Aktifitas FKMTI di kantor Sekretariat, Jakarta. (Foto: Bambang/TangerangNet.Com) |
Dalam peraturan tersebut tertulis, Kepala Kantor Pertanahan
(BPN) akan menarik sertifikat fisik untuk disatukan dalam buku tanah dan
disimpan menjadi warkah pada kantor pertanahan. Seluruh warkah akan dilakukan
alih media alias scan dan disimpan pada pangkalan data.
Sekjen FKMTI Agus Muldya Natakusuma, Jumat (5/2/2021)
mengatakan reaksi negatif atas peraturan baru BPN tersebut karena pihak kantor
pertanahan justru kerap menutup informasi warkah saat terjadi dugaan perampasan
tanah. Seharusnya Menteri ATR/BPN membuat terlebih dulu peraturan yang
memudahkan penyelesaian kasus perampasan tanah, yaitu dengan membuka warkah
tanpa melalui proses panjang pengadilan.
"Konflik lahan, kasus perampasan tanah akan mudah
diselesaikan jika BPN mau membuka warkah, proses awal kepemilikan tanah. Jika
sertifikat ditarik, pasti banyak yang menolak. Sertifikat Robert Sudjasmin yang
beli lelang dari Departemen Keuangan tidak balik saat proses balik nama di BPN
sampai 30 tahun. Justru tanah tersebut diberikan BPN kepada konglomerat. Ini
kan aneh tapi nyata terjadi," ujar Agus di sekretariat FKMTI, Jakarta.
Agus mencontohkan, kasus perampasan tanah lainnya seperti
yang dialami Rusli Wahyudi, Sri Cahyani di Banten, Samiun, Sukra di Jawa Barat,
Nugroho dan SK Budiarjo di Jakarta. Agus menyarankan agar pihak BPN
menarik terlebih dahulu sertifikat yang diduga mal-administrasi atau sertifikat
ganda pada bidang tanah yang sama. Setelah sertifikat "Bermasalah"
tersebut ditarik, BPN harus transparan membuka warkah tanah sebagai dasar
terbitnya sertifikat.
"Kalau perlu gelar perkara terbuka ini bisa disiarkan
melalui youtube dan medsos lainnya agar bisa disaksikan rakyat banyak. Nanti
akan terlihat fakta sebenarnya di mana cacat administrasinya. Sehingga bisa
mencegah oknum BPN bisa menerbitkan sertifikat tanah hasil rampasan. Kalau
warkah tanahnya dibuka, maka akan ketahuan persoalannya dan pidananya jelas.
Artinya, pihak BPN bisa membatalkan
sertifikatmya karena mal-administrasi sesuai kewenangan yang dimiliki
oleh BPN," tutur Agus.
Agus menjelaskan perampasan tanah bukan terjadi hanya pada
lahan milik masyarakat. Tetapi banyak juga lahan milik negara juga dirampas
seperti di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat dan di banyak lahan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) lainnya.
Agus menyarankan agar sertifikat elektronik diterapkan pada
tanah milik negara dahulu, baru kemudian sertifikat yang diduga ada mal-administrasi
jika sudah dapat diselesaikan oleh pihak BPN. Tujuannya agar jangan sampai
terjadi tanah negara dan tanah milik rakyat yang dikuasai dan dirampas tanah
oleh para mafia tanah, dijual kepada perusahaan asing.
"Harus diwaspadai jika tanah yang didapat dari
kongkalingkong para mafia perampas tanah dan jadi aset perusahaan kemudian
sahamnya dijual ke perusahaan asing. Sudah merampas hak rakyat juga
menghilangkan kedaulatan bangsa Indonesia," ucapnya. (btl)
0 Comments