![]() |
| Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. (Foto: Ist/Solopos) |
SIMPTOM gembong dan gerbong yang merekayasa pengadilan Thomas Trikasih Lembong alias Tom
Lembong, tak ubahnya seperti peran ganda para penguasa dan pengikutnya yang
menjadi pejabat sekaligus penjahat. Komunitas elit menyimpang negara itu, bukan
hanya sekadar menjadi pemangku kepentingan publik, melainkan juga berperan
sebagai mafia dan sindikatnya, bahkan sebagai aparat-aparat psikopat.
Pengadilan Tom Lembong terkait impor gula tahun 2017,
semakin mengokohkan praktek-praktek negara kekuasaan ketimbang negara hukum.
Pemerintah kerap melampau batas-batas kewenangan dan telah melakukan kejahatan
yang difasilitasi oleh pejabat atau lembaga negara (state organized crime).
Tak peduli rakyat jelata, masa bodoh dengan oposisi,
kekuasaan harus tetap dipertahankan dan berkelanjutan. Segala cara dan siapapun
yang merintangi hanya ada kompensasi, dihargai (dibeli) atau disingkirkan.
Untuk yang jelas-jelas menantang dan melawan kekuasaan, baginya hanya ada
eksploitasi, persekusi dan kriminalisasi. Jika sudah dianggap membahayakan,
penawar terbaiknya adalah kematian.
Jumat, tanggal 18 Juli 2025, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menggelar dan memutuskan perkara usai Jaksa menuntut hukuman 7 tahun penjara
untuk Tom Lembong. Proses persidangan yang tak berdasar dan sarat politis
selama ini, nyaris tak menemukan celah hukum yang dilakukan Tom Lembong baik
dari masalah korupsi yang dituduhkan kepadanya hingga aspek norma-norma dan
etika selama Tom Lembong menjabat menteri perdagangan kala itu. Pemerintah
kadung malu, terlanjur dan tanggung untuk menghentikan kasus ataupun mengakui
kesalahannya. Ini memang bukan soal keadilan, ini tentang kekuasaan dan
bagaimana cara menggunakan kekuatannya.
Kebencian, dendam kesumat dan mungkin ketakutan akan
pertanggunganjawab yang kelak harus dipukul dari sepanjang kekuasaan
menyimpang. Faktor figur Anies Baswedan menjadi trigger atau setidaknya irisan
dari kemunculan pengadilan Tom Lembong. Kekuasaan formal dan informal yang
mengendalikan negara ini, memiliki kemampuan multi fungsi dan keahlian untuk menindas dan menghancurkan lawan
politiknya. Anies Baswedan menjadi tak terkecuali dan paling strategis untuk
menjadi korban, termasuk kolega, dan partisipannya.
Presiden dan mantan presiden, para menteri dan mantan
menteri dan semua kelembagaan negara yang otoritatif terhadap penegakan hukum
seolah-olah tak memiliki korelasi dengan pengadilan sesat terhadap Tom Lembong.
Semua terasa acuh tak acuh, semua merasa tak ada kaitannya, bahkan mungkin
semua ikut bertanggungjawab namun tetap tenang dan nyaman menampilkan rasa tak
bersalahnya.
Perilaku kekuasaan yang telah melampau batas yang
menginjak-injak kemanusiaan dan perasaan kebangsaan yang sama, mereka tak layak
menjadi penyelenggara negara, apalagi disebut sebagai pemimpin. Tiada lain dan
tak bukan, manusia-manusia berseragam aparatur itu, linear juga melakukan
kejahatan-kejahatan luar biasa atas nama negara. Fitnah, pembunuhan,
perampokan, kekerasan fisik dan seksual, perusakan lingkungan, korupsi dan
flexing hingga menguras sumber daya alam, telah menjadi habit dan gaya hidup
kebanyakan pemangku kepentingan publik.
Tom Lembong adalah salah satu contoh korban dari iklim dan
populasi distorsi atau lebih ektrim lagi berupa kehancuran peradaban nasional.
Pengadilan Tom Lembong hanya berisi skenario syahwat berkuasa dan membunuh dari
para gembong dan gerbongnya. Gembongnya adalah pimpinan dan kroni dari rezim
psikopat, sedangkan gerbongnya mewujud para pejabat khianat, penjilat, pemburu
uang dan jabatan termasuk buzzer serta pelacur-pelacur kemanusiaan lainnya.
Pengadilan Tom Lembong yang putus perkaranya pada hari jumat
tanggal 18 Juli 2025, akan menjadi etalase permanen dari wajah hukum sekaligus
identitas Indonesia. Masihkah ada Pancasila, berlakukah UUD 1945 Asli dan
relevankah NKRI sekarang ini?
Boleh jadi, perkara pengadilan Tom Lembong menjadi titik
nadir eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa atau bisa juga berbalik
mewujud babak baru keinginan dan
semangat untuk restorasi atau perubahan Indonesia yang lebih baik. Biarlah
hakim menjadi perwakilan Tuhan yang sebenarnya dalam memutuskan perkara dan
menorehkan sejarah pengadilan seputar gembong, gerbong, dan Tom Lembong. (***)
Bekasi Kota Patriot.
22 Muharram 1447 H/18 Juli 2025.




0 Comments