Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

IPW: Pemburu Kelompok MIT, Tidak Berpengalaman Di Medan Tempur Hutan

Neta S. Pane. 
(Foto: Istimewa)  




NET - Sudah seminggu kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kolara yang membunuh empat warga Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng), dan membakar enam rumah serta satu gereja belum juga berhasil ditangkap aparatur kepolisian.

“Padahal jumlah teroris Poso itu hanya sekitar 20 orang,” ujar Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S. Pane dalam Siaran Pers IPW yang diterima Redaksi TangerangNet.Com, Kamis (3/12/2020).

Informasi yang diperoleh IPW, kata Neta, setelah melakukan aksi teror kelompok Ali Kolara kembali bersembunyi di hutan lebat Sulteng, sementara aparatur kepolisian yang ditugaskan memburu tidak berpengalaman di "medan tempur hutan belantara".

Neta menyebutkan dalam medan tempur ada tiga katagori, hutan, gunung, dan perkotaan. Masing-masing medan berbeda situasi dan karakteristiknya, sehingga strategi, stamina fisik personil, mental, dan peralatan yang harus dimiliki aparat juga harus berbeda. Personil kepolisian yang tidak punya pengalaman di medan hutan, pasti takut untuk masuk hutan memburu Ali Kolara dan kawan-kawan.

“Mereka hanya berada di luar hutan hingga waktu penempatannya di Poso berakhir dan akhirnya pulang ke Jawa. Akibatnya, Ali Kolara dkk yang 20 orang itu tidak akan pernah tertangkap. Sejak 2016 mereka bebas menebar teror di Sulteng,” ungkap Neta.

Neta menyarankan Mabes Polri perlu mengkonsolidasikan Brimob dan TNI yang memang punya pengalaman di medan tempur hutan, untuk memburu teroris MIT itu. Densus 88 sekali pun tidak punya pengalaman di medan tempur hutan. Mereka hanya piawai di perkotaan.

“Syarat lain yang harus dipenuhi Mabes Polri adalah biaya operasional harus memadai dan tidak dipotong oknum pimpinan, begitu juga insentif bisa diperoleh utuh untuk ditinggalkan di rumah, peralatannya dipenuhi agar memadai, dan ada reward yang jelas ketika mereka berhasil menghabisi kelompok MIT,” ucap Neta.

Misalnya, kata Neta, mereka bisa mengikuti pendidikan atau memegang posisi jabatan. "Jangan kosong kosong bae", sementara mereka harus menyambung nyawa di hutan. Jika tidak ada jaminan soal keempat hal itu jangan harap Ali Kolara dkk bisa "dihabisi". Strategi inilah yang perlu diperhatikan, sehingga Mabes Polri tidak hanya sekadar "perintah kosong", sementara mereka melihat teman-temannya yang bertugas di belakang meja, di kota kota di Jawa bisa sekolah dan gampang dapat jabatan empuk.

Padahal, imbuh Neta, kasus Sigi semakin menunjukkan bahwa kelompok radikal dan garis keras keagamaan yang bersekutu dengan terorisme makin bercokol kuat di Indonesia. Sekecil apapun celah, mereka gunakan untuk membuat teror yang menakutkan masyarakat. Untuk itu, Polri perlu bekerja cepat dan membuat strategi taktis untuk menangkap dan membongkar jaringan MIT di hutan maupun di luar hutan Sulteng.

“Sebab, apa yg mereka lakukan di Sigi seperti sebuah sinyal bahwa kelompok radikal terorisme itu akan kembali menebar teror di berbagai tempat,” ujar Neta.

Menurut Neta, Mabes Polri perlu mewaspadai akan munculnya aksi terorisme di Indonesia menjelang akhir tahun ini. Dengan maraknya aksi kerumunan massa dan meluasnya gerakan intoleransi akhir akhir ini telah membuat kalangan radikal dan jaringan terorisme seakan mendapat angin untuk kembali beraksi secara masif.

Dari pendataan IPW, kata Neta, simpatisan ormas yang sering melakukan kerumunan massa pernah ada yang terlibat dalam aksi terorisme. Pada 2017 jumlah mereka yang ditangkap Polri mencapai 37 orang dari berbagai daerah, mulai dari Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan lainnya. Beberapa di antaranya sempat ditahan di Nusa Kambangan, Gunung Sindur, Bogor dan lembaga pemasyarakatan lainnya. Namun kini mereka sudah bebas dan tidak terlacak keberadaannya. Keterlibatan mereka dalam aksi terorisme mulai dari menyembunyikan buronan terorisme hingga melakukan aksi teror itu sendiri.

Neta mengatakan dikhawatirkan dengan meluasnya aksi kerumunan massa dan gerakan intoleransi belakangan ini membuat mereka kembali bermanuver dan melakukan aksi teror. Saat ini jumlah narapidana terorisme yang tersebar di sejumlah lembaga pemasyarakat lebih dari 500 orang. Napi terorisme yang sudah bebas dan selesai menjalani hukuman dibina pemerintah melalui program deradikalisasi.

“Namun para mantan napi yang tidak terlacak keberadaannya memang perlu diwaspadai agar tidak bermanuver untuk melakukan aksi teror kembali,” tutur Neta. (*/pur)

Post a Comment

0 Comments