Ilustrasi jalan-jalan. (Foto: Nur Hidayat) |
TANPA adanya perintah Allah SWT bagi hamba-Nya untuk
melakukan traveling dan tanpa adanya ulama yang gemar melakukan perjalanan
(jauh), niscaya ilmu pengetahuan dan agama Islam tidak akan berkembang seperti
sekarang. Benarkah?
"Banyak ayat dalam al Qur'an yang menginspirasi
pendahulu kita melakukan perjalanan jauh," ujar ustadz Ahmad Sahal Hasan.
Contohnya adalah ayat 15 surat al Mulk: "Dia lah yang menjadikan bumi itu
mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian
dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan."
Para sahabat dan tabi'in gemar melakukan perjalanan untuk
berdakwah, menyebarkan agama Islam. Imam Bukhari kerap kali melakukan perjalanan
yang sangat jauh, dengan sarana transportasi amat terbatas di zaman itu,
"hanya" untuk memverifikasi satu hadis. Bayangkan, berapa sering dan
berapa jauh jarak yang ditempuh serta banyaknya orang-orang yang ditemui
penulis kitab Sahih Bukhari yang berisi ribuan hadis itu.
Ibnu Batutah, petualang muslim yang lahir di Tangier,
Maroko, pada 1304, bepergian sangat jauh. Dia bertualang dari Mekah ke banyak
negara selama 30 tahun dan telah menyinggahi 44 negara. Sejarawan George Sarton
menyebut Ibnu Batutah sebagai "pelopor penjelajah terbesar di dunia pada
abad 14, sejauh 75.000 mil, melebihi jarak yang ditempuh Marcopolo."
Melalui perintah Allah SWT, kita diminta untuk mengambil
hikmah sebanyak-banyaknya dari aktivitas traveling atau safari itu. Apa saja
hikmahnya? Antara lain:
1. Merenungkan hakikat kehidupan
Dengan melihat bekas-bekas suatu peradaban yang hancur,
misalnya, kita paham bahwa kehidupan itu tidak kekal, mudah dihancurkan oleh
Yang Maha Kuasa. Mereka dibinasakan karena berbuat dosa, fasik dan
mendustakan-Nya. Membangkang.
2. Tafakkur melalui alam
Dengan melihat pemandangan alam yang indah, misalnya, kita
diharapkan dapat merenungkan ciptaan Allah SWT, bersyukur dan menjadikan itu
semua sebagai ayat-ayat kauniyah yang mengingatkan kita akan betapa maha
besarnya kekuasaan Allah.
3. Mensyukuri nikmat sehat
Tanpa tubuh sehat, traveling tidak dapat kita nikmati dan
malah bisa menimbulkan masalah baru. Di situ kita makin mampu mensyukuri nikmat
sehat dan memahami betapa tidak ternilainya badan sehat itu, lalu memanfaatkannya
untuk berbuat kebaikan.
4. Makin meyakini kebenaran al Qur'an
Allah SWT menciptakan manusia dengan perbedaan suku, ras, adat istiadat agar
mereka saling berkenalan dan menjalin silaturrahmi, tidak bermusuhan, seperti disebut
dalam kitab suci. Dengan bertemu mereka yang berbeda-beda itu, kita makin
meyakini kebenaran ayat-ayat al Qur'an.
5. Menambah teman dan networking
Setidak-tidaknya, bila kita traveling bersama dalam satu
grup, teman kita bertambah banyak. Dari berbagai kota, suku, profesi dan hobi.
Itu akan memperluas networking kita, yang pada suatu saat nanti pasti
bermanfaat.
6. Menambah pengalaman, wawasan
Mengambang di Laut Mati, misalnya, atau ikut merasakan Hari
Nyepi di Bali, pasti menambah pengalaman, memperluas wawasan. Kita tidak
seperti katak dalam tempurung. Pikiran kita makin terbuka. Makin mudah menerima
dan menghargai perbedaan.
Tuntunan Islam tidak menghendaki kita bersafari untuk
melakukan hal-hal terlarang. Misalnya, ikut tur ke Macau atau Las Vegas sambil
berjudi, minum minuman keras dan pesta kuliner dengan makanan haram.
"Katakanlah: Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana
akibat orang-orang yang berdosa." (QS an Naml: 69)
Mari kita ambil hikmah dari acara traveling tersebut. Tidak
sekedar untuk senang-senang, selfie, mengoleksi suvenir dan foto-video, lalu
meng-upload nya ke Instagram, Facebook dan Youtube. Jangan lupa bahwa doa-doa
dari mereka yang bersafari termasuk doa yang diijabah oleh Allah SWT.
Sayangnya, pada masa pandemi Covid-19 ini, kita tidak bisa
pergi ke mana-mana untuk memperkecil penularan virus mematikan itu. Maskapai
penerbangan di dunia sudah banyak yang bangkrut. Begitu pula hotel. Lebih aman stay at home. Lagi pula, lebih
dari 60 negara melarang warga Indonesia masuk ke negara itu. Mungkin baru 2
tahun lagi kita bisa traveling ke mana pun, setelah tertunda sekian lama.
Kata sufi terkemuka Jalaluddin Rumi, "Traveling
mengembalikan kekuatan dan cinta dalam hidup." Sastrawan terkenal Ernest
Hemingway bilang, "Memiliki tujuan di akhir perjalanan adalah sesuatu yang
bagus; tapi pada akhirnya, yang penting adalah perjalanannya." (***)
Penulis adalah pemerhati masalah social.
0 Comments