Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ironi Dan Anomali Pilkada 2018 Di Banten

Gufroni: KPK  perlu menelusuri praktik uang borong partai pendukung.
(Foto: Koleksi pribadi)  
Sebuah Pernyataan Banten Bersih

Oleh Gufroni, SH., MH

DI  BANTEN ada 4 kabupaten dan kota yang akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018. Selain Kota Serang, ada Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Lebak. Dari 4 kabupaten dan kota tersebut, dipastikan ada  daerah yang  mempunyai calon tunggal.

Kota Tangerang ada pasangan bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Arief Wismansyah - Sachrudin yang didukung 10 partai yang duduk di DPRD  Kota Tangerang. Kabupaten Tangerang, pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati Ahmed Zaki Iskandar – Mad Romli yang didukung 12 partai. Juga Kabupaten Lebak, hanya ada satu pasangan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Iti Octavia Jayabaya – Ade Sumardi.

Melihat fakta perkembangan politik tersebut di atas, tentu publik khususnya masyarakat di Banten menyayangkan dan mempertanyakan mengapa hanya ada satu calon tunggal. Mengingat Undang-Undang (UU) Pilkada membuka seluas-seluasnya bagi partai politk (Parpol) untuk mengusung calon lain. Dengan demikian tentu akan ada kompetisi dan Pilkada bisa dipastikan akan meriah dan semarak.

Yang tak kalah penting, rakyat mempunyai banyak pilihan untuk memilih calon yang benar-benar mempunyai kredibilitas sehingga mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Bila hanya ada calon tunggal, ini berarti pilihannya hanya ada dua, yakni apakah memilih pasangan calon atau malah memilih kotak kosong. Inilah sebuah ironi, ketika dalam Pilkada hanya ada satu calon tunggal.

Pilkada di 3 kabupaten dan kota seperti tersebut di atas, menunjukkan kepada publik bahwa partai politik telah gagal dalam melakukan kaderisasinya. Jadi pertanyaannya, bila tak siap mengusung kadernya maju sebagai calon untuk apa mendirikan partai?

Semestinya partai sejak awal mempersiapkan kader-kader terbaiknya untuk bisa maju dalam Pilkada. Pendidikan politik oleh partai pun dipertanyakan. Inilah sebuah anomali dimana 3 kabupaten dan kota itu adalah daerah yang pemilihnya cukup banyak dan setidaknya banyak orang yang mempunyai kompetensi dan kapasitas yang mumpuni untuk bisa dicalonkan atau mencalonkan diri untuk bisa bersaing dalam ajang Pilkada sekalipun melawan petahana.

Diduga kuat, nampaknya fenomena calon tunggal ini juga bagian dari strategi dari bakal calon yang juga petahana yaitu dengan  memborong partai. Hal ini dianggap sudah lumrah, demi memuluskan bisa maju kembali untuk menduduki orang nomor satu di daerah tersebut.

Bila hal tersebut benar adanya, maka tentu inilah sebuah kenyataan pahit yang harus ditanggung masyarakat yang punya hak pilih karena tidak diberi pilihan calon-calon lain karena partai sudah diborong habis oleh calon dari petahana. Maka pada akhirnya demokrasi yang terjadi hanya seremonial belaka dan sekadar menggugurkan aspek proseduralnya saja.

Padahal bisa jadi petahana yang saat ini masih berkuasa, juga belum menunjukkan prestasi yang berarti bagi rakyat secara keseluruhan. Bahkan di antaranya adalah kepanjangan tangan dari orang tuanya yang sebelumnya menjabat sebagai bupati.

Berdasar atas uraian tersebut di atas, penulis ingin menyatakan sikap yaitu sebagai berikut:
1. Bahwa Pilkada di Banten, khususnya di 3 kabupaten dan kota hanya akan melegitimasi petahana untuk bisa berkuasa kembali untuk 5 tahun ke depan.

2. Bahwa partai politik telah gagal dalam melakukan kaderisasi politik guna mempersiapkan kader-kader terbaiknya untuk maju sebagai calon kepala daerah  dalam ajang Pilkada.

3. Bahwa fenomena borong partai oleh petahana yang akan maju kembali, jika disertai dengan pemberian mahar bisa dikategorikan sebagai tindak pidana politik uang. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menelusuri indikasi adanya praktik politik uang tersebut.

4. Bahwa UU Pilkada tidak memberikan kesempatan yang luas bagi calon dari perseorangan mengingat syarat dukungan yang sangat berat.

5. Bahwa Pilkada di Banten hanya sekedar menggugurkan aspek prosedural saja dan seremonial belaka yang tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. ***


Tangerang, 10 Januari 2018
Penulis adalah:
Koordinator Banten Bersih

Post a Comment

0 Comments