Anggota KPU RI Wahyu Setiawan. (Foto: Istimewa) |
NET - Madrasah Anti Korupsi (MAK) berharap dengan adanya Operasi
Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap komisi KPU RI Wahyu Setiawan (WS), menjadi
pintu masuk untuk membongkar indikasi penyalahgunaan wewenang di tubuh KPU
terkait pengelolaan keuangan dalam kegiatan Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu
Legislatif (Pileg) yang lalu.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Direktur MAK Gufroni kepada
wartawan melalui Siaran Pers yang diterima TangerangNet.Com, Kamis (9/1/2020).
Penyalahangunaan wewenang itu, kata Gufroni, seperti proyek
pengadaan logistik di KPU. Termasuk menelusuri kembali indikasi jual beli suara
dan membuka tabir adanya informasi dugaan praktik suap dan gratifikasi yang
sempat beredar saat seleksi anggota KPU tingkat daerah.
Gufroni menyebutkan salah seorang komisioner KPU RI
terjaring OTT KPK dalam kasus dugaan suap berinisial WS, Rabu, (8/1/2020). Ada
waktu 1 × 24 jam untuk menentukan statusnya apakah menjadi tersangka atau
saksi.
“Tanpa mendahului konferensi pers KPK hari ini, diyakini WS
ini bakal ditetapkan sebagai tersangka. Karena yang bersangkutan sebagai
penyelenggara negara yang menjadi target utama dalam OTT tersebut,” ungkap
Gufroni yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang (FH
UMT).
Mendengar berita OTT terhadap anggota KPU, kata Gufroni,
tentu membuat publik terhenyak, kaget, dan tak percaya bahwa KPU juga ternyata
rawan suap. KPU sekarang sudah terpapar virus korupsi.
“Kita tentu sedih, kecewa, dan marah ada anggotanya yang tak
lagi punya integritas dan justru terlibat praktik suap. Nilai-nilai kode etik
penyelenggara Pemilu hancur seketika oleh ulah oknum ini. Tentu saja kasus ini
akan memberi pengaruh yang berat secara psikologis bagi penyelengara Pemilu di
daerah terutama yang akan menyelenggarakan Pilkada 2020,” urai Gufroni yang
mengaku sebagai pengacara publik.
Pertanyaan buat kita, imbuh Gufroni, adalah apakah kasus
suap ini dilakukan sendiri oleh WS dengan tidak melibatkan komisioner KPU
lainnya? Mengingat segala keputusan KPU itu harus kolektif kolegial. Tidak bisa
diputuskan oleh individu, melainkan harus bersama dengan komisioner lainnya.
“Oleh karena itu, demi mengungkap fakta yang
sebenar-benarnya maka seluruh komisioner baik ketua KPU dan anggota harus
diperiksa oleh KPK. Juga dilakukan penggeledahan seluruh ruangan KPU untuk
mengumpulkan bukti-bukti terkait kasus suap dan penyalahgunaan wewenang lainnya,”
ujar Gufroni menyarankan.
Menurut Gufroni, KPU sekarang bukan lagi lembaga negara yang
bersih dari korupsi. Bahwa korupsi politik di KPU selama ini banyak merusak
kompetisi politik kita. Salah satu upaya pemberantasan korupsi politik, akarnya
bersihkan KPU mulai pusat sampai dengan daerah, transaksi jual beli suara dan
lainnya selama ini sudah menjadi rahasia umum.
“Gara-gara kasus suap ini, integritas penyelenggara Pemilu
menjadi ambyaar (hancur-red) dan hanya jadi sekadar jargon tak bermakna, hanya
ada di dalam pasal di UU Penyelenggara Pemilu saja,” ucap Gufroni ketus.
Gufroni mengingatkan kata integritas seolah-olah kata azimat
nan sakral dalam dunia penyelenggara Pemilu. Dalam setiap tahapan seleksi,
integritas calon selalu menjadi bahan pertanyaan kepada para calon
penyelenggara Pemilu.
“Sebab integritas menjadi kunci yang sangat menentukan suksesnya
penyelenggaraan Pemilu. Namun kata integritas sudah tak lagi punya daya
sakralnya setelah WS ditangkap,” tutur Gufroni. (*/ril)
0 Comments