Ilustrasi, awalnya seperti macan kini seperti jadi kambing. (Foto: Istimewa) |
DI ANTARA penampilan Prabowo Subiyanto saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 untuk meyakinkan pendukungnya adalah sikap dan tekad untuk "ikut timbul tenggelam bersama rakyat". Menggebrak meja mimbar adalah bukti atas heroisme untuk berjuang demi rakyat.
Namun pada akhirnya, Prabowo perjalanan sikap politiknya
bergerak ke arah lain. Prabowo dan Sandiaga Salehudin Uno menjadi "Pembantu" Presiden Joko
Widodo (Jokowi) sebagai anggota Kabinet 2019-2024. Hero telah berubah menjadi
"Pemandu Hore".
Prabowo bukanlah karakter pemimpin yang baik dalam makna
sikap konsistensinya. Begitu menjadi Menteri dia langsung “Terkurung Dalam
Sangkar”. Tidak ada pernyataan pembelaan pada penderitaan rakyat baik soal
Vaksin, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), pengangguran,
Tenaga Kerja Asing ( TKA) China, hutang luar negeri, pembunuhan 6 laskar Front
Pembela Islam (FPI), penzaliman kepada Habib Rizieg Sihab (HRS), serta
penistaan agama. Prabowo memilih Bungkam seribu bahasa dan menjadi politisi
yang penurut pada majikannya.
Alih-alih pembelaan pada kesulitan rakyat atau memberi
masukan konstruktif kepada Presiden tentang masalah kerakyatan, justru yang
tertangkap publik adalah pujian habis-habisan kepada Jokowi yang terlihat
melewati batas sebagai "jagoan" mantan kandidat Presiden yang mendapat
dukungan besar dari rakyat.
Dua kali Prabowo "Bersyahadat" memuji-muji Jokowi.
Pertama dalam pidato khusus sendiri. "Saya bersaksi bahwa keputusan Jokowi
selalu berdasarkan keselamatan rakyat miskin dan lemah" dan kedua, saat
pertemuan Jokowi dengan Parpol koalisi baru-baru ini.
Prabowo menyatakan "Jadi kepemimpinan Pak Jokowi
efektif. Saya mengakui itu dan hormat sama Bapak. Saya lihat. Saya saksi. Saya
ikut dalam Kabinet. Kepemimpinan, keputusan-keputusan Bapak cocok untuk
rakyat kita".
Merujuk pada saat Jokowi didukung untuk menjabat tiga
periode, maka pujian terbuka itu dapat "menampar muka saya",
"mencari muka" atau "menjerumuskan saya". Tanpa ada
respon serupa dari Jokowi sebenarnya Prabowo sedang "Menjilat" atau
"Mecari Muka" yang entah tujuannya apa. Gampangnya saja bisa untuk
dukungan Presiden ke depan tahun 2024. Adakah restu Baginda sudah didapat untuk
Prabowo-Puan (Puan Maharani) hingga Megawati Soekarnoputri pun perlu menangis
dengan tambahan diksi "kurus" dan "kodok" ?
Semestinya Prabowo jangan berfikir untuk menjadi Presiden
melalui kompetisi yang ketiga kalinya. Puncak kepercayaan rakyat adalah Pilpres
2019 lalu. Wajah Prabowo sudah semakin jelas kerut-kerutnya karena usia ataupun
kerutan sikap politiknya. Rakyat bukan bicara bagaimana kemungkinan Prabowo
dapat menang. Tetapi dengan asumsi menang dan menjadi Presiden pun Prabowo
sulit mendapat dukungan penuh. Sama saja dengan Jokowi. Banjir kritik sudah
terbayang. Ia bukan tokoh yang kuat.
Ketika Menter Pertahanan (Menhan) ini menyambut di atas
mimbar dengan memuji habis Jokowi, maka harapan adanya gebrakan untuk
mengingatkan jalannya pemerintahan yang sudah terantuk-antuk adalah sebuah
ilusi. Gebrakan meja hanya cerita masa lalu saat bersama rakyat. Kini di tempat
yang jauh dari perasaan keadilan rakyat, Prabowo memang sedang
menggebrak-gebrak angin.
Timbul tenggelam bersama rakyat itu dibuktikan dengan rakyat
yang tenggelam dan Prabowo yang timbul. Namun sebenarnya Prabowo juga sedang
tenggelam bersama tenggelamnya kapal selam Nanggala-402 yang hingga kini tak
ada cerita. Nyawa 53 orang seperti sia-sia dan Sepi. (***)
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
0 Comments