Oleh Dodi Prasetya
Azhari, SH
![]() |
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti
(PEMIMPIN) itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya (PENGIKUT), dan
mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama
sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti (PENGIKUT) : "Seandainya
kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka
(PEMIMPIN), sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan
sekali-kali mereka tidak akan ke luar dari api neraka. (Qs.
Al Baqarah 166-167)
Dalam ayat di
atas Allah SWT memberikan peringatan (warning) agar
senantiasa waspada terhadap pemimpin-pemimpin penipu yang mirip syaithan. Yang
tak bertanggung jawab setelah menyesatkan. Lagaknya saja akan membawa
kesejahteraan dan kebaikan buat rakyatnya. Bahkan dengan berbagai program
kampanye dan penampilan yang seolah-olah perhatian penuh kepada masyarakat.
Dengan membawa sembako dan uang yang dibagi-bagi kepada masyarakat untuk
menunjukkan bahwa mereka peduli, bahwa mereka orang baik, belum jadi saja sudah
bagi-bagi apalagi kalau sudah jadi?
Tapi faktanya pada kemudian hari berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa mereka adalah para
penipu. Mereka adalah para “pemimpin” penipu yang melakukan transaksi
pengambil-alihan kekuasaan masyarakat dengan uang receh, lalu setelah jadi
mereka ternyata bukan bekerja untuk mensejahterakan rakyat.
Saking pinternya
mereka menipu, mereka datang dengan peci dan baju takwa, mendatangi masjid,
majelis taklim, madrasah, dan pondok pesantren. Dengan membawa bantuan, padahal mereka adalah kaum munafiq yang sebenarnya
tidak peduli dengan perubahan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Agar tak
terus-terusan dibohongi para pemimpin munafik yang berkolaborasi bersama para petualang,
spekulator dan pedagang yang sama - sama mempunyai kepentingan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), konstituen yang berhak pilih, mutlak
harus mewaspadai dan lebih peka terhadap hal ini. Jangan mudah dikelabui, dalam
proses Pilkada serentak 2015 menjadi pemilih kritis dan cerdas adalah suatu keharusan yakni harus piawai
mengelola daya ingat tentang tabiat si calon dan pasangannya di masa lalu,harus
menggunakan tegaknya akal sehat dan logika murni bukan sebatas pembenaran sadar
konsekuensi dan tidak mudah terprovokasi dan diperalat. Atau bahkan
diadu-domba. Serta saling dibenturkan satu-sama-lain.
Bagaimana pun
sejatinya kekuasaan selalu berkecendrungan bohong dan atau membentuk opini
palsu. Termasuk, pada ajang Pilkada langsung nanti. Kepalsuan
dan pembohongan itu bisa menyangkut aspek pencitraan, upaya pengelabuan baik menutup
aib, merahasiakan asal-usul, menggelapkan jejak masa lalu. Maka, waspadalah.
Pilkada serentak
adalah ajang praktik manipulasi dan penyalahgunaan “aspirasi publik”. Dengan
cara menyelewengkan makna “representasi”. Dengan menggiring arah “partisipasi”.
Hati-hati dengan penyesatan informasi, kesengajaan menciptakan kesenjangan
pengetahuan. Misalnya dengan taktik mutilasi data. Atau penghilangan bukti, dan
relasi kontekstual.
Memilih atau
Dipilihkan? Ada salah kaprah, bahwa Demokrasi dipahami sekadar ‘kebebasan memilih,
tanpa paksaan’. Akibatnya, banyak yang masih belum sadar, bahwa “Demokrasi”
bisa dipalsukan. Karena pemilih bisa di-setting agar tak benar-benar bebas
memilih. Sebab, yang dipilih, bisa saja, sebenarnya sudah dipilihkan. Oleh
pihak yang ingin terpilih. Atau oleh kepentingan yang mengatur keterpilihan.
Jumlah
(seharusnya) bukan indikator. Demokrasi cenderung dipersepsikan bahwa yang benar adalah yang pendapatnya didukung lebih banyak. Seakan tak
ada tempat bagi kebenaran minoritas. Padahal, bisa saja “Kebenaran” tadi, cuma
konsensus dari mayoritas. Kalau memilih calon cuma karena ikut-ikutan saja;
atau sekadar mengandalkan mana yang lebih banyak jumlah pendukungnya, ya harus
siap-siap jadi korban kecewa dan mungkin saja dibohongi lagi untuk 5 tahun ke
depan.
Kritisi yang cuma
bermodal “terkenal”. Calon yang merasa ngetop, dan berhasrat pokoknya harus
terpilih, harus diwaspadai. Maka, pemilih dituntut kian terampil
membedakan mana calon yang sekadar pengen ‘tampil beda’; terhadap calon yang
berkepemimpinan unik; dari yang berorientasi eksentrik; atas yang pola
kepemimpinannya aneh. Kepemimpinan model begini bisa blunder, jika orientasinya
sekadar nyeleneh, demi bisa terpilih. Padahal content kepemimpinannya tak
relevan dengan permasalahan aktual.
Rakyat kini rindu
terhadap pemimpin yang berpihak kepada kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat.
Pemimpin harus jadi bagian dari solusi. Pemimpin seharusnya tidak malah
nambah masalah. Makanya pemimpin harus ‘terampil mendengarkan’. Bukan cuman mau
‘didengarkan’ –padahal keputusannya salah. Urusan tentang yang dipimpin, jauh
lebih penting bagi kelangsungan bangsa ini, ketimbang ego yang akan memimpin.
Di alam demokrasi
baik setan (koruptor,pembohong,munafiq) mau pun malaikat (orang bersih)
mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemenang.
Tugas kita selaku
pemilih adalah bagaimana si setan tersebut jangan sampai menjadi pemenang
kompetisi pelaksanaan proses demokrasi di Republik ini.
Musuh demokrasi
selain kemiskinan ialah kekuasaan yang termonopolikan. Agar Tangsel menjadi
kota terbuka, oligarki kekuasaan adalah ancaman serius yang harus dihentikan.
Kedua, kepemimpinan yang profesional, tegas, cerdas dan tidak memiliki ’utang
politis’ yang besar.
Tentu, tak ada
makan siang gratis, kata pepatah. Realitasnya, esensi kepemimpinan adalah
kekuasaan. Dan di balik kekuasaan, ada banyak kepentingan
ikut mendompleng. Berhasrat ikut mengendalikan. Sehingga, apakah
kepemimpinan ke depan amanah, atau serakah, pilihan kita yang tentukan.
Jadi, mari
memilih dengan bertanggung-jawab. Tetap waspada tapi berpikiran terbuka.
Sambil senantiasa tetap kritis dan cermat. Dengan pintar menakar. Jeli
meneliti. Fasih memilih. Demi Tangerang Selatan yang jauh
lebih baik, bagi kepentingan rakyat. *
Penulis: Ketua
Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)
Tinggal di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat,
Tangerang Selatan
0 Comments