![]() |
Syafril Elain: sosialisasi sudah berlalu. (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
Oleh: Syafril Elain
PERNYATAAN Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo
yang berpendapat kampanye Pemilu Legislatif dan Pemilu Presidan 2019 boleh di
sekolah dan pondok pesantren menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Hal itu disampaiakan Tjahjo
Kumolo ketika di Gedung Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Senayan, Jakarta, Rabu (10/10/2018).
Apa yang disampaikan oleh Tjahjo Kumolo tersebut perlu mendapat
perhatian khusus karena jabatan Menteri Dalam Negeri sangat vital dalam
pelaksanaan Pemilu, sebagai pembina politik dalam negeri dan bertanggung jawab
atas terselenggara proses demokrasi di tanah air.
Kini Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 waktu pelaksanaan
bersamaan sehingga masa kampanye Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pun
berhimpitan sehingga hampir tidak ada bedanya.
Tentu saja pernyataan Mendagri mendapat reaksi dari berbagai
pihak terutama dari penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia (KPU RI) dan Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
(Bawaslu RI). Bahkan penolakan pernyataan Mendagri tersebut mendapat sorotan
dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pro-demokrasi dan Pemilu Bersih.
Semua masyarakat mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Repbulik
Indonesia (DPR RI), Pemerintah, dan rakyat bersepakat pedoman dalam pelaksanaan
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden adalah Undang-Undang Republik Indonesaia
Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Hal ini sekaligus berlaku sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan kedua Pemilu
tetap sama yakni mengacu ke Undang-Undang Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilu
Umum (UU Pemilu No. 7 Tahun 2017).
UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017; Bagian Keempat; Larangan dalam
Kampanye, pasal 280 ayat (1) huruf h menyebutkan; Pelaksana, peserta, dan tim
Kampanye Pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan
tempat pendidikan.
Dalam penjelasan undang-undang tersebut pada huruf h
disebutkan: Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat
digunakan jika peserta Pemilu hadir tanpa atribut Kampanye Pemilu atas undangan
dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat
pendidikan.
Yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung
dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
Selain memuat larangan juga dalam undang-undang tersebut
dicantumkan pula sanksi atau ancaman pidana bagi yang melakukan pelanggaran.
Pasal 521 berbunyi: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim
Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) Huruf a, Huruf b, Huruf c,
Huruf d, Huruf e, Huruf f, Huruf g, Huruf H, Huruf i, atau Huruf j dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan dengan paling banyak Rp
24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Dari ancaman sanksi yang tertera pada undang-undang ini jelas
sekali ketentuan harus dipatuhi dan ditaati oleh calon pelaksana, peserta
(pasangan calon presiden dan wakil presiden-red) dan/atau tim Kampanye Pemilu.
Namun setelah banyak reaksi, Tjahjo Kumolo meluruskan pernyataannya
yang ditanyangkan sejumlah media. Tjahjo mengatakan dalam konteks menjadi
narasumber dalam program sosialisasi seperti pemilu cerdas, menolak politik
uang, menolak politisasi SARA, menolak hoaks, dan menjaga persatuan kesatuan
bangsa yang bersifat mendidik masyarakat adalah hal baik.
“Kampanye dan sosialisasi adalah dua hal yang berbeda,” kata
Tjahjo.
Tjahjo menjelaskan dalam konteks sosialisasi dan edukasi
masyarakat, kehadiran peserta pemilu di lembaga pendidikan bukan untuk kampanye
terkait Pilpres mau pun Pileg.
Penulis menilai pernyataan Mendagri meski sudah diluruskan
masih membuka peluang untuk dilakukan kegiatan “kampanye” Pemilu Legislatif
maupun Pemilu Presiden di lingkungan lembaga pendidikan seperti sekolah dan pesantren.
Padahal sekarang ini, sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh
KPU RI kampanye Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden mulai pada 23 September
2018 sampai dengan pada 13 April 2019. Dengan demikian, kegiatan sosialisasi
sudah lewat bagi pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu.
Kalaupun ada kegiatan sosialiasi itu dilakukan oleh
penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU RI beserta KPU yang di daerah. Begitu
juga dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) dan
Bawaslu di daerah.
Kedua penyelenggara Pemilu pun boleh melakukan kegiatan
sosialisasi yang bekerja sama dengan pihak ketiga tapi bukan dengan partai
politik peserta Pemilu. Dalih Mendagri lembaga pendidikan seperti sekolah dan
pesantren bisa dijadikan tempat sosialisasi bukanlah untuk kepentingan partai
politik atau peserta dalam hal ini pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Guna mendapatkan Pemilu yang berkualitas dan penyelenggara
Pemilu yang netral dan independen, sebaiknya setiap lembaga pendidikan sekolah
dan pesantren tidak dijadikan tempat
untuk sosialisasi dan dinyatakan dilarang karena sekarang ini sudah masuk masa
kampanye. (***)
Penulis adalah:
Ketua Panwaslu Kota Tangerang periode 2008-2009.
Ketua KPU Kota Tangerang periode 2009-2013
Penulis adalah:
Ketua Panwaslu Kota Tangerang periode 2008-2009.
Ketua KPU Kota Tangerang periode 2009-2013
0 Comments