Oleh Dodi Prasetya Azhari SH
PERMINTAAN
Presiden Joko Widodo ( Jokowi) lewat pidatonya di Konperensi Tingkat Tinggi (KTT
) Asia-Pacific Economic Cooperation/Kerjasama
Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Beijing, pada 8-12 November 2014 agar negara-negara Asia
Pasifik datang dan menanamkan modalnya di Indonesia ditanggapi dengan sangat
antusias oleh Cina.
Cina kemudian
langsung membuat rencana investasi besar-besaran di Indonesia. Penjajakan
investasi itu dikonkretkan oleh Presiden Jokowi lewat kunjungannya ke Beijing
pada 25-27 Maret 2015 yang lalu. Dalam kunjungan itu, Presiden Jokowi berhasil
menyepakati delapan nota kesepahaman Indonesia-China.
Kedelapan nota
kesepahaman itu adalah kerjasama ekonomi antara Kemenko Perekonomian RI dan
Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRC, kerjasama Proyek Pembangunan
Kereta Cepat Jakarta-Bandung antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi dan
Pembangunan Nasional RRC, kerjasama maritim dan SAR antara Basarnas dan
Kementerian Transportasi RRC, Protokol Persetujuan antara Pemerintah RRC dan RI
dalam pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara, Kerja Sama Antariksa
2015-2020 antara LAPAN dan Lembaga Antariksa RRT, kerjasama saling dukung
antara Kementerian BUMN dan Bank Pembangunan China Pembangunan, kerjasama antara
pemerintah RRC dan RI dalam pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara dan
kerja sama bidang industri dan infrastruktur antara Kementerian BUMN dan Komisi
Reformasi dan Pembangunan Nasional RRC.
Sebagai tindak
lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman itu, Wakil Perdana Menteri Cina
Liu Yandong, datang ke Indonesia pada tanggal 27 Mei 2015. Dalam sambutannya di
Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP
UI), Yandong mengatakan bahwa akan mengirimkan banyak warga negaranya untuk
datang ke Indonesia demi mencapai kerjasama yang ideal antara Indonesia dan
Cina dalam berbagai bidang.
Menurut Liu
Yandong kala itu, Cina akan lebih mempererat kerja sama dengan Indonesia di
bidang keamanan politik, ekonomi dan perdagangan, serta humaniora. Kerjasama
bilateral Indonesia-Cina sangat penting mengingat jumlah penduduk kedua negara
sangatlah besar mencapai 1.6 miliar jiwa atau seperempat dari total penduduk
dunia.
Jika ditarik
benang merah atas kebenaran migrasi jutaan warga negara Cina menjadi
pelan-pelan terang benderang kebenarannya. Berdasarkan kronologis peristiwa sebelumnya
Jokowi mengundang asing untuk berinvestasi di Indonesia dengan mempermudah
syarat-syarat investasi. Lalu Jokowi berkunjung ke Beijing, terus dibalas oleh
Wakil PM Liu Yandong. Investasi Cina pun di mulai di Indonesia dengan membangun
rel kereta api di beberapa tempat dan membangun pabrik semen di Papua.
Datanglah ribuan pekerja Cina dan ditempatkan di Banten, Sulawesi Tengah dan
Papua (ini juga fakta, telah didengar oleh DPR). Terus Jokowi mewacanakan kepemilikan
properti oleh WNA. Maka agak sulit dibantah kebenaran migrasi jutaan
warga Cina itu.
Jadi implikasi
kerjasama Cina-indonesia itu memang bisa menguntungkan Indonesia dengan
mendapat investasi besar-besaran dari Cina. Namun sebaliknya bisa juga berpotensi
merugikan Indonesia terutama memunculkan isu-isu strategis.
Sebagai contoh
kedatangan buruh migrasi dari Cina yang ditempatkan di Banten dan Papua telah
membuat miris publik di tengah tingginya pengangguran di Indonesia.
Bisa dikatakan
bahwa utang berkedok investasi dari China telah menjadi lahan subur dan hanya
membuka lapangan kerja baru bagi buruh China, bukan tenaga kerja lokal.
Padahal utang
yang tercatat sebagai utang bangsa dan akan dibayar melalui pajak yang dibayar
penduduk lokal/rakyat ternyata dinikmati orang asing dari Tiongkok.
Sikap
pemerintahan Presiden Joko Widodo yang seolah mendiamkan dan merestui
membanjirnya ribuan buruh China memasuki Indonesia, ditanyakan banyak pihak.
Dilaporkan saat ini, sudah lebih dari ratusan ribu buruh Cina menempati
berbagai bidang pekerjaan di Indonesia, baik sebagai tenaga profesional, maupun
sebagai tenaga kasar.
Yang ironis lagi,
pernyataan Menkopolhukam malah menganggap biasa serbuan tenaga kerja tersebut.
Parahnya malah membandingkan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang jutaan
orang.
Apalagi mendengar
pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakirie yang membandingkan TKI (Tenaga Kerja Indonesia-red) di luar negeri
dengan TKA (Tenaga Kerja Asing-red) di
Indonesia adalah hal yang kurang tepat. TKI di luar negeri dalam posisi mengerjakan
pekerjaan yang relatif tidak dikerjakan oleh tenaga kerja di negara tersebut.
Sementara, TKA yang bekerja di Indonesia justru mengambil alih kesempatan
bekerja bagi rakyat Indonesia karena pekerjaan yang dikerjakan oleh TKA
tersebut sesungguhnya bisa dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia.
Sungguh Logika
berpikir yang tidak sehat dan tidak normal
Orang Indonesia
menjadi tenaga kerja di negara lain, karena di negara tersebut hampir tidak
bisa menemukan orang yang mau melakukan pekerjaan seperti profesi yang dilakoni
TKI/TKW (Wanita-red) kita. Beda dengan di sini. Buruh kita mau bekerja dan
mampu bekerja seperti pekerjaan yang dilakukan buruh China tersebut.
Hal ini justru
melukai perasaan ratusan juta rakyat Indonesia
Menteri
Ketenagakerjaan seharusnya melakukan pengawasan dan penegakan aturan hukum
terkait dengan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, khususnya terhadap
10 juta tenaga kerja China yang masuk ke Indonesia.
Kekhawatiran
serbuan TKA ini wajar karena tiga hal. Pertama, daya saing TKI masih dianggap
rendah. Namun ini terjadi pada level skilled worker, menengah ke atas.
Pekerjaan Rumah (PR) pemerintah sangat besar dalam hal ini. Apalagi diiringi
hadirnya era Masyarakat Ekonomi Asean yang semakin memudahkan TKA asing masuk
ke negeri ini dan juga TKI yang bekerja di negara asing.
Dua, disinyalir
bahwa bentuk kontrak dengan perusahaan atau lembaga dari RRC (Republik Rakyat
Cina-red) berupa kontrak kerjasama atau utang yang mensyaratkan penggunaan TKA
secara masif hingga level unskilled workers sebagaimana diberitakan akhir-akhir
ini. Apalagi ditambah banyak pengangguran pada level unskilled worker gegara
terpuruknya ekonomi makro akhir-akhir ini.
Tiga, Proyek
pembangunan di negeri ini yang sepertinya “disapu bersih” oleh pihak RRC yang
membuat peluang untuk terjadinya pengelolaan proyek yang “ramah” seperti Tol
Cipali tadi semakin kecil mendekati nihil. Andai Pemerintah memecah pembagian
proyek-proyek pembangunan infrastruktur negeri ini ke banyak pihak, niscaya
kita bisa memperoleh peluang hadirnya proyek yang “ramah” itu. Sehingga
proyek-proyek pembangunan tidak akan meresahkan rakyat.
Dalam sejarahnya,
Tiongkok memang sangat ekspansif dan agresif. Tentu saja ini sesuatu yang wajar
bagi negara yang demikian besar dan dengan sejarah peradaban yang panjang. Kita juga telah mengalami serangan
Tiongkok yang mencoba menempatkan wilayah kita dalam hegemoni dan menjadi
vassal-nya. Saya ingat belajar sejarah, pada abad XIII, Kublai Khan mengirim
20.000 hingga 30.000 anggota pasukan lautnya untuk menaklukkan Singosari. Tapi
usaha itu dapat digagalkan oleh Raden Wijaya, yang kemudian menjadi pendiri
Kerajaan Majapahit. Seperti kata Bung Karno, jangan sekali-sekali melupakan
sejarah.
Menurut saya
selaku penulis, sekiranya jangan anggap remeh fenomena hadirnya TKA dari RRC.
Dampak dari penggunaan migrant labour khususnya TKA sangat besar. Mulai dari
influx yang akan membawa ikutan yang negatif (benturan budaya, industri haram,
penyakit baru, perubahan struktur sosial lokal, dll…) hingga dampak ekonomi
yang lebih luas seperti hilangnya peluang pemberdayaan sumber daya manusia
(SDM) lokal dan bisnis lokal. Tentu masih banyak lagi yang belum disebutkan di dalam
tulisan saya kali ini.
Penulis :
Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)
0 Comments