Habib Bahar bin Smith saat berdebat dengan Brigadir Jenderal TNI A. Fauzi dalam vidio yang beredar luas. (Foto: Istimewa) |
BARU SAJAR penulis mendapat kiriman video di GWA (Grup
WhatsApp), Ponpes Tajul Alawiyyin Asuhan Habib Bahar Bin Smith didatangi
sejumlah anggota TNI dipimpin seorang Jenderal bintang satu bernama A. Fauzi.
Begitu keterangan yang beredar, disebutkan pula kedatangan tersebut membawa
pesan 'ancaman' agar Habib Bahar diam, tidak menyebar provokasi, atau akan
'ditangkap'.
Penulis tidak sependapat narasi 'oknum' karena video yang
beredar memperlihatkan sejumlah anggota TNI dengan seragam loreng lengkap.
Bukan hanya satu dua, namun ada beberapa anggota TNI yang mendampingi sang
Jenderal bintang satu.
Peristiwa ini sangat memalukan, dan justru menimbulkan
dugaan ada upaya terstruktur, sistematis dan masif, untuk meneror Habib Bahar
setelah sebelumnya dikirimi teror tiga kepala anjing. Publik dapat saja
mengaitkan 'teror' kepala anjing dengan kedatangan sejumlah anggota TNI.
Video yang beredar, masih terkait erat dengan kritikan Habib
Bahar atas pernyataan KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurahman yang menyebut Tuhan
bukan orang Arab. Hal ini terbaca dari dialog yang ada dalam video.
Informasi ini memang perlu dikonfirmasi ulang, dan Mabes TNI
harus buka suara agar peristiwa ini tidak menjadi liar. Jika benar, ada kedatangan
sejumlah anggota TNI ke Pondok Pesantren Habib Bahar sebagaimana video beredar,
maka ada permasalahan serius di tubuh TNI, yaitu :
Pertama, telah ada upaya penyalahgunaan kekuatan aparat
negara yang berfungsi untuk menjaga kedaulatan Negara, alat pertahanan dan
keamanan negara menjadi alat politik oknum TNI. Dengan dalih apapun, anggota
TNI tak memiliki wewenang mendatangi rakyat sipil, dengan sejumlah anggota dan
seragam lengkap, apalagi membawa sejumlah 'pesan dan ancaman' untuk membungkam
hak konstitusional rakyat dalam menyampaikan pendapat.
Kalaupun ada masalah secara hukum, proses penegakan hukum
dilakukan oleh institusi kepolisian. Sesuai konstitusi, aparat kepolisian lah
yang memiliki fungsi penegakan hukum, bukan institusi TNI.
Dan dalam hal ini, telah dikirim SPDP (Surat Perintah
Dimulai Penyelidikan) dari Polda Jabar terhadap kasus yang menjadikan Habib
Bahar sebagai terlapor. Polisi sudah menangani perkara, lalu kenapa TNI ikut
campur ?
Kedua, kalau kedatangan didasari adanya tuduhan kegaduhan
yang dilakukan oleh Habib Bahar, semestinya koreksi justru harus disampaikan
kepada KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurahman. Sebab, pernyataan Dudung pada acara
podcast Deddy Corbuzier lah yang memicu kegaduhan.
Nasihat dan kritikan Habib Bahar juga banyak disampaikan
tokoh lainnya. Semestinya, KSAD Dudung tidak bicara sesuatu yang bukan
kompetensinya, apalagi dalam forum tak resmi dalam podcast Deddy Corbuzier.
Saluran komunikasi resmi TNI semestinya digunakan untuk
menyambung komunikasi publik antara TNI dengan rakyat. Bukan program podcast
yang sebenarnya saluran komunikasi para politisi.
Ketiga, patut diduga ada upaya pembenturan kekuatan TNI dan
ulama, alat pertahanan negara dan umat Islam sebagai pasukan cadangan untuk
mempertahankan kedaulatan. Desain adu domba oleh asing dan aseng, begitu terasa
dan pekat dalam kasus ini.
Padahal, kekuatan negara ini hanya tersisa di tubuh TNI dan
umat Islam. Kalau TNI dan umat Islam diadu domba, akan menjadi seperti apa
bangsa ini ?
Semua kegaduhan ini terjadi pada era rezim Presiden RI Joko
Widodo (Jokowi). Belum pernah terjadi, Jendera TNI dibenturkan dengan Ulama,
prajurit TNI dibenturkan dengan umat Islam. Padahal, dahulu Jenderal hormat
pada ulama, prajurit merakyat bersama umat Islam.
Kejadian di video yang beredar viral sangatlah memalukan.
Wibawa prajurit TNI jatuh, karena kesannya hanya menjadi alat politik
kekuasaan. (***)
Penulis adalah Advokat, Ketua KPAU.
0 Comments