Oleh: Dodi Prasetya Azhari SH

Namun yang
menjadi persoalan berikutnya adalah apakah kita (pemilih) sudah melakukan
penilaian untuk para calon pemimpin kita ?
Di alam demokrasi
baik setan (koruptor) mau pun malaikat (orang bersih) mempunyai kesempatan yang
sama untuk menjadi pemenang.
Tugas kita selaku
pemilih adalah bagaimana si setan tersebut jangan sampai menjadi pemenang
kompetisi pelaksanaan proses demokrasi di Republik ini.
Musuh demokrasi
selain kemiskinan ialah kekuasaan yang termonopolikan. Agar Tangsel menjadi
kota terbuka, oligarki kekuasaan adalah ancaman serius yang harus dihentikan.
Kedua, kepemimpinan yang profesional, tegas, cerdas dan tidak memiliki ’utang
politis’ yang besar. Kepemimpinan yang bersandarkan pada kepentingan pemodal,
akan menjadi persoalan dikemudian hari. Politik balas budi pada akhirnya
menjadi pola yang bisa saja menjadi beban nantinya.
Aktivitas
politik memang butuh dana. Bukan cuma aktivitas politik saja, setiap aktivitas
dalam hidup ini butuh dana. Untuk politik, dana diperlukan khususnya menjelang
dan saat kampanye pemilihan baik untuk atribut berupa spanduk dan stiker, biaya
untuk pengerahan massa, hingga untuk money politik.
Indonesia
terkenal dengan high-cost politics. Politik berbiaya mahal. Seperti untuk biaya
kampanye tadi, dan juga untuk pemungutan suara. Orang-orang yang terjun ke
dunia politik tidak semuanya, bahkan jarang, yang mampu memenuhi kebutuhan
aktivitas politiknya dengan hartanya sendiri. Kalau sudah begitu, biasanya ada
permintaan sumbangan ke pihak lain.
Dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, diatur mengenai
sumbangan kepada partai politik. Bab VI Pasal 12 ayat 1 tertulis bahwa keuangan
partai politik diperoleh dari iuran anggota, sumbangan, dan
usaha yang lain. Dalam undang-undang itu juga diatur besaran maksimal sumbangan
oleh perorangan.
Melalui sumbangan
inilah titik rawan kejahatan terjadi. Karena kata pepatah, "Tidak ada makan siang yang gratis." Ada sumbangan, ada kepentingan
tentunya. Ini sudah maklum. Kepentingan agar usaha si penyumbang tidak
terganggu oleh calon pejabat, sampai harapan agar si penyumbang dapat jatah
proyek tertentu.
Politik memang
sarana memperjuangkan kepentingan. Pengusaha bisa "berinvestasi" agar
kepentingannya pun ikut diperjuangkan oleh aktivis politik. Melalui sumbangan
tentunya. Di situlah kepentingan politik dan kepentingan pengusaha
terkolaborasi.
Modal politik
yang dikeluarkan, tentu saja harus digantikan. Pendonor akan menagih ketika
calon yang didukung keluar sebagai pemenangnya. Inilah fakta yang kerap
terjadi. Dan, fakta inilah yang kini mengemuka dalam opini publik terhadap
kandidat Walikota Tangsel. Karena itu, adalah bijak untuk cermat melihat
pemimpin Tangsel kedepan. Dengan harapan, berbagai persoalan Tangsel dapat
segera terselesaikan dengan baik, khususnya ketika kandidat yang menang mampu
merealisasikan janji dan cita-citanya. Mari kita tunggu.
Setiap agenda Pemilu, banyak masyarakat luput mengamati pendanaan kampanye para calon yang
akan maju sebagai pemimpin. Padahal, akar korupsi salah satunya berasal
dari sumber pendanaan kampanye. Meski tahapan pelaporan dana kampanye sudah
berlangsung sejak 2014, namun proses auditnya hanya berlangsung formal, tidak
menelusuri sumber sumbangan dan penggunaan dana kampanye di lapangan.
Problem di atas tentu hal yang dapat di-lumrah-kan pada akhirnya
karena sudah menjadi kebiasaan atau masalah klasik yang ada di lingkungan sekitar kita dalam proses berdemokrasi.
Namun, apakah
semua ini tidak bisa kita ubah Kekhawatiran saya berlanjut, justru ada sebuah
pertanyaan dalam hati kecil saya, “Apakah ini merupakan identitas bangsa
Indonesia berdemokrasi? atau apakah kita masih premature untuk berdemokrasi?”.
Dapat disimpulkan
bahwa penyakit dalam setiap Pemilu atau Pilkada ada dua, pertama ada pada kita sebagai pemilih dan kedua pada si calon pemimpin.
Sederhana bagi
saya, jawaban yang sangat relevan dan memungkinkan untuk meminimalisir bahkan
menghilangkan praktek-praktek haram dalam berdemokrasi ialah kuncinya ada pada
pemilih terutama pemilih muda. Pemilih muda yang mampu melihat secara lebih
obyektif bagaimana praktek-praktek dalam berdemokrasi mengarahkan kepada
kecurangan ataupun proses berdemokrasi tersandera oleh kepentingan pengusaha,
karena nyatanya calon penguasa tak mampu melepaskan diri dari logistiknya dan
adanya kecenderungan terjadinya kolaborasi kepentingan pengusaha dengan
penguasa yang pada akhirnya mengamputasi kepentingan rakyat pada umumnya.
Mari bangun
gerakan kesadaran kepada kita para pemuda, bertepatan dengan semangat Sumpah Pemuda maka sudah seharusnya kaum muda melakukan perannya. Pada hari di hadapkan dengan Pilkada serentak yang dibutuhkan bangsa kita tentunya mengawal Pilkada
dengan cara menjadi pemilih yang cerdas dan mengkampanyekan cara memilih yang
cerdas kepada rakyat . Sederhananya menurut saya, peran pemuda merupakan kewajiban atau fardu’ain yaitu terlibat untuk
mencerdas kan bangsa. Karena pemuda merupakan aset bangsa yang berharga. Karena di tangan para pemudalah bangsa ini diteruskan dan ditentukan.
Kaum muda harus menjadi
pemilih yang cerdas, mari kita gunakan cara-cara ilmiah dalam
menentukan calon pemimpin masa depan. Di mana cara ilmiah itu
kita dapatkan dari pengalaman, track record, kredibilitas calon pemimpin .
Jangan berpikir dangkal tertipu pada banyak dana ataupun logistik kampanye yang
mereka punya.
Penulis:
Ketua Umum Suara
Kreasi Anak Bangsa (SKAB).
Tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan.
0 Comments