Ilustrasi: Para koruptor ini meski sudah mengenakan rompi KPK tetap riang. (Foto: Istimewa) |
Oleh: Dr Dahnil Anzar Simanjuntak
DUA TAHUN LALU. Saya lupa tepatnya
hari apa dan tanggal berapa. Sahabat saya menelpon dengan penuh cemas dan
sedih, dia mengaku kesulitan mencari kamar rumah sakit untuk merawat “apak”
alias ayahnya yang mengalami kanker otak, melalui bantuan seorang sahabat. Aku
coba carikan, namun gagal.
Semua kamar di Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat (RSPAD) penuh. Dan akhirnya aku dengar dia mendapat kamar di RS
Pusat Otak Nasional (PON) di Jakarta Timur. Namun, masalah belum selesai,
ternyata tidak tersedia Ambulance yang memadai untuk membawa apak dari RS di
Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten, menuju RS PON di Jakrta Timur. Akhirnya,
aku meminta Rumah Sakit Islam (RSI) Cempaka Putih milik Muhammadiyah agar
mengirimkan mobil Ambulance untuk membantu membawa apak sahabat saya tersebut
dari Serpong menuju Jakarta Timur.
Upaya maksimal telah dilakukan
sahabat tersebut, namun kehendak Allah SWT berkata lain, apak dipanggil
menghadap Allah SWT setelah bertarung berhadapan dengan kanker otak ganas.
Bayangkan, seorang elit di
institusi prestius yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi dia menolak
untuk menggunakan posisinya untuk memperoleh kemudahan dalam pelayanan, meski
itu untuk ayahnya sendiri, bahkan dalam kondisi yang sudah krisis. Dia bertahan
dengan etika dan integritas yang dia pegang. Bagi orang kebanyakan itu adalah
Etika dan Integritas yang radikal. Tak kenal toleransi dengan setiap celah
kesempatan yang bisa merusak etik dan integritas tersebut.
Pada peristiwa lainnya, sahabat
tersebut melakukan penyelidikan terhadap salah seorang pejabat tinggi Negara. Dia
tak pernah bicara kepada siapa pun termasuk kepada anggota keluarga, atau pun
sahabat-sahabat dekat terkait kerja-kerja pro justisia yang sedang dilakukan. Sampai
akhirnya, dia melakukan OTT (operasi tangkap tangan) terhadap salah satu pucuk
pimpinan institusi tinggi negara, ketika keluarga mengetahui bahwa yang di OTT
tersebut adalah sahabat dekat orang tuanya, bahkan masih keluarga, makian dan
pelbagai tuduhan dialamatkan kepadanya.
Dia bergeming, tak ada toleransi
bagi siapa pun yang melakukan kejahatan korupsi, bahkan keluarganya sendiri
harus ditindak dengan adil dan berkeadilan. Sekali lagi, ini sikap radikal, tak
kenal toleransi.
Novel Baswedan. Nama ini jadi
legenda KPK dan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia, ditakuti para
koruptor. Dia menjadi korban dari kebencian dan dendam para koruptor. Dia
kehilangan sebelah matanya karena sikap anti-toleransi terhadap koruptor, sikap
radikalnya melawan korupsi berbuah penyerangan terhadap dirinya 2 tahun lalu,
dan sampai saat ini tak kunjung selesai meski Presiden Joko Widodo telah
berjanji “ribuan kali” agar pihak kepolisian mengungkap pelakunya.
Pada satu kesempatan, saya
berbincang dengan Novel, apakah dia dendam? Dengan ringan Novel menjawab,
“Tidak sama sekali, yang mereka lakukan akan kembali kepada mereka sendiri, Mas.
Mereka akan mempertanggungjawabkan kepada Allah SWT, kelak”.
Novel tahu persis, siapa dalang
penyiraman air keras terhadap dirinya. Namun, dia sama sekali tidak ingin melakukan
tindakan di luar hokum. Meski, dia sendiri tidak percaya dengan proses hukum
yang dilakukan, dia tetap berusaha berjuang dikoridor hukum tersebut, sampai
titik darah penghabisan. Dia menolak melanggar hukum yang sepanjang hidupnya
dia perjuangkan agar hukum tersebut tegak. Kesabaran Novel Baswedan sangat
radikal. Dia tidak pernah bertoleransi dengan pelanggaran hukum, meski dia tahu
hukum tidak berlaku adil terhadap dirinya.
Proses politik pelemahan terhadap
KPK melalui upaya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berulang dilakukan, setidaknya dua kali
dilakukan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yakni tahun
2010 dan 2012. Namun selalu gagal, karena adanya penolakan dari masyarakat
sipil.
Baru pada era pemerintahan Joko
Widodo, pelemahan melalui revisi UU KPK
dilakukan lebih sistematik dan massif mulai tahun 2015, 2016, 2017, dan baru
lah pada 2019 ini upaya melakukan revisi tersebut sukses dilakukan, bagi saya
tidak penting siapa yang menginisiasi, apakah Presiden dan DPR RI, karena pada
prinsipnya keduanya sama-sama pernah menginisiasi dan kemudian mereka berbagi
tugas.
Presiden pernah menginisiasi
revisi pada 2015, meski kemudian tertunda, dan selanjutnya secara konsisten
diinisiasi oleh DPR, hanya tahun 2018 inisiasi revisi UU KPK tidak dilakukan
karena mendekati pemilu 2019, setelah pemilu barulah ramai-ramai mendorong
revisi UU KPK secepat kilat menyambar, tiba-tiba dan tergesa-gesa.
Dalam proses politik revisi
tersebut ada komunikasi politik yang dilakukan berbagai pihak, termasuk meminta
KPK agar fokus pada pencegahan, bila mau OTT, ya peringatkan dululah,
kompromi-kompromi seperti ini sering dilontarkan para politisi kepada KPK. Namun
sekali lagi para penyelidik dan penyidik KPK yang radikal-radikal tersebut
menolak bertoleransi dengan kompromi-kompromi politik seperti itu. Mereka tetap
bergeming siapa pun yang melakukan tindak korupsi akan ditindak dengan tegas
tak peduli siapa mereka dan apa latarbelakang mereka.
Apakah ada yang bertoleransi
dengan kompromi politik tersebut? Ya ada, mereka inilah yang mungkin bisa
disebut kelompok pengusung toleransi di KPK, kelompok moderat dalam penanganan
kasus korupsi di KPK.
Jadi, bersyukurlah rakyat
Indonesia para radikalis-radikalis tersebut bersemayam menjaga agenda
pemberantasan korupsi di Indonesia melalui KPK. Mereka menolak bertoleransi
dengan para koruptor. Tengok saja, para pembela koruptor ramai-ramai menuduh
KPK dikuasai Taliban radikal dengan sentiment agama tertentu, dan ingin
membersihkan para radikalis-radikalis ini dari KPK, supaya apa? Supaya KPK
diisi oleh pribadi-pribadi toleran terhadap koruptor?
Teruslah radikal lawan korupsi
wahai KPK. (***)
Penulis adalah Peneliti Senior
Institute Kajian Strategis UNKRI.
0 Comments