba-tiba sesak nafas ketika tiba di RS. Dokter
UGD kemudian melakukan swab PCR yang hasilnya positif," cerita Rivo
salah satu putra Margiono, Selasa (1/2/2022) pagi, pertelepon.
Rivo mendapat berita duka tentang ayahnya langsung dari dokter di RSPP tadi pagi. Tidak
lama setelah Margiono dinyatakan wafat. Rivo mengaku itu tidak ada keluarga
yang sempat melepas kepergian Margiono, karena RS melarang pasien Covid-19
ditunggui oleh keluarga.
Rivo terakhir ngobrol dengan ayahnya di kantornya, Sabtu (22/1/2022) pagi di
gedung Intermark, milik Margiono, di kawasan BSD.
"Baik saja. Tidak ada tanda menderita sakit. Kami
ketemu jam 10 pagi. Sedangkan Papa ke ke
RS Eka untuk kontrol pukul 13.30 hari itu. Malamnya baru ketemu lagi di RS, tapi
tidak bicara apa - apa lagi," cerita Rivo.
Semalam sempat membaik
Kondisi Margiono selama diopname di ICU RSPP setelah beberapa kali cuci darah, naik turun. Sempat
membaik empat hari lalu. Ini menurut cerita Ratna Susilawati, salah satu
direktur di "Rakyat Merdeka", kelompok usaha milik Margiono.
"Alhamdulillah, kondisi Pak Margiono makin baik.
Laporan dari dokternya saturasi bagus, semua parameter menunjukkan perbaikan.
Mohon doa," kata Ratna melalui chat di WhatsApp Sabtu (29/1/2022) malam.
"Tadi malam juga kondisi Papa dilaporkan dokter,
membaik. Tensi dan saturasi normal. Tapi kondisi itu tidak bertahan lama. Setelah itu tensinya
drop lagi, berkisar 62/47, saturasi 88-90. Kemudian, pagi tadi dikabarkan telah
tiada," papar Rivo.
Pimpin PWI 2 Priode
Margiono adalah mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) Pusat dua priode. Dua priode dalam kepengurusan PWI Pusat
(2008-2018) itu kami bahu membahu menjalankan roda organisasi wartawan tertua
di Indonesia itu. Saya Sekretaris dan Ketua Dewn Kehormatan PWI. Ada masa- masa
sulit, tapi kesulitan itu bisa dibuat
mudah oleh Margiono. Bahkan pada priode kepemimpinannya iuran anggota yang
sulit ditagih, dibebaskan. Free of charge. Tidak hanya itu.
Margiono sering pula membiayai atau sekurangnya menalangin
kebutuhan dana organisasi PWI dari kantong pribadinya. Dan, itu sejak awal.
Dimulai ketika terpilih sebagai Ketua Umum PWI di Kongres Aceh tahun 2008.
Renovasi kantor PWI besar-besaran dibiayainya sendiri.
Sebagai Ketua Umum PWI Pusat, Margiono memang dibekali banyak "perlengkapan".
Nama dan reputasinya cukup membanggakan. Dia dikenal sebagai wartawan
pemberani. Salah satu media yang dipimpinnya dulu, Majalah " Detektif
Romantika" pernah bikin geger Indonesia. Sampul depannya menampilkan
Presiden Soeharto dalam bingkai kartu King.
Seperti bisa ditebak, dan sudah diperhitungkannya, media itu
memang kena breidel penguasa. Margiono juga dapat sanksi dari organisasi PWI.
Margiono adalah wartawan dan direksi group media besar
"Jawa Pos". Dua puluh tahun terakhir ia mengembangkan grup media sendiri "Rakyat
Merdeka". Media ini termasuk berani.
Pernah dalam satu kurun, terutama di awal-awal,
"Rakyat Merdeka" menyajikan isu- isu sensitif yang
menyerempet kekuasaan. Salah satu headlinenya yang sempat digugat di
pengadilan, berjudul "Megawati Minum Solar" terbit pada masa
pemerintahan Megawati sebagai Presiden RI.
Margiono cerita, masa itulah dia kebingungan. Bersamaan di
satu hari medianya menghadapi sidang
gugatan di banyak pengadilan. Untuk mengatasinya, dia pun memutuskan mengangkat
11 pemimpin redaksi.
"Supaya semua sidang gugatan bisa dilayani,"
katanya.
Kenapa headline "Rakyat Merdeka" keras semua?
Suatu kali ia ditanya itu.
"Ini era yang kalau tidak berteriak keras, tidak ada
yang mau perduli aspirasi rakyat," alasannya.
Kembang HPN
Margiono telah tiada. Ia pergi sepekan sebelum peringatan
Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari, 7-9 Februari mendatang.
Salah satu daya tarik HPN selama masa kepemimpinannnya,
adalah dirinya sendiri. Dia adalah "kembang" HPN.
Kemampuannya berpidato memukau mulai wartawan muda dari daerah
terpencil hingga orang nomor satu di republik ini.
Saya kira pidato itu salah satu yang akan dikenang banyak
orang dari Margiono. Ia hanya bisa ditandingi oleh Tarman Azzam, dalam urusan
pidato. Tarman adalah Ketua Umum PWI Pusat, juga dua priode, yang digantikan
oleh Margiono. Tarman Azzam wafat 2016.
Pidato Margiono selalu dinanti. Tadi pagi, saya sempat
jogging dengan Marah Sakti Siregar,
wartawan senior, mantan Ketua PWI Jaya. "Masih ada tidak daya tarik HPN
sekarang tanpa pidato Margiono," tanyanya. Satu jam setelah itu, Marah
pula orang pertama mengirimi saya kabar duka mengenai Margiono.
Bukan berlebihan mengatakan memanh banyak yang menghadiri
HPN, di mana pun acaranya diselenggarakan, karena mau dengar pidato Margiono.
Ah, saya masih terbayang gesture
Margiono tiap kali berpidato. Bagaikan
aktor Stand Up Komedi menyihir
audience.
Margiono sosok wartawan yang sukses sebagai jurnalis dan
pengusaha media. Ia mengawali kariernya dari bawah. Makanya ia dekat dengan
bawahan. Sikap egaliter itu terbawa hingga menjadi boss besar di kerajaan
medianya.
Kebetulan hobbi makan pula. Seperti ditulis Dahlan Iskan,
mantan bossnya di Jawa Pos, Margiono cuma mengenal dua kategori makanan. Enak
dan enak sekali. Hobbi makan itu menambah sarananya untuk intens bergaul dan
urun rembuk dengan para karyawan dan wartawannya. Ketika memimpin PWI, ia berlaku seperti itu juga.
Mengutamakan kebersamaan dan mau mendengar curahan hati maupun kritik. Lapang
dada menerima koreksi dan kritik terhadapnya. Saya termasuk yang sering
melakukannya.
Margiono paham para pengurus
PWI datang dari berbagai latar belakang dan pengalaman. Ia tidak
menjadikan itu kendala, tetapi dihadapi sebagai kelebihan. Mendengar masukan dan
aspirasi seluruh pengurus, dia anggap memudahkan pekerjaannya. Tak percaya?
Faktanya banyak hasil rapat PWI yang
digodok dalam diskusi para pengurus, tinggal dibungkus Margiono. Tanpa mengeluarkan
satu patah kata pun.
Dia mendesain ruang rapat yang besar dan nyaman di kantor
PWI Pusat untuk tujuan itu. Agar seluruh komponen pengurus membiasakan diri
mengambil keputusan dari mendengan
banyak masukan. Caranya, ya itu tadi: melibatkan semua komponen ambil peran.
Memberi masukan dan pertimbangan. "Artinya putusan itu adalah tanggung
jawab bersama. Tidak ada yang merasa ditinggal," katanya.
Margiono telah pergi. Rasanya cuma sekejap saja. Semoga
almarhum mendapat tempat lapang, nyaman,
dan indah di sisi Allah SWT. (***)
0 Comments