Yudi Syamhudi Suyuti: meneliti universitas di luar negeri. (Foto: Dade, Tangerangnet.com) |
NET - Ketua Presidium Musyawarah Rakyat Indonesia
(MRI) Yudi Syamhudi Suyuti mengatakan pengalamannya saat terlibat proses perubahan status dari
IAIN (Institut Agama Islam Negeri) menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Suska
Riau yang kontroversi.
“Saat itu, saya ajukan makalah yang juga dirilis
di Jurnal Kampus dengan judulnya
"Negara, Masyarakat dan Universitas. Di sini, saya menyatakan tesis saya
tentang kedudukan harus sama antara negara, masyarakat dan universitas, yakni
semuanya berada di bawah rakyat. Memang di sini negara memfasilitasi dan memberikan
regulasi yang berkaitan dengan hubungan antara negara dan universitas,"
ujar Yudi Syamhudi Suyuti, di Jakarta, Selasa (6/6/2017).
Akan tetapi, kata Yudi, universitas tidak bisa
ditempatkan sebagai alat kekuasaan negara, karena hal ini menyangkut Ilmu
Pengetahuan, Riset dan Pendidikan Tinggi juga Pemberdayaan Masyarakat yang
independen. “Pada saat itu, saya meneliti beberapa universitas di luar negeri,
seperti Al Azhar di Kairo, Cambridge University di Inggris dan Sorbonne
University di Perancis juga universitas lain,” ungkap Yudi.
Bahkan di
Rusia, kata Yudi, hampir seluruhnya universitas di sana, anggaran yang dimiliki
universitas lebih besar dari anggaran negara.
Akan tetapi negara tidak mengusik-ngusik, justru malah mendukung penuh.
Kenapa universitas tersebut begitu kuat, karena independensi pendidikan
tingginya selain diberikan kebebasan juga mampu membangun relasi dengan kalangan
industri yang kuat.
Yudi menjelaskan sehingga universitas mampu menjadi mitra masyarakat dalam membangun
peradaban, bukankah majunya sebuah negara didorong oleh majunya peradaban
masyarakat? Di sinilah tugas universitas atau perguruan tinggi. Lain halnya di
Belanda, hampir seluruh perguruan tinggi disubsidi oleh negara dalam hal
permodalan, akan tetapi independensi juga diberikan begitu besar dan juga
ditempatkan berkedudukan setara dengan negara.
"Padahal jika dibandingkan di Indonesia,
biaya pendidikan di universitas yang sudah maju, sangat besar. Akan tetapi
tidak membebani para studentnya, karena rata-rata, universitas memiliki dana
abadi. Universitas jangan dijadikan alat kekuasaan penguasa negara. Apalagi rektornya
dipilih langsung Presiden Jokowi sebagai
pembantunya. Ini pembodohan massal namanya,” ungkap Yudi.
Menurut Yudi, hanya ada 2 orang di dunia ini yang menguasai
kekuasaan politik sekaligus ilmu pengetahuan dibawah kendalinya langsung. Raja
Namrud (Raja Babel) yang jahat dan kejam tapi diberikan Allah ilmu pengetahuan
yang sangat tinggi. Dan Raja (Nabi) Sulaiman yang baik juga diberikan hikmah
oleh Allah yang sangat tinggi. Bahkan Firaun pun tidak mampu menguasai ilmu
pengetahuan dengan memberikan otoritas lembaga ilmu pengetahuan kepada para
ahlinya.
"Apa mungkin, Presiden Jokowi ingin menjadi
Raja Namrud dan Nabi Sulaiman dengan kemampuan yang dimilikinya. Saya pikir Presiden
Jokowi terlalu berkhayal," kata Yudi. (dade)
0 Comments