Ahmad Yani Basuki dan peserta diskusi: perilaku baik. (Foto: Dade, TangerangNET.Com) |
NET - Banyak
masyarakat yang mendapatkan pengetahuan dan pengalaman berharga dari film yang
ditonton. Film bermutu bisa menginspirasi masyarakat penontonnya untuk
melakukan perilaku yang lebih baik.
Di sisi lain,
film juga sering kali dijadikan semacam "kambing hitam" ketika
terjadi kasus asusila yang menghebohkan,
dan apalagi jika tiba-tiba si pelaku mengaku kecanduan nonton film. "Aneka
hujatan masyarakat yang dialamatkan terhadap film seperti apa, tetapi film
porno jelas tidak akan lolos sensor," ujar Ketua Lembaga Sensor Film (LSF)
Ahmad Yani Basuki, Kamis (11/82016), saat acara diskusi "Masyarakat Sensor
Mandiri Wujudkan Kepribadian Bangsa”, di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta.
Menurut Ahmad,
perilaku sadis dan berbagai warna jahiliyah sudah terjadi di muka bumi, jauh
hari sebelum hadirnya tayangan film. Artinya, pengaruh negatif dari film memang
ada, tetapi bukan satu-satunya pemicu tindak kejahatan, dan tidak ada yang bisa
menjamin jika tidak menonton film, justru lebih dominan.
Sebagai salah
satu buktinya, kata Ahmad, hal itu telah diakui secara jelas dalam pemaparan
dasar pertimbangan lahirnya UU Perfilman Tahun 2009 dan PP No 18 Tahun 2014.
"Dasar pertimbangan itulah yang senantiasa tertanam di benak seluruh
anggota LSF dan Tenaga Sensor disebutkan bahwa film sebagai karya seni budaya,
memiliki peran strategis dalam peningkatan budaya, memiliki peran strategis
dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir
batin untuk memperkuat ketahanan nasional," ujarnya.
Oleh karena itu, kata
Ahmad, film juga diakui sebagai media komunikasi massa yang merupakan sarana
pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangkan potensi diri, pembinaan akhlak
mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di
dunia internasional. Maka dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang LSF,
rasa cinta terhadap film dan semangat untuk turut serta memajukan perfilman
nasional selalu tertanam di benak anggota dan tenaga sensor.
LSF tidak lagi
memotong film atau iklan film, apabila terdapat adegan atau dialog yang
bertentangan dengan kriteria penyensoran, revisi terhadap film atau iklan film
dilakukan oleh pemilik film. "Namun, ditegaskan bahwa film dalam era
globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari
pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri
bangsa Indonesia," ungkap Ahmad.
Dengan mekanisme
tersebut, kata Ahmad, tentu saja untuk ke depannya diharapkan seluruh film dan
iklan film yang singgah ke LSF, bisa langsung lulus sensor, tanpa harus
direvisi terlebih dulu, dan berjalannya mekanisme dialog antara LSF dan pemilik
film, merupakan salah satu upaya dalam membangun masyarakat sensor mandiri.
"Terwujudnya
masyarakat sensor mandiri, sangat bergantung pada sejauh mana dukungan berbagai
bentuk komponen masyarakat. Baik itu produsen film maupun para penikmat film,
dan sejak praproduksi, sebuah film sudah bisa disiapkan untuk ditonton oleh
golongan usia tertentu," kata Ahmad.
Demikian pula
masyarakat penonton perlu menyesuaikan klarifikasi usia tayangan yang
disaksiskan tayangan televisi di rumah-rumah pun tidak bisa dilepas begitu saja
oleh parang orang tua. Namun, penonton yang berusia di bawah 21 tahun, tentu
saja harus menghindari tayangan yang diklarifikasi semua umur, 13 +, 17 +, atau
21 +. (dade)
0 Comments