![]() |
Suasana diskusi ketika para nara sumber menyampaikan paparannya. (Foto: Istimewa) |
Di antara sekian banyak kecenderungan dan keingintahuan
mereka, adalah pemuda dan pelajar tidak lagi memerdulikan kesehatan dan
jiwanya. Minuman beralkohol, minuman keras bahkan minuman oplosan kadang menjadi
pilihan bagi ajang coba-coba.
Atas kondisi tersebut, Badan Otonom Bidang Pelajar Putri
Nahdlatul Ulama biasa disebut dengan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
menyelenggarakan Webinar 'Peredaran Minuman Keras Oplosan di Kalangan Pelajar'
yang diselenggarakan di Tengah Kota Coffee and Resto, Jumat (17/9/2021).
Akademisi Ma’had Aly Al-Aqidah Al-Hasyimmiyah Nanda
Khoeriyah mengatakan jika pemuda mengkonsumsi minuman beralkohol (Minol) karena
mencari eksistensi, ingin dilihat oleh lingkungan, dan ingin mencoba sesuatu
yag baru, dan sebagai pelarian bersama teman-temannya.
"Miras (minuman keras) adalah eksistensi. Miras
merupakan bagian budaya indonesia sehingga itu tidak bisa dilarang total,
pengaruh demi eksistensi, dan pengaruh serta hasrat untuk selalu diakui. Karena
bagian dari budaya, kita jangan mudah menghakimi orang lain. Dan orang yg yang
mengkonsusmi itu pasti buruk. Tidak, memang ada di budaya kita itu bagian dari
budaya kita," katanya.
Di sisi lain, Antropolog Universitas Indonesia /Asosiasi
antropologi Indonesia Raymond Michael Menot menjelaskan tentang adat atau
budaya kita yang menjadikan minuman sebagai bagian dari budaya kita.
"Kita punya 500 etnis suku, 160 ribu pulau, 6 agama
besar. Dan setiap etnis itu punya minuman khas daerah masing-masing. Di Manado,
Minahasa, NTT (Nusa Tenggara Timur), Papua dan
lainnya. Secara adat, minol itu sudah dipraktekkan
ribuan tahun lalu, bukan kebiasaan karena kebiasaan bisa diganti tapi budaya
tidak karena menyangkut harga diri dan psikologis," jelasnya.
"Minol masih ada sampai sekarang, bukan untuk
mabuk-mabukan. Di samping itu, aturan kita melarang anak usia 16 tahun
mengkonsumsi minol. Dalam adat juga tidak boleh minum, ada aturan dan
ukurannya. Secara adat, minol itu lebih berfungsi sebagai penghangat, acara
ritual dan perjamuan khusus," tuturnya.
Materi terakhir oleh Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI
Jakarta KH Lutfi Hakim. Menurutnya, miras oplosan terbuat dari bahan-bahan yang
tidak seharusnya dikonsumsi. Pemerintah sudah seharusnya dengan segera
menindaklanjuti payung hukum yang mengaturnya.
“Dalam RUU (Rencana Undang-Undang) ini ada tiga hal,
filosofis isinya membahas apakah semua daerah ataupun agama menganggap hal ini
dilarang. Sebagian daerah ataupun agama menganggap minol sebagai pelengkap
upacara keagamaan ataupun kebudayaan, secara sosiologis juga demikian. Secara Yuridis
berisi perlu adanya payung hukum, harus ada payung hukum berupa pengendalian,
bukan larangan, karena akan jadi diskriminasi, dan pengendalian harus dibarengi
dengan pengawasan,” paparnya.
Sementara, KH Lukman Hakim mengkritisi RUU minol yang belum
menyentuh minol oplosan. Beliau menjelaskan dari aspek filosofis, sosiologis dan
yuridis, beliau mengatakan.
“Pemerintah sudah punya regulasi untuk mengatur miras tapi
oplosan ini belum ada pengaturannya. Kita berfikir positif, bahwa dalam
melaksanakan kebijakannya pemerintah berdasarkan kemaslahatan masyarakatnya.
Hal ini berdasarkan kaidah fiqh, tasharroful imam alar ro”iyah manuthun bil
maslahah," tuturnya. (btl)
0 Comments