![]() |
Dahlan Piod, SH MH (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
DALAM hukum nasional, pertanggungjawaban negara timbul
karena negara merupakan suatu yang berdaulat dan memiliki kekuasaan untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terhadap warga negara yang
berada di bawah yurisdiksinya. Dan dalam perkembangannya, prinsip
pertanggungjawaban negara erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sehingga dalam penegakan HAM, negara menjadi aktor utama yang bertanggung jawab
untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati HAM.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi
HAM, yang menghormati adanya asas hukum presumption of innosence atau asas
praduga tak bersalah menjadi pengakuan kita bersama, seperti dalam Konstitusi
UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum,
yang artinya siapapun tunduk pada Hukum dan HAM, dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Jika ada hal yang kemudian mengenyampingkan Hukum dan HAM, maka
negara bertanggungjawab dan wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat
hukumnya untuk menyelesaikannya.
Hal yang sama ada dalam Pasal 28 D UUD 1945 yang menyatakan:
Setiap orang berhak atas pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
di hadapan hukum. Kedua pasal UUD ini bermakna bahwa, hak asasi manusia untuk
mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan
hukum yang berkeadilan dan bermartabat.
Tindakan upaya paksa terhadap seseorang, seperti penetapan
tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan
yang dilakukan dengan menabrak dan melanggar hukum pada dasarnya merupakan
suatu tindakan perampasan HAM.
Perampasan HAM ini dapat kita uji/gugat dalam Lembaga
Praperadilan, yang merupakan tempat mengadukan pelanggaran HAM, dan Lembaga ini
menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang
dari negara (penyidik polisi atau penuntut umum) dalam suatu tindakannya
untuk mendapatkan kepastian hukum.
Kepastian menjadi bagian dari suatu tujuan hukum, hukum
tanpa kepastian akan kehilangan maknanya. Sedangkan dalam hukum administrasi
negara, Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara supaya tidak bertindak sewenang-wenang
yang dapat bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
yang ada.
Dalam hukum internasional, tanggung jawab negara dapat
dilihat dalam Mukaddimah Deklarasi Universal HAM (DUHAM), International
Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Internatonal Convenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Prinsip pertanggungjawaban
negara bersifat melekat pada negara, artinya negara wajib memberikan ganti rugi
jika terjadi kerugian akibat kelalaian yang dilakukan oleh negara.
Salah satu contoh ganti rugi yang berkaitan dengan HAM
diatur dalam pasal 2 ayat (3) ICCPR. Pasal ini menyebutkan dan mengatur, bahwa
negara wajib melakukan pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM secara efektif
meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh aparatnya sendiri.
Ada 2 (dua) pinsip tanggung jawab negara terhadap HAM, yaitu
responsibility dan liability. Responsibility adalah apa yang harus dipertanggungjawabkan
kepada satu pihak, sedangkan liability adalah tanggung jawab untuk mengganti
kerugian sebuah kerusakan yang telah terjadi. Jadi keduanya sama-sama mengikat
pihak yang bersalah untuk memperbaiki akibat kesalahannya.
Sebagaimana diketahui bahwa tanggung jawab negara akan
muncul akibat adanya suatu tindakan yang dianggap salah secara internasional
(international wrongful act), yakni jika suatu negara melanggar kewajiban
internasional maka negara tersebut bertanggung jawab atas pelanggaran yang
dilakukannya.
Dalam Draft Article of Law Commission dijelaskan,
bentuk-bentuk tanggung jawab negara antara lain: (ILC, 2001). a. Tindakan
penghentian (cessation); b. Tidak mengulangi sebuah tindakan (non repetition);
c. Tindakan perbaikan (reparation) yang terdiri dari restitusi, kompensasi atau
kombinasi keduanya.
Pertanggungjawaban negara merupakan seperangkat aturan
internasional yang mengatur tentang konsekuensi pelanggaran kewajiban
internasional, salah satunya adalah pelanggaran HAM. Teori hak kodrati (natural
rights theory) secara jelas menyebutkan, bahwa hak-hak asasi adalah hak yang
bersifat kodrati, bawaan dari sifat manusia dan dimiliki oleh setiap individu
tanpa terkecuali.
Negara mempunyai kewajiban untuk menghormati (to respect),
melindungi (to protect), dan mengontrol serta menjamin jalannya pelaksanaan Hak
Asasi Manusia (HAM) bagi setiap individu yang berada di bawah yurisdiksinya.
Pelanggaran HAM secara struktural yang menjadi korban adalah warga negara baik
individu maupun kelompok, dan dapat dikaitkan dengan Negara c.q Pemerintah (Badan
atau Pejabat Negara maupun Kabinet atau Parlemen yang membuat atau menjalankan
kebijakan negara).
Posisi dan peran yang menyangkut penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, dan apabila negara tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai pemangku HAM, maka negara akan diberi label
telah melakukan pelanggaran HAM. Kondisi ini melahirkan suatu prinsip
pertanggungjawaban negara (state responsibility) atas pelanggaran HAM yang
menimpa suatu kelompok atau individu.
Secara garis besar, tanggung jawab negara akan muncul
apabila negara telah melakukan tindakan yang dianggap salah secara
internasional.
Jika ada penyiksaan, penggunaan kekerasan secara berlebihan,
dan penghilangan nyawa oleh negara merupakan pelanggaran HAM menurut versi
Amnesty International. Untuk itu, negara kita harus memperlihatkan dan
membuktikan keseriusannya dalam tanggung jawab memberikan jaminan perlindungan
HAM terhadap warga negaranya, khususnya melalui mekanisme penegakan hukum guna
menghindari adanya celah mekanisme Internasional untuk mengintervensi sistem
hukum Indonesia.
Bahwa sebagaiman Penulis sebutkan di atas, dalam negara kita
bahwa untuk penetapan menjadi seorang Tersangka yang dilakukan oleh
penyidik polisi atau penuntut umum dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, maka Tersangka/Terdakwa, oleh
keluarga atau Kuasa Hukumnya dapat menguji penetapan tersebut dalam Lembaga
Praperadilan, sebagai upaya pengawasan terhadap penggunaan wewenang negara
untuk menjamin agar HAM kita tidak dilanggar atas nama penegakan hukum.
Sebagaimana diketahui dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP
menyatakan, Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Selanjutnya dalam Pasal 77 KUHAP diatur tentang:
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan;
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengimbau kepada
masyarakat, bahwa sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan
tindakan hukum yang dilakukan oleh Penyidik dengan menetapkan menjadi Tersangka/Terdakwa
yang tidak prosedural dan tidak benar, maka masyarakat dapat mengajukan
dan mengujinya ke Lembaga Praperadilan, dan Hakim Pengadilan wajib memeriksa
dan mengadili perkara tersebut, jika tidak prosedural Hakim dapat menjatuhkan
putusan untuk membatalkan penetapan menjadi Tersangka/Terdakwa tersebut
merupakan putusan yang tidak sah dan BATAL menurut Hukum. (***)
Penulis adalah Praktisi Hukum dan Advokat Senior.
0 Comments