Peternakan, Markaz, Syariah FPI. (Foto: Istimewa) |
NET - Bila Front
Pembela Islam (FPI) itu makhluk bernyawa, Pesantren Alam dan Agrokultural
Markaz Syariah barangkali adalah wajah lembut organisasi penggerak amar ma’ruf
nahi munkar tersebut. Selain aktivitas Laskar Pembela Islam (LPI)-nya yang
selalu hadir membantu korban bencana di seantero negeri, Pesantren Markaz
menjadi salah satu tangan FPI menebarkan rahmat Islam langsung ke masyarakat.
Pesantren Markaz Syariah didirikan sekitar delapan tahun
lalu oleh Habib Rizieq. Awalnya, Habib
Rizieq benar benar terkejut dengan kuatnya pandangan anti-islam (Islamophobia)
yang tak hanya melanda kalangan non Muslim, tapi bahkan umat Islam sendiri.
Mereka, dalam pandangan Habib Rizieq, bahkan takut untuk menegaskan sikap
sebagai Muslim yang kaffah.
"Karena itulah, pesantren ini dibangun sebagai
benteng akidah ahlussunnah wal jamaah dan bercita-cita menghidupkan Islam yang
benar-benar rahmat bagi alam," ujar Habib Thahir Bin Hamid Alhamid, kakak
kandung Habib Rizieq.
Tamu pesantren harus rela menempuh perjalanan berliku,
merayapi jalanan lereng bukit curam di lereng Gunung Gede bila hendak datang
berkunjung. Dengan menembus jalanan berlumpur selebar kurang lebih tiga meter
sekitar tiga kilometer jauhnya dari kampung terdekat, Kampung Lemah Neundeut di
Kelurahan Sukagalih, Mega Mendung, Kabupaten Bogor, kendaraan terbaik untuk
datang ke Markaz Syariah sebenarnya adalah mobil
siap offroad alias four wheel drive (4WD).
Pengunjung harus melewati tiga pos pemeriksaan sebelum
bisa memasuki area pesantren. Pos pemeriksaan pertama berada di Kampung Lemah
Neundeut, tepat di mulut sebuah kelok di pertigaan jalan. Jalan yang kentara
baru, mungkin dibuat khusus untuk menuju kawasan pesantren. Pos kedua sekitar
500 meter sebelum pesantren. Pos terakhir sekaligus menjadi gerbang pesantren.
“Kami perlu bikin pos-pos pemeriksan karena selama ini
banyak yang datang hanya untuk menulis dan menjelek-jelekkan kami,” kata Iye
Aljufri, salah seorang pimpinan FPI Bogor.
Menurut Iye, dirinya tak habis pikir mengapa keadaan
keseharian di pesantren tak membuat para wartawan tertentu yang menyaksikan itu
tergerak untuk menulis dengan jujur.
Setelah jalanan yang agak mendaki, para tamu akan segera
menjumpai beberapa kumpulan bangunan. Salah satunya sebuah masjid berdinding
kayu yang bertengger di area lereng yang sudah didatarkan.
Dari kejauhan pun
masjid dengan ukuran panjang sekitar 40 meter dan lebar 15 meter itu terlihat
sebagai masjid yang berarsitektur terbuka. Kalau pun ada dinding, dinding itu
sebenarnya adalah rak-rak penuh berisikan buku-buku tebal, tepatnya kitab
karena kebanyakan bertuliskan aksara dan berbahasa Arab. Beberapa dalam Bahasa
Indonesia dan Inggris, terutama pada buku-buku jenis kamus dan ensiklopedi.
Jumlahnya puluhan ribu, berderet di keempat dinding memanjang melebar, termasuk
dinding-dinding penyekat di dalam area masjid.
Dengan kemampuan membaca Arab terbatas, tampak buku-buku
masyhur dari para pemikir Islam, seperti Tahafut Al Falasifah tulisan
Imam Al Ghazali dan kitab Al Umm karangan Imam Syafii berada di salah
satu rak.
“Belum semua buku Habib Rizieq kami bawa ke sini,” kata
Habib Muhammad bin Hussein Al Attas, penanggung jawab pesantren dan menantu
Habib Rizieq. “Masih sekitar segini di Petamburan.” Petamburan adalah markas
besar FPI di Jakarta.
Untuk tamu yang datang dengan niat bersih, pemandangan
itu saja sudah akan membuat mereka mempertanyakan stigma FPI sebagai organisasi
‘garang’. Itu terjadi pada tokoh wanita kharismatik, Mbak Tutut Soeharto, yang
pekan ini datang berkunjung. “Ternyata FPI ini luar biasa, tidak brutal
sebagaimana dipikirkan sebagian orang,” kata Mbak Tutut di dua puluh menit
pertama kedatangannya ke Markaz Syariah.
Tak banyak santri yang menimba ilmu di sini, karena
pesantren pun belum membuka luas penerimaan santri. “Baru menerima santri yang
datang dari cabang-cabang FPI dari seluruh daerah,” kata Abah Rashid, salah
seorang kepercayaan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab yang saat ini tengah
‘hijrah’ di Arab Saudi. Jumlahnya baru sekitar 100-an santri.
Namun semua itu tak harus membuat Markaz sepi dari
persentuhan sosial dengan masyarakat sekitar. Setiap Jumat pesantren menggelar
pengajian keagamaan, yang diakhiri makan siang gratis untuk seluruh jamaah.
Waktunya mulai pukul 08 pagi, diselang shalat Jumat. Berlanjut hingga matahari
mulai turun dari puncak posisinya, sebelum waktu Ashar.
Rabu pekan pertama setiap bulan selalu membuat pesantren
yang memiliki luas area 70-an hectare itu laiknya punya hajatan. Juga setiap
hari Sabtu. Rabu awal bulan menjadi waktu acara pengajian bulanan yang
melibatkan banyak ulama dan habib dari berbagai kabupaten di Jawa Barat.
Umumnya mereka datang sejak dini hari, dari berbagai daerah di sekitar
Jabodetabek, bahkan Cianjur dan Sukabumi serta Lampung.
Sementara setiap Sabtu pesantren membuka diri untuk warga
sekitar berpiknik di area pesantren dan makan siang gratis bersama anak-anak
dan keluarga mereka. “Itu amanat dari HRS yang terus kita jaga,” kata Abah
Rashid. “Makanya, tuh ada perosotan, ayunan dan alat-alat permainan
anak-anak di sini.”
Di kedua momen itu, menurut Abdullah, salah seorang
pengurus pesantren, area pesantren pun jadi berubah laiknya ‘pasar kaget’.
“Banyak orang berjualan. Mulai jualan makanan, minuman, pakaian muslim-muslimah,
atribut FPI, hingga poster para habib,” kata Abdullah. Menurut dia, pada
saat-saat awal, yang datang hanya beberapa mobil. “Sekarang, lapangan parkir
itu penuh,” kata dia, menunjuk sebuah dataran lapang yang bisa memuat parkir
sekitar 100-an kendaraan roda empat.
Menurut Wakil Ketua Umum Pesantren Markaz Syariah, Syeikh
Farid Bin Thalib, awalnya Habib Rizieq hanya berencana membangun pesantren
seluas 2-3 ha. “Tapi semangat dan dukungan masyarakat begitu antusias, sehingga
kini area pesantren mencapai 70-an hektare,” kata dia.
Di puncak dataran lain tampak kandang sapi dan kuda,
serta areal yang ditanami sayur-mayur dan perkebunan alpukat jenis green
gold, jambu kristal dan cengkeh.
Habib Musthofa Muladawilah, pengusaha ekspor buah ke
Eropa dan Timur Tengah, mengatakan alpukat yang dibudidayakan santri Markaz
Syariah itu berkualitas premium. “Harganya mahal. Bisa mencapai empat dolar AS
per buah,” kata dia. Dia berharap semua aktivitas itu akan membuat
pesantren kian mandiri.
Sayangnya, kandang sapi berkapasitas hingga 100 ekor itu
kini dibiarkan menganggur. Pasalnya, sapi perah yang selama ini dibudidayakan
sudah uzur dan tidak produktif. “Satu persatu kami sembelih sebagai binatang
kurban,” kata Habib Muhammad. (*55/pur)
0 Comments