Muhammad Said Didu. (Foto: Istimewa) |
Said Didu melakukan kritik ketidakadilan terhadap rakyat
pada implementasi kebijakan Proyek Strategis Nasional Pantai Indah Kapuk 2 (PSN
PIK-2) di sembilan kecamatan di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang pada
luasan yang bisa mencapai 100.000 hektare.
Hal itu akan menggusur ratusan ribu warga - justru Said Didu
terancam dikriminalisasi melalui laporan atas nama Maskota yang berdasar
informasi adalah Ketua APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia)
Kabupaten Tangerang.
“Kami dengan tegas mengecam upaya kriminalisasi yang dialami
oleh Bapak Said Didu, seorang tokoh publik dan mantan pejabat negara, yang
selama ini secara konsisten menyuarakan ketidakadilan di berbagai daerah -
termasuk di PSN PIK-2,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum Universitas
Muhammadiyah Tangerang (LBH UMT) Gufroni dalam Siaran Persnya yang diterima
Redaksi TangerangNet.Com, Selasa (3/9/2024).
Said Didu, kata Gufroni, telah lama dikenal sebagai figur
yang berani mengungkapkan fakta-fakta dan menyuarakan aspirasi rakyat yang
terdampak oleh berbagai kebijakan yang tidak adil. Salah satu isu yang ia
angkat adalah penggusuran lahan di wilayah PIK 2, yang menyebabkan ribuan
keluarga kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka.
“Dalam upaya mempertahankan hak-hak warga negara, Bapak Said
Didu menyuarakan kritik tajam terhadap proyek ini yang dinilai mengabaikan
prinsip keadilan sosial,” ungkap Gufroni yang juga Ketua Bidang Apdvokasi
Publik Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik Pimpinan Pusat (LBH AP PP) Muhammadiyah
Jakarta.
Namun, alih-alih mendengarkan suara kritis ini sebagai
bagian dari proses demokrasi yang sehat, Said Didu justru dihadapkan pada
ancaman kriminalisasi dengan dalih pelanggaran Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Kami melihat tindakan ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap
kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh Konstitusi. Ancaman ini bukan hanya
mencederai hak asasi Bapak Said Didu sebagai warga negara, tetapi juga
mengirimkan sinyal yang menakutkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa
menyuarakan kebenaran dan keadilan dapat berujung pada proses hukum yang
menekan,” ucap Gufroni.
Penggunaan UU ITE, kata Gufroni, untuk menjerat Said Didu
sebagai terlapor adalah tindakan yang tidak proporsional dan tidak berdasar.
Kritik yang disampaikan oleh beliau adalah bagian dari hak konstitusional untuk
menyampaikan pendapat dan memperjuangkan keadilan. Penggunaan UU ITE untuk
membungkam suara kritis ini hanya akan semakin memperburuk citra demokrasi di
Indonesia dan menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di negara
ini.
“Kami meminta agar proses hukum yang adil dan transparan
ditegakkan, serta agar aparat penegak hukum tidak digunakan sebagai alat untuk
memberangus kritik dan menakut-nakuti para aktivis yang memperjuangkan hak-hak
rakyat. Negara harus memastikan bahwa kebebasan berpendapat tetap dihormati dan
dilindungi, bukan justru menjadi korban kriminalisasi,” tukas Gufroni.
Pihaknya mengajak seluruh elemen masyarakat, organisasi
masyarakat sipil, dan media untuk terus mengawal kasus ini dan memberikan
dukungan kepada Bapak Said Didu dalam memperjuangkan hak-haknya.
Ada pun sepuluh Tim Hukum itu: LBHAP PP Muhammadiyah,
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, Perhimpunan
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), AMAR Law Firm, LBH
Syarikat Islam, Themis Indonesia, Ekomarin, FIAN Indonesia, dan Kontras.
(*/rls/pur)
0 Comments