Para Laskar FPI yang jadi korban pembunuhan. (Foto: Istimewa) |
P -21 bukan nomor bus kota tetapi Kelengkapan Berkas Perkara agar Jaksa siap mendakwa tersangka dalam persidangan di pengadilan. Dengan P-21 sebagaimana keterangan pihak Kejaksaan Agung, maka 2 (dua) tersangka kasus pembunuhan enam laskar FPI telah matang untuk ditingkatkan statusnya menjadi terdakwa. Meskipun dinilai sangat lambat akan tetapi hal ini adalah satu kemajuan.
Mengingat tersangka adalah aparat penegak hukum yang secara
institusional beririsan dengan Kejaksaan, maka perlu pengawasan publik yang
lebih serius. Meski sistem peradilan kita tidak mengenal keterlibatan publik
(Juri, misalnya) namun pengawalan publik dalam kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) ini menjadi sangat perlu. Demi transparansi dan obyektivitas
peradilan itu sendiri.
Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI
walaupun memiliki pandangan sendiri mengenai status pelanggaran HAM yang
terjadi, harus tetap mengawal tahap peradilan ini. Tempatkan peradilan saat ini
sebagai tahap pertama menuju tahap kemudiannya, bukti bahwa telah terjadi
pelanggaran HAM berat.
TP-3 penting untuk bekerjasama dengan banyak elemen baik itu
Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Amnesty Internasional Indonesia, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komnas HAM atau lembaga lain yang
bergerak dalam bidang penegakan hukum dan HAM. Dan Media menjadi elemen
strategis pula bagi pengawasan. Perlu kerja "keroyokan" untuk
mengawal kasus besar yang menimpa dan memalukan bangsa Indonesia ini.
Di sisi lain pengaduan yang dilakukan baik kepada
"Internasional Criminal Court" (ICC) atau "Committee Against
Torture" (CAT) tetap dipantau perkembangannya sebagai antisipasi jika
terjadi peradilan sesat (rechterlijke dwaling) yang mencerminkan bahwa
pemerintah "unwilling" dan "unable" dalam menuntaskan kasus
yang berhubungan dengan "crime against humanity" ini. Pembunuhan enam
laskar FPI adalah kasus serius kejahatan HAM.
Dengan dua tersangka FR dan MYO sebenarnya rawan. MYO adalah
driver sehingga posisinya hanya sebagai pembantu perbuatan jahat. Fokus menjadi
hanya pada satu pelaku yaitu FR. Jika FR mengalami sesuatu, misalnya seperti Elwira
kecelakaan yang menimbulkan kematian, maka akan tamatlah kasus ini. Sejak awal
saran terbaik bagi kedua tersangka ini adalah ditahan. Untuk mengurangi risiko.
Meskipun demikian, publik belum tentu percaya bahwa
pembunuhan enam anggota laskar hanya dilakukan oleh dua (atau satu) tersangka
saja, dugaan sejumlah aparat terlibat juga cukup kuat. Tuntutan untuk
pengusutan mungkin berkelanjutan. Lagi pula kasus pelanggaran HAM, apalagi HAM
berat, tidaklah mudah lapuk oleh zaman.
Satu rezim mungkin bisa saja menutupi kejahatannya, namun
suatu saat rezim lain akan membukanya kembali. (***)
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
0 Comments