Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hari Bhayangkara 2020, IPW Mencatat Polri Jadi Raksasa Sulit Bergerak

Ilustrasi topi polisi.
(Foto: Istimewa)



Oleh:  Neta S. Pane

PADA Hari Bhayangkara pada 2020 ini, Ind Police Watch (IPW) melihat organisasi Polri makin mengerikan. Ada lima fakta yang membuat IPW merasa ngeri melihat perkembangan Polri.

Pertama, dibandingkan dengan era Orde Baru pada era reformasi saat ini anggaran Polri naik 2.000 persen lebih. Tapi, Polri selalu merasa kekurangan anggaran. Namun, seberapa besar anggaran ideal yang dibutuhkan, tidak satu pun elite Polri yang bisa menjelaskan. Polri tidak tahu persis berapa sesungguhnya anggaran idealnya.

Kedua, organisasi Polri saat ini makin obesitas dan menjadi raksasa yang sulit bergerak, sehingga makin sulit melayani masyarakat. Jumlah jenderal, Kombes (Komisaris Besar), dan AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) makin membludak. Akibatnya, limpahan jenderal Polri mengalir ke mana mana, termasuk ke wilayah sipil dan menjadi gangguan bagi karir pejabat ASN (Aparatur Sipil Negara).

Ketiga, elit Polri makin doyan menambah jumlah jenderal, sehingga jenderal polisi ada di mana mana. Di masa orde baru, di daerah sangat sulit menemukan jenderal polisi. Kini di setiap daerah sedikitnya ada tiga atau empat jenderal polisi, mulai dari Kapolda, Wakapolda, kepala BNN (Badan Narkotika Nasional) Daerah, dan Kabinda (Kepala Badan Intelijen Daerah) . Jika di era orba total jumlah jenderal polisi hanya 65 orang, saat ini jumlah jenderal polisi hampir 300 orang. Akibatnya, anggaran Polri banyak tersedot untuk membiayai para jenderal, yang sesungguhnya keberadaan jenderal polisi yang membludak itu tidak ada manfaatnya buat masyarakat.

Keempat, semua Polda dijadikan Tipe A. Strategi Polri dalam hal ini makin tidak jelas dan tidak promoter. Bayangkan, Polda Bengkulu disamakan dengan Polda Metro Jaya. Sama sama Tipe A. Artinya, tolok ukur Polri makin ngaco dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Akibatnya, tidak ada proses magang dan belajar yang signifikan bagi perwira Polri dalam menjadi seorang Kapolda. Sehingga perwira yang tidak pernah menjadi wakapolda atau tidak pernah menjadi Kapolda di daerah kecil, tiba tiba bisa saja menjadi Kapolda di Jawa. Gengsi Kapolda Metro Jaya pun punah karena posisinya sama dengan Kapolda Bengkulu. Jadi jangan heran, jika nanti Kapolda Bengkulu tiba tiba bisa menjadi Wakapolri atau Kapolri karena tidak jelasnya sistem karir di Polri.

Kelima, sejak reformasi anggaran yang dikeluarkan Polri untuk membangun sistem Alkom Jarkomnya sudah ratusan triliun. Tapi belum pernah ada audit menyeluruh yang komperhensif terhadap sistem Alkom Jarkom Polri, sehingga sistem Alkom Jarkom Polri tambal sulam dan selalu bermasalah. Ratusan triliun anggaran kepolisian untuk membangun sistem Alkom Jarkom yang representatif tidak pernah terjadi sejak awal reformasi. Anggaran itu seperti membuang garam ke laut, yakni sia sia.

Keenam, audit konperhensif yang transparan tidak pernah dilakukan Polri terhadap sarana, prasarana maupun persenjataan atau alutsistanya. Sehingga ratusan triliun rupiah uang negara untuk pengadaan semua itu, sejak awal reformasi, hanya berujung pada sistem tambal sulam. Tidak ada grand desain yang menjadi landasan untuk mengukur sudah sampai tahap mana sarana, prasarana, dan alutsista yang dicapai Polri dan saat ini posisinya di mana, dan pada periode kapan semua itu mencapai titik ideal.

Ketujuh, Polri tidak pernah melakukan audit komperhensif terhadap organisasinya, sehingga tidak seorang pun di Polri yang tahu persis seperti apa organisasi dan jumlah personil ideal di kepolisian. Tolok ukur yang dipakai hanya rasio PBB (Persatuan Bangsa Bangsa)  yang sudah ditinggalkan negara negara demokratis. Sebab di banyak negara, kepolisiannya sudah mengarah ke era 4.0 di mana keberadaan polisi manusia sudah digantikan dengan teknologi.

Sementara Polri masih sibuk dengan penambahan jenderal di sana sini dan mendorong jenderal jenderalnya masuk ke wilayah karir pejabat sipil. Setiap Kapolri selalu berubah pola struktur dan organisasi kepolisian yang diterapkannya.

Dari ketujuh ‘point' di atas, IPW menilai Kapolri Idham Azis gagal membawa Polri ke wilayah promoter yang sesungguhnya. Promoter harusnya menuntut Polri yang efisien, efektif, dan lincah dalam menjalankan fungsinya.

Yang terjadi saat itu organisasi Polri menjadi obesitas dan menakutkan serta terjebak pada banyaknya Kombes dan AKBP yang "nganggur".  Sementara di lapangan masyarakat merasa keberadaan polisi sangat kurang. Strategi Idham Azis menjadikan semua Polda menjadi tipe A adalah sebuah kesalahan fatal yang membuat sistem pembinaan perwira untuk memegang wilayah menjadi absurd.

IPW menilai keberadaan organisasi Polri yang makin obesitas ini harus dicegah. Polri harus berani tampil ramping secara organisasi agar lincah, efisien, dan efektif. Sehingga langkah yang perlu segera dilakukan Polri adalah moratorium penerimaan Akpol hingga tiga tahun ke depan. Perbanyak rekrut SPN,  tawarkan pensiun dini kepada pamen ke atas. Buat roadmap organisasi, Alkom Jarkom, alutsista dan sarana prasarana agar diketahui secara persis sudah di titik mana capaian Polri saat ini. Berantas mafia proyek dengan mengedepankan propam, Irwasum dan bantuan KPK (Komii Pemberantasan Korupsi) sebagai pengawas. Lalu Polri segera memasuki era kepolisian modern yang promoter dengan 4.0.


Penulis adalah Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW).

Post a Comment

0 Comments