Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti, MA dan Prof. Dr. Basri Mansour, M. Ag beserta Tim Advokat Taktis. (Foto: Istimewa) |
Pelaporan diterima oleh Komisioner
Bidang Pendidikan Indraza Marzuki Rais dan Tim Pengaduan Ombudsman Republik
Indonesia.
Koordinator Taktis Mujahit A. Latief
menyebutkan pelaporan dugaan mal-administrasi ini ditujukan untuk memperkuat
dan memperbaiki tata kelola UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sesuai
standar good university governance (GUG) yang mempedomani prinsip
transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan pertanggung-gugatan dalam tata
kelola Badan Layanan Umum (BLU).
Dugaan mal-administrasi dan dugaan
perbuatan melanggar hukum, kata Mujahit, dilakukan Rektor berhubungan dengan
penggunaan atribut dan kekuasaan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk
membangun asrama organisasi kemahasiswaan yang bukan bagian organisasi UIN.
Selain menggunakan tangan rektor, pemanfaatan atribut UIN, tata kelola dana
yang diperoleh dari berbagai pihak juga tidak digunakan secara transparan dan
akuntabel sesuai dengan standar tata kelola keuangan Badan Layanan Umum (BLU)
UIN Syarif Hidayatullah, yang semestinya tunduk pada Hukum Keuangan Negara.
“Mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang
37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, mal-administrasi
didefinisikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut. Termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi
masyarakat dan orang perseorangan,” ungkap Mujahit.
Jika mengacu pada UU tersebut,
kata Mujahit, maka tindakan Rektor UIN Syarif Hidaytullah Jakarta Prof. Dr.
Amany Lubis, M.A., yang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Nomor: 475 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Panitia Pembangunan
Asrama Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tertanggal 13 Mei 2019,
tetapi sesungguhnya yang dibangun adalah asrama organisasi ekstra-kampus dan
rangkaian respons atas permohonan pemeriksaan dari 22 Dosen UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta kepada Menteri Agama RI, surat permohonan pembentukan
Mahkamah Etik oleh 126 dosen untuk memeriksa Prof. Dr. M. Suparta, M.A, yang
merupakan ketua panitia pembangunan, serta tindakan pemanggilan-pemanggilan
terhadap penyeru pembentukan Mahkamah Etik, merupakan rangkaian maladministrasi
lanjutan yang jelas melawan hukum.
“Tindakan melawan hukum lainnya
juga tercermin pada pembiaran Rektor atas penggunaan dana sumbangan dari
Kementerian Pemuda dan Olahraga, bantuan dari Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) dan lainnya,” ucap Mujahit.
Dalam Rapat Senat Terbuka, 17
Desember 2020, imbuh Mujahit, Rektor
mengakui dirinya tidak mengetahui penggunaan uang tersebut. Donasi yang dhimpun
oleh panitia pembangunan asrama tersebut diduga masuk melalui rekening titipan,
yang sering disebut rekening 13, sebagai rekening penampungan berbagai dana
dari pihak luar kampus.
“Penggunaan rekening 13 tanpa terlebih dahulu dicatatkan dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melainkan langsung digunakan oleh pihak UIN, menyebabkan potensi hilangnya pendapatan Negara,” ujar Mujahit.
Puncak dari tindakan Rektor
tersebut, kata Mujahit, memberhentikan Wakil Rektor III Prof. Dr. Masri Mansour,
M.Ag. dan Wakil Rektor IV Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti, MA., yang merupakan
whistleblower kasus ini. “Inilah sebagai puncak dari tindakan mal-administrasi
dan kesewenang-wenangan Rektor karena dilakukan dengan tidak mematuhi peraturan
perundang-undangan,” tutur Mujahit.
Menurut Mujahit, sudah waktunya
Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas mengambil tindakan tegas dan
proporsional atas carut marutnya tata kelola UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(*/pur)
0 Comments