![]() |
Spanduk penolakan warga atas pembongkaran. (Foto: Istimewea) |
NET – Warga Rukun Warga 08, Bintaro
Sektor 2, Kota Tangerang Selatan menolak pembongkaran batas tembok wilayah
untuk keperluan apapun termasuk untuk keperluan sekolah, Minggu (23/9/2018).
“Kami warga RW 08 Bintaro Jaya
Sektor 2 menolak Pembongkaran tembok pembatas wilayah RW 08 untuk keperluan
pembuatan akses jalan dan untuk keperluan apapun yang akan digunakan pihak
manapun,” demikian bunyi penolakan warga tersebut.
Pernytaan tersebut muncul berkaitan
dengan proses pengadaan lahan untuk gedung Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri
7 Kota Tangsel di RW 03, Kelurahan Rengas, Kecamatan Ciputat Timur, dinilai
banyak kejanggalan.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
(Dindikbud) Provinsi Banten tengah membangun gedung SMK Negeri 7 Kota Tangsel
senilai Rp10,3 miliar.
Namun gedung itu terancam tidak
bisa digunakan atau setidaknya bermasalah karena tidak memiliki akses jalan
segala arah. Warga setempat mengistilahkan tanah helikopter lantaran jika nanti
sekolah itu sudah jadi hanya bisa diakses melalui udara seperti MediaBanten.com.
Apalagi, lahan untuk SMKN 7 itu
berada di lingkup tanah milik Franki, pegawai swasta yang berada di Jakarta.
Sedangkan di sisi lainnya, lokasi itu ditutup dengan pembatas tembok milik
perumahan.
Keterangan yang diperoleh
menyebutkan tanah seluas sekitar 5.000 meter persegi lebih itu dibeli Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Banten pada 2017 dengan harga sekitar Rp2,9 juta per
meter persegi.
Tanah tersebut milik Suyut. Namun
proses pembeliannya, uang dari Dindidkbud Banten ditransfer bukan ke Suyut,
tetapi ke Agus yang hingga sekarang belum diketahui identitas maupun peran
dalam proses pembelian tersebut.
Ketika media memintai keterangan
Lurah Rengas Agus Salim, terkait status lahan serta proses pembebasannya,
menyebutkan dipilihnya lahan tersebut sebagai lokasi SMK Negeri 7 Kota Tangsel
berawal dari permintaan dari Dindikbud Banten.
Pada medio Juli 2017, Pengawas SMK
pada Dindikbud Banten bernama Imam, memberitahukan Dindik Banten membutuhkan
lahan untuk pembangunan SMK Negeri 7 Kota Tangsel. Saat itu, kata Agus, ada
tiga lokasi yang diusulkan untuk lahan sekolah dimaksud.
“Ada tiga lokasi yang diusulkan oleh
tiga kelurahan. Kami mengusulkan lahan di RW 03. Dan akhirnya Dindikbud Banten
memilih lahan yang awalnya milik Ibu Suyut itu sebagai lokasi SMK Negeri 7,”
ujar Agus Salim, saat ditemui di kantornya, Jumat (21/9/2018).
Agus Salim menjelaskan pada
awalnya lahan itu milik Suyut. Namun terjadi peralihan ke Agus. Sehingga, pada
proses pembayarannya Dindikbud Banten mentransfer ke rekening Agus.
Namun, lanjut Agus Salim, saat
dibebaskan proses pelepasannya pun hanya berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) antara Suyut dan Agus.
“Jadi Dindikbud Banten membeli
lahan itu dari Pak Agus yang surat-suratnya masih berdasarkan PPJB, belum ada
AJB (Akta Jual Beli) tanah,” beber Agus Salim.
Terkait tidak adanya akses jalan
ke lokasi sekolah, lanjut Agus, tim Dindikbud Banten pernah melakukan survei ke
lokasi. Meskipun saat itu mereka tahu bahwa lokasi untuk sekolah tersebut tidak
memiliki akses jalan, namun Dindikbud tetap melakukan pembebasan lahan.
Namun belakangan, terdapat akses
jalan melalui pagar pembatas Perumahan Bintaro sepanjang 2 meter yang
belakangan diklaim sudah tercatat sebagai aset Pemkot Tangsel.
“Kami sudah dapat surat dari
Pemkot bagian aset yang menyatakan bahwa pagar atau jalan (menuju lokasi SMKN
7-red) tersebut merupakan aset Pemkot,” imbuh Agus.
Sementara, Camat Ciputat Timur
Durrahman memastikan peralihan lahan dari pemilik lahan ke Dindik Banten telah
dituangkan dalam Surat Pelepasan Hak (SPH).
Namun ironisnya, kata Camat, pihak
Dindik Banten yang kala itu diwakili Sekretaris Dindik Banten Ardiyus tidak
memberikan salinan dokumen kepemilikan tanah, termasuk pula SPH.
“Sampai saat ini, kami tidak
diberikan salinan dokumen maupun SPH. Memang sempat Pak Ardiyus berjanji akan
memberikan salinan, tapi sampai sekarang nggak ada itu (dokumen dan SPH,red),”
imbuh Durrahman.
Direktur LBH Tangsel Zulman Haris
menilai terjadi kejanggalan dalam proses penjualan lahan dari Suyut kepada Agus
yang dituangkan melalui PPJB.
Soalnya, proses jual beli antara Suyut
dengan Agus berpotensi menghilangkan pajak 10 persen karena menggunakan PPJB
yang notabenenya perjanjian dibawah tangan.
Sejatinya jual beli tanah
dituangkan dalam Akte Jual Beli (AJB). Sebab dengan AJB maka ada potensi pajak
sebesar 10 persen yang dibebankan negara kepada penjual dan pembeli.
“Kami menganggap Dindikbud Banten
keliru karena melakukan pembebasan lahan dengan dasar kepemilikan PPJB dari
Agus. Sementara AJB kan tentu ada potensi pajak buat negara, nah PPJB itukan
legalitasnya tidak kuat karena sama saja di bawah tangan,” kata Zulman. (*/pur)
0 Comments