Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bertentangan Dengan UUD 45, Koalisi Masyarakat Sipil Gugat Pasal-pasal PSN UU Cipta Kerja ke MK

Koalisi Masyarakat Sipil seusai mendaftarkan 
permohonan gugatan ke MK perlihatkan bukti 
surat telah didaftarkan dari petugas MK Jakarta. 
(Foto: Istimewa)  


NET - Ada delapan organisasi masyarakat sipil bersama sejumlah individu terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) mengajukan permohonan judicial review (JR) terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Gugatan tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada Jumat (4/7/2025). Pengajuan gugatan tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Edy, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan permohonan tersebut diajukan secara khusus mempersoalkan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang memberikan legitimasi hukum terhadap kemudahan dan percepatan PSN.

“Ini yang justru telah terbukti menimbulkan kerusakan lingkungan, penggusuran paksa, dan kriminalisasi terhadap warga negara,” tutur Edy.

Gugatan ini, kata Edy, menekankan bahwa sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan prinsip negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

“Dalam praktiknya, skema PSN telah menjadi sarana legitimasi pelanggaran hukum: proyek seperti Rempang Eco City, reklamasi PIK-2, food estate di Papua, dan pengembangan Ibu Kota Nusantara (IKN). Sebab, dijalankan dengan mengabaikan hak atas tanah, hak atas pangan dan gizi, partisipasi publik, serta keberlanjutan ekosistem,” tutur Edy.

Gugatan itu diajukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil, yaitu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Trend Asia, Pantau Gambut, Yayasan Auriga Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan FIAN Indonesia.

Menurut Edy, para pemohon juga mencakup individu-individu yang terdampak langsung oleh proyek PSN di berbagai wilayah Indonesia, termasuk warga Rempang (Batam), Merauke (Papua Selatan), Sepaku (IKN), dan Konawe (Sultra). Selain warga terdampak, salah satu pemohon individu adalah Dr. Muhammad Busyro Muqoddas, akademisi dan Ketua PP Muhammadiyah Bidang HAM, Hukum, dan Kebijakan Publik.

Ikhwan Fahrojih dari LBH AP PP Muhammadiyah mengatakan secara hukum, permohonan ini menguji konstitusionalitas pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang menjadikan “PSN” sebagai kategori istimewa untuk menghindari regulasi yang dianggap “menghambat”, pun dalam konteks perlindungan lingkungan dan warga negara.

“Ketentuan tersebut dianggap melanggar prinsip due process of law karena mengaburkan standar hukum perlindungan lingkungan dan menghilangkan jaminan hak atas ruang hidup. Mahkamah Konstitusi diharapkan berperan sebagai penjaga konstitusi  sekaligus pelindung HAM dan lingkungan,” tutur Ikhwan.

Para pemohon, kata Ikhwan, menilai skema PSN dalam UU Cipta Kerja telah mengukuhkan watak pembangunan eksploitatif dan elitis. Penyusunan daftar PSN tidak melibatkan partisipasi rakyat secara bermakna dan tidak tunduk pada uji kebutuhan publik yang objektif.

“Percepatan proyek semata dijadikan dalih untuk mengesampingkan prinsip kehati-hatian ekologis (precautionary principle), yang seharusnya menjadi dasar utama dalam kebijakan pembangunan nasional. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yang menegaskan perlindungan lingkungan hidup dan keadilan sosial sebagai pilar konstitusional,” ungkap Ikhwan.

Melalui pengajuan ini, imbuh Ikhwan, para pemohon mendorong Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan bahwa pembangunan nasional tidak boleh menjadi ruang bebas hukum dan bebas HAM.

Ikhwan menyebutkan negara harus tunduk pada prinsip konstitusional bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan pembangunan harus menjamin keadilan ekologis lintas generasi.

“Judicial review ini diharapkan menjadi momen korektif terhadap arah pembangunan yang meminggirkan warga dan mengorbankan lingkungan atas nama investasi dan proyek strategis,” ujar Ikhwan. (*/pur)


Post a Comment

0 Comments