Leon Alvinda Putra. (Foto: Ist/koleksi pribadi) |
"Sudah sering saya diberikan julukan tertentu. Mulai
dari planga plongo. Kemudian ada yang bilang saya ini otoriter. Ada juga yang
ngomong saya ini bebek lumpuh dan baru-baru ini ada yang bilang saya bapak
bipang dan terakhir ada menyampaikan The King Of Lip Service," kata
Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (29/6/2021).
Pernyataan itu menanggapi postingan "meme" Badan
Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM - UI) 'Jokowi The King Of Lip
Service' yang diposting di twiter Sabtu (26/6/2021).
"Saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa, ini negara
demokrasi jadi kritik boleh-boleh saja," lanjutnya dalam keterangan yang
ditayangkan di akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (29/6/2021).
Jokowi kemudian meminta
pihak universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa dalam menyampaikan
ekspresi. Memposisikan diri sebagai orang tua, Jokowi hanya mengingatkan
mahasiswa agar memperhatikan nilai
budaya tata krama dan sopan santun bangsa kita. Tidak ada keberatan sama
sekali.
Demo kreatif
Geger meme " Jokowi, King Of Lip Service" awal
minggu ini menyita perhatian luas masyarakat. Melesatkan nama Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Leon Alvinda
Putra yang menggagas itu. Secara ksatria Leon menyatakan ia bertanggung jawab
atas meme tersebut.
Leon seperti mau menjawab sekaligus keraguan masyarakat atas
senyapnya peran mahasiswa akhir-akhir ini.
Di tengah kevakuman
aksi mahasiswa, terutama sejak
pandemi, aksi Leon (22 tahun)
mahasiswa FEB UI, memang menyentak masyarakat.
Leon juga tegas
menyatakan penolakannya ketika diminta
oleh pihak Rektorat UI menghapus meme itu di akun media sosial BEM
UI. "Meme itu sebuah kritik untuk
tujuan perbaikan," kata Leon.
Secara spontan dukungan pun mengalir kepada mahasiswa BEM
-UI. Dari sesama pengurus BEM di hampir
seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Juga pimpinan beberapa parpol, dan tokoh
masyarakat. Bisa dicatat, antaranya Din Syamsuddin, Azyumardi Azra, dan KH Muhyidin
Junaidi, Wakil Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia ( MUI) Pusat.
"Sikap kritis BEM UI itu layak diapresiasi,"
tegasnya.
Rasanya bukan karena meme dan pesannya itu betul yang membuat Leon dan BEM UI mendapat dukungan masyarakat secara luas.
Tetapi, menurut saya dukungan itu mengapresiasi "penemuan"
cara kreatif mahasiswan BEM - UI
berunjuk rasa lewat media sosial. Cara itu amat murah, aman, tanpa risiko, dan
efektif untuk sampai pada sasaran. Dibandingkan berunjuk rasa secara konvensional
seperti selama ini. Pesan tidak sampai, yang ada cuma meninggalkan pengalaman
traumatik. Hanya menghasilkan gangguan ketertiban, kerusakan fasilitas umum,
luka-luka bahkan meninggal dunia di pihak mahasiswa karena bentrok dengan
aparat keamanan.
BEM tentu sudah menghitung mayoritas bangsa Indonesa kini
familiar dengan media sosial. Sesuai
data tahun 2020, sebanyak 175
juta penduduk yang terhubung dengan internet. Lebih setahun masa pandemi Covid-19
ratusan juta warga menggunakan lebih enam jam sehari untuk berselancar di dunia
maya. Bukan hanya warga di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Tren berselancar
di dunia maya sebenarnya sudah terjadi sejak Pilpres 2014. Sudah dimanfaatkan
oleh Cebong dan Kampret berperang dengan berbagai motif. Ideologi maupun
ekonomi.
Para pejabat pengambil keputusan pun hampir seluruhnya
sering menggunakan sosmed untuk berhubungan dengan publik luas. Di media sosial itu mereka menyalurkan
aspirasi dan kebijakannya. Tidak terkecuali Presiden RI Jokowi, dan menteri
anggota kabinet. Pihak yang mau dituju
kritik BEM- UI. Dan, berhasil. Tidak sampai menunggu lama kritiknya pun
mendapat respons Jokowi.
Saya yakin riset Leon dan kawan-kawan cukup matang
menganalisa peta bumi media sosial tersebut..
Intimidasi dosen
Ke depan, niscaya aksi meme
BEM UI itu akan mempengaruhi format
berunjuk rasa mahasiswa. Meninggalkan pola unjuk rasa yang mengerahkan
massa untuk berunjuk rasa menggeruduk
sasaran demo. Biaya terlalu mahal, resikonya tinggi. Selain mengganggu
ketertiban umum, juga terutama ancaman
sikap represif aparat penegak hukum. Sering terjadi, aksi mereka disusupi
provokator membuat keonaran yang mengundang aparat bertindak represif.
Meme Leon bukan tanpa penentang. Malah respons Juru Bicara
Istana, Fadjroelrachman mengawali geger.
Fadjroel menyebutkan apa yang dilakukan BEM UI menjadi tanggungjawab pimpinan
UI. Pesan itulah yang membuat pihak Rektorat UI menyidangkan Leon dan kawan -
kawan. Rektorat UI mungkin mengira pernyataan Fadjroel adalah perintah Jokowi. Maka
mereka tergopoh- gopoh buka kantor
di hari libur, Minggu untuk sidang
darurat itu.
Tidak cuma dari Rektorat UI. Leon juga menghadapi intimidasi
dari dosen UI sendiri Ade Armando yang selalu mengklaim sebagai pendukung berat
Jokowi. Namun menghadapi Ade Armando, Leon bersikap dewasa. Dia tidak bersedia
melayani pernyataan - pernyaan merendahkan dan memojokkan dari Ade.
Tantangan berdebat dari Ade tak
digubrisnya. Sampai dihina dengan julukan Pandir pun, tak direspons Leon. Dia
seperti tahu Ade akan memanfaatkan posisi sebagai dosen menekan mahasiswanya. Menggelikan cara Ade menghadapi Leon, bersikap
seperti dosen pembimbing yang hendak menguji skripsi mahasiswanya.
Minta ditunjukkan fakta- fakta atas muatan kritik meme "Jokowi, King Of Lip Service"
segala.
Sikap taktis Leon
membuahkan hasil. Tanggapan Jokowi atas memenya sudah menjawab kegusaran Ade Armando. "Saya
kira ini bentuk ekspresi mahasiswa, ini negara demokrasi jadi kritik
boleh-boleh saja," kata Jokowi seperti dikutip di atas..
Tinggal lah Ade Armando kini menuai badai atas sikap dan
pernyataan yang merendahkan dan menyudutkan Leon secara personal. Dosen UI itu kini menghadapi netizen di media
sosial yang terkenal ganas. Ade dibuat seperti "jumrah" di Mina,
Mekkah, tidak berhenti dilontari batu dan sandal jepit.
Meme BEM UI, seperti yang dinyatakan oleh Jokowi sendiri
adalah hal biasa. Dalam berbagai versi dan format, kritik seperti itu sudah
muncul lama di ruang publik. Lagi pula
bukan hanya Jokowi Presiden RI setelah reformasi yang mendapat kritik seperti
itu. Presiden Megawati pun mengalami. Megawati pernah dijuluki peminum solar
oleh sebuah HL media pers. Foto-fotonya dibakar mahasiswa di Solo. Presiden SBY
apa lagi. Masak Ade lupa, Presiden SBY malah pernah dibawakan seekor kerbau
yang dinamai SBY oleh pengunjuk rasa ke
Istana. Saya lupa adakah dulu Ade
Armando bereaksi meminta pengunjuk rasa menunjukkan korelasi kerbau dengan
kritik terhadap SBY?
Yang pasti, seperti Jokowi, Presiden SBY juga tidak
mengambil hati aksi unjuk rasa itu. Presiden tentu tahu konsekwensinya dia
menduduki jabatanya atas pilihan rakyat.
Inilah memang susahnya. Kadang ajudan lebih galak dari
komandan. Meminjam ungkapan Jokowi, entah ajudan itu mau mengambil muka atau
entah mau menjerumuskan bossnya. (***)
Penulis adalah wartawan senior yang aktif PWI.
0 Comments