![]() |
Dahlan Pido, SH MH (Foto: Ist/koleksi pribadi) |
PERBUATAN Habib Rizieq Shihab (HRS) hanya mengatakan “saya sehat” menjadi Pidana, karena itu dianggap berita bohong yang berdampak pada perbuatan keonaran dalam masyarakat. Padahal jika dilihat banyak juga tokoh yang menyatakan tidak sesuai dengan keadaan, seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan “tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya”, sedangkan Onar diartikan, “huru-hara dan gempar, kedua diartikan keributan dan kegaduhan”.
Apakah keonaran itu telah terjadi sejak Habib Rizieq
menyatakan sehat-sehat, terbukti tidak ada keonaran yang terjadi di masyarakat
di wilayah Indonesia. Kasus ini terlihat dipaksaakan untuk membungkam sikapnya
yang sering mengkritik untuk memperbaiki negeri terhadap kondisi yang selama
ini sering beliau suarakan.
Bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyatakan
Habib Rizieq bersalah melanggar pasal 14 ayat 1 Undang-undang (UU) No. 1 tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. Rizieq
Shihab dianggap melakukan tindak pidana berita bohong karena menyatakan
kondisinya sehat meski terkonfirmasi Covid-19 saat dirawat di Rumah Sakit (RS) UMMI
Bogor pada November 2020.
Menurut Jaksa/JPU, klaim Habib Rizieq itu menimbulkan
keonaran di tengah masyarakat, dan Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun
penjara, lebih ringan 2 tahun dari tuntutan Jaksa (JPU).
Pidana penjara untuk yang sifatnya pelanggaran (Prokes
Covid-19), bukan kejahatan, dan kasus ini dari perspektif hukum restoratif,
bahwa vonis untuk Habib Rizieq menjadi kontradiktif dengan kebijakan pemerintah
yang membebaskan narapidana yang sudah melewati setengah masa tahanan dan saat
ini justru memasukkan orang-orang ke penjara.
Hal yang menjadi polemik juga pertimbangan dari perspektif
keadilan di mata public. Misalnya kasus Menko Bidang Perekonomian RI Erlangga
Hartarto yang tidak memberikan informasi bahwa beliau positif Covid-19. Padahal
sebagai Menko ada beberapa agenda negara harus hadir di Istana, di kantor Menko
dan acara Negara lainnya. Apakah ini akan dikenakan pasal yang sama dengan
kasus Habib Rizieq???
Bahwa rahasia kedokteran itu tidak berlaku pada situasi
pandemik, bahkan untuk tokoh publik harus secara pribadi menyampaikan bahwa dia
positif Covid-19 atas dasar moral dan transparansi bertanggung jawab melindungi
orang lain/banyak. Apabila dia melakukan perbuatan berbohong dan tidak
memberitahukan kepada orang lain dirinya positif Covid-19, maka unsur pidana
bisa masuk karena orang lain yang tertular bisa sakit dan bisa juga meninggal.
Seharusnya rahasia kedokteran itu tidak berlaku pada situasi
pandemi, bahkan untuk tokoh publik, harus secara pribadi menyampaikan kepada
publik bahwa positif Covid-19. Atas dasar moral, harus bertanggung jawab
melindungi orang lain.
Denda dalam pelanggara lebih memberikan efek jera dari pada
Penjara?
Sanksi denda ini sesuai dengan UU Wabah atau UU Karantina
Kesehatan seperti terlihat dari rumusan Pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi, "Setiap orang yang tidak mematuhi
penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan
sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100 juta".
Dari ketentuan di atas Habib Rizieq telah dikenakkan sanksi
denda Rp. 50 juta, sehingga kalaulah semua orang yang melakukan pelanggaran
masuk Penjara, apakah daya tampung Lapas kita itu cukup? Tidak boleh ada unsur
main-main dalam hukum pidana, dan tidak boleh ada unsur politik dalam nasib
orang yang menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM)-nya.
Di sinilah ujian integritas Hakim dalam menjatuhkan putusan
perkara pidana yang perlu menggunakan HATI NURANI untuk membebaskan, bukan
untuk menghukum, karena menghukum itu harus berdasarkan Undang-undang. Jangan
Hakim hanya berkutat pada peraturan formal, menjadi corong UU, walaupun Hakim
itu tidak mungkin memutus tanpa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang
berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dari sistem kita
anut.
Bahwa Pengadilan merupakan lembaga untuk mencari keadilan
supaya seseorang merasa hukumannya Adil. Hakim itu wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang (UU) No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Selanjutnya putusan pengadilan itu dilaksanakan dengan memperhatikan
nilai kemanusiaan dan keadilan (Pasal 54 ayat 3).
Hal yang sama dituntut kepada Jaksa Penunut Umum (JPU),
seperti perintah Pasal 8 ayat (4) tentang UU Kejaksaan RI yang menyebutkan,
bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak
berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan,
kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat
profesinya.
Kemudian dalam Standar Operasional Prosedur (SOP), bahwa
penanganan perkara tindak Pidana umum, harus berdasarkan atas asas kebenaran,
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum (Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung RI
No. Per-036/A/JA/09/2011), yang bertujuan untuk mewujudkan efektivitas,
efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam penanganan perkara (Pasal
3-nya).
Hilangnya nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat itu
terlihat dari banyaknya tokoh hukum, politik, tokoh agama dan masyarakat biasa
menyuarakan itu. Bahkan saat putusan di Pengadilan Tinggi Jakarta massa
masyarakat dari berbagai daerah disekitar DKI Jakarta dan Jawa Barat turun ke
jalan memperlihatkan bahwa ada sesuatu dengan hukum dan keadilan kita. Mereka
berharap “Hukum jangan sampai melukai rasa keadilan rakyat”. (***)
Penulis adalah Praktisi Hukum dan Advokat Senior.
0 Comments