Neta S. Pane. (Foto: Istimewa) |
“Padahal jumlah teroris Poso itu hanya sekitar 20 orang,”
ujar Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S. Pane dalam Siaran Pers IPW
yang diterima Redaksi TangerangNet.Com, Kamis (3/12/2020).
Informasi yang diperoleh IPW, kata Neta, setelah melakukan
aksi teror kelompok Ali Kolara kembali bersembunyi di hutan lebat Sulteng,
sementara aparatur kepolisian yang ditugaskan memburu tidak berpengalaman di
"medan tempur hutan belantara".
Neta menyebutkan dalam medan tempur ada tiga katagori, hutan,
gunung, dan perkotaan. Masing-masing medan berbeda situasi dan
karakteristiknya, sehingga strategi, stamina fisik personil, mental, dan
peralatan yang harus dimiliki aparat juga harus berbeda. Personil kepolisian
yang tidak punya pengalaman di medan hutan, pasti takut untuk masuk hutan memburu
Ali Kolara dan kawan-kawan.
“Mereka hanya berada di luar hutan hingga waktu
penempatannya di Poso berakhir dan akhirnya pulang ke Jawa. Akibatnya, Ali
Kolara dkk yang 20 orang itu tidak akan pernah tertangkap. Sejak 2016 mereka bebas
menebar teror di Sulteng,” ungkap Neta.
Neta menyarankan Mabes Polri perlu mengkonsolidasikan Brimob
dan TNI yang memang punya pengalaman di medan tempur hutan, untuk memburu
teroris MIT itu. Densus 88 sekali pun tidak punya pengalaman di medan tempur
hutan. Mereka hanya piawai di perkotaan.
“Syarat lain yang harus dipenuhi Mabes Polri adalah biaya
operasional harus memadai dan tidak dipotong oknum pimpinan, begitu juga
insentif bisa diperoleh utuh untuk ditinggalkan di rumah, peralatannya dipenuhi
agar memadai, dan ada reward yang jelas ketika mereka berhasil menghabisi
kelompok MIT,” ucap Neta.
Misalnya, kata Neta, mereka bisa mengikuti pendidikan atau
memegang posisi jabatan. "Jangan kosong kosong bae", sementara mereka
harus menyambung nyawa di hutan. Jika tidak ada jaminan soal keempat hal itu
jangan harap Ali Kolara dkk bisa "dihabisi". Strategi inilah yang
perlu diperhatikan, sehingga Mabes Polri tidak hanya sekadar "perintah
kosong", sementara mereka melihat teman-temannya yang bertugas di belakang
meja, di kota kota di Jawa bisa sekolah dan gampang dapat jabatan empuk.
Padahal, imbuh Neta, kasus Sigi semakin menunjukkan bahwa
kelompok radikal dan garis keras keagamaan yang bersekutu dengan terorisme
makin bercokol kuat di Indonesia. Sekecil apapun celah, mereka gunakan untuk
membuat teror yang menakutkan masyarakat. Untuk itu, Polri perlu bekerja cepat
dan membuat strategi taktis untuk menangkap dan membongkar jaringan MIT di
hutan maupun di luar hutan Sulteng.
“Sebab, apa yg mereka lakukan di Sigi seperti sebuah sinyal
bahwa kelompok radikal terorisme itu akan kembali menebar teror di berbagai
tempat,” ujar Neta.
Menurut Neta, Mabes Polri perlu mewaspadai akan munculnya
aksi terorisme di Indonesia menjelang akhir tahun ini. Dengan maraknya aksi
kerumunan massa dan meluasnya gerakan intoleransi akhir akhir ini telah membuat
kalangan radikal dan jaringan terorisme seakan mendapat angin untuk kembali
beraksi secara masif.
Dari pendataan IPW, kata Neta, simpatisan ormas yang sering
melakukan kerumunan massa pernah ada yang terlibat dalam aksi terorisme. Pada 2017
jumlah mereka yang ditangkap Polri mencapai 37 orang dari berbagai daerah,
mulai dari Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan lainnya. Beberapa di
antaranya sempat ditahan di Nusa Kambangan, Gunung Sindur, Bogor dan lembaga
pemasyarakatan lainnya. Namun kini mereka sudah bebas dan tidak terlacak
keberadaannya. Keterlibatan mereka dalam aksi terorisme mulai dari
menyembunyikan buronan terorisme hingga melakukan aksi teror itu sendiri.
Neta mengatakan dikhawatirkan dengan meluasnya aksi
kerumunan massa dan gerakan intoleransi belakangan ini membuat mereka kembali
bermanuver dan melakukan aksi teror. Saat ini jumlah narapidana terorisme yang
tersebar di sejumlah lembaga pemasyarakat lebih dari 500 orang. Napi terorisme
yang sudah bebas dan selesai menjalani hukuman dibina pemerintah melalui
program deradikalisasi.
“Namun para mantan napi yang tidak terlacak keberadaannya
memang perlu diwaspadai agar tidak bermanuver untuk melakukan aksi teror
kembali,” tutur Neta. (*/pur)
0 Comments