![]() |
Imam Besar HRS di ruang sidang. (Foto: Istimewa) |
SEMUA sudah tahu bahwa penahanan dan peradilan Habib Rizieq
Shihab (HRS) adalah untuk memaksakan kehendak penguasa. Pemerintahan Jokowi
alergi kepada HRS baik sebelum maupun sesudah hijrah ke Saudi Arabia. Saat di
Saudi pun tetap merasa gerah dan terus berusaha mengganggu. HRS dibenci,
disegani, sekaligus ditakuti.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) penjara 6 tahun untuk
kasus sumier tes Swab di Rumah Sakit (RS) UMMI menimbulkan kritik banyak pihak.
Membenarkan dugaan bahwa peradilan HRS adalah mengadili sebuah Kasus Politik Bukan Kasus Hukum.
Fakta kebenaran dan keadilan hukum dikesampingkan. Putusan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Timur yang menghukum 4 tahun penjara adalah bukti bahwa
benar kasus ini diproses dalam ruang Pengadilan Politik.
Vonis kasus kerumunan Mega Mendung dan Petamburan berupa
denda Rp 20 Juta dan penjara 8 bulan hanya Hiburan atau Modus Penyesatan.
Target penghukuman adalah kasus RS UMMI yaitu 4 tahun ini. Sesuai dengan
pesanan yang terlebih dahulu bocor lewat cuitan Diaz Hendropriyono "sampai
jumpa tahun 2026". Jauh sebelum pengadilan berlangsung.
HRS memang target dari Operasi Politik atau intelijen.
Karenanya harus melewatkan waktu dalam tahanan hingga 4 tahun ke depan.
Dibungkam agar disain atau skenario politik jahat tahun 2024 tidak terganggu
oleh aktivitas HRS dan pengikutnya. Tokoh oposisi harus dimatikan. Meski HRS
menyatakan banding, namun mengingat ini adalah disain politik maka mudah
diprediksi putusan Pengadilan Tinggi (PT) atau kasasi Mahkamah Agung (MA)
nantinya tetap menguatkan atau bisa saja bertambah.
Jika murni sebagai kasus hukum layak HRS bebas. Tuduhan
bohong atas kondisi kesehatan bukanlah pidana, apalagi atas dasar keyakinan
bahwa HRS itu sehat. Ahli hukum mengingatkan asas "cogitationis poenam
nemo patitur" yang ada dalam fikiran tidak bisa dipidana. Demikian juga
tuduhan bahwa bohong itu telah membuat onar. Tidak terbukti terjadinya
keonaran. Keramaian di medsos, banjir karangan bunga, atau aksi-aksi buatan itu
adalah "keonaran" artifisial alias abal-abal.
Pengadilan bermotif politik ini terbukti pula dengan Hakim
Ketua yang menawarkan pengampunan (grasi) kepada terdakwa. Sesuatu yang tak
lazim dalam sebuah Putusan Hakim. Upaya memperalat HRS untuk mewibawakan
Presiden melalui Hakim menjadi terungkap. Namun penghinaan seperti ini sudah
pasti ditolak oleh HRS. Banding adalah upaya dan perlawanan hukum.
Rakyat sudah tahu bahwa ini adalah Pengadilan Politik bukan
pengadilan hukum bahkan, bukan pula "pengadilan" tetapi "ruang
jagal" untuk menghukum ketidakberdayaan. Arogansi kekuasaan dialokasikan
lewat ketukan palu di meja hijau. Memang sulit untuk menang dalam proses
peradilan politik karena di ruang ini berlaku hukum rimba, siapa kuasa dia
menang.
Jadi sangat pas dan menggetarkan ucapan perpisahan HRS
dengan Majelis Hakim saat bersalaman "Sampai Jumpa Di Pengadilan Akherat.". Pengadilan
di mana uang dan kekuasaan menjadi tak berdaya dan tak berguna.
Para penjahat yang berjubah Hakim dan berjas dasi Penguasa
itu akan berteriak-teriak kesakitan di Neraka. Teriakan yang juga tidak
berguna. Naudzubillah. (***)
Penulis Adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
0 Comments