Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Probowo Awalnya Sebagai Hero, Kini Berubah Jadi “Pemandu Hore”

Ilustrasi, awalnya seperti macan 
kini seperti jadi kambing. 
(Foto: Istimewa)  



Oleh: M. Rizal Fadillah

 

DI ANTARA penampilan Prabowo Subiyanto saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 untuk meyakinkan pendukungnya adalah sikap dan tekad untuk "ikut timbul tenggelam bersama rakyat". Menggebrak meja mimbar adalah bukti atas heroisme untuk berjuang demi rakyat.

Namun pada akhirnya, Prabowo perjalanan sikap politiknya bergerak ke arah lain. Prabowo dan Sandiaga Salehudin Uno  menjadi "Pembantu" Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai anggota Kabinet 2019-2024. Hero telah berubah menjadi "Pemandu Hore".

Prabowo bukanlah karakter pemimpin yang baik dalam makna sikap konsistensinya. Begitu menjadi Menteri dia langsung “Terkurung Dalam Sangkar”. Tidak ada pernyataan pembelaan pada penderitaan rakyat baik soal Vaksin, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), pengangguran, Tenaga Kerja Asing ( TKA) China, hutang luar negeri, pembunuhan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI), penzaliman kepada Habib Rizieg Sihab (HRS), serta penistaan agama. Prabowo memilih Bungkam seribu bahasa dan menjadi politisi yang penurut pada majikannya. 

Alih-alih pembelaan pada kesulitan rakyat atau memberi masukan konstruktif kepada Presiden tentang masalah kerakyatan, justru yang tertangkap publik adalah pujian habis-habisan kepada Jokowi yang terlihat melewati batas sebagai "jagoan" mantan kandidat Presiden yang mendapat dukungan besar dari rakyat.

Dua kali Prabowo "Bersyahadat" memuji-muji Jokowi. Pertama dalam pidato khusus sendiri. "Saya bersaksi bahwa keputusan Jokowi selalu berdasarkan keselamatan rakyat miskin dan lemah" dan kedua, saat pertemuan Jokowi dengan Parpol koalisi baru-baru ini.

Prabowo menyatakan "Jadi kepemimpinan Pak Jokowi efektif. Saya mengakui itu dan hormat sama Bapak. Saya lihat. Saya saksi. Saya ikut  dalam Kabinet. Kepemimpinan, keputusan-keputusan Bapak cocok untuk rakyat kita".

Merujuk pada saat Jokowi didukung untuk menjabat tiga periode, maka pujian terbuka itu dapat "menampar muka saya", "mencari muka"  atau "menjerumuskan saya". Tanpa ada respon serupa dari Jokowi sebenarnya Prabowo sedang "Menjilat" atau "Mecari Muka" yang entah tujuannya apa. Gampangnya saja bisa untuk dukungan Presiden ke depan tahun 2024. Adakah restu Baginda sudah didapat untuk Prabowo-Puan (Puan Maharani) hingga Megawati Soekarnoputri pun perlu menangis dengan tambahan diksi "kurus" dan "kodok" ?

Semestinya Prabowo jangan berfikir untuk menjadi Presiden melalui kompetisi yang ketiga kalinya. Puncak kepercayaan rakyat adalah Pilpres 2019 lalu. Wajah Prabowo sudah semakin jelas kerut-kerutnya karena usia ataupun kerutan sikap politiknya. Rakyat bukan bicara bagaimana kemungkinan Prabowo dapat menang. Tetapi dengan asumsi menang dan menjadi Presiden pun Prabowo sulit mendapat dukungan penuh. Sama saja dengan Jokowi. Banjir kritik sudah terbayang. Ia bukan tokoh yang kuat.

Ketika Menter Pertahanan (Menhan) ini menyambut di atas mimbar dengan memuji habis Jokowi, maka harapan adanya gebrakan untuk mengingatkan jalannya pemerintahan yang sudah terantuk-antuk adalah sebuah ilusi. Gebrakan meja hanya cerita masa lalu saat bersama rakyat. Kini di tempat yang jauh dari perasaan keadilan rakyat, Prabowo memang sedang menggebrak-gebrak angin.

Timbul tenggelam bersama rakyat itu dibuktikan dengan rakyat yang tenggelam dan Prabowo yang timbul. Namun sebenarnya Prabowo juga sedang tenggelam bersama tenggelamnya kapal selam Nanggala-402 yang hingga kini tak ada cerita. Nyawa 53 orang seperti sia-sia dan Sepi. (***)

 

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Post a Comment

0 Comments