![]() |
Ilustrasi, ekspresi kebebasan pers. (Foto: Istimewa) |
Kesit Budi Handoyo adalah Ketua PWI Jaya bersama pengurus
organisasi pers, gabungan pers mahasiswa, organisasi pro demokrasi di Jakarta
mengeluarkan suatu pernyataan terkait revisi Undang-Undang Penyiaran.
Organisasi tersebut yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jakarta Raya, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Serikat
Pekerja Media dan Industri Kreatif Untuk Demokrasi (SINDIKASI), LBH Pers
Jakarta, LPM Institut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, LPM Progress Universitas
Indraprasta PGRI, LPM KETIK PoliMedia Kreatif Jakarta, LPM Parmagz Paramadina, LPM
SUMA Universitas Indonesia, LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta, LPM
ASPIRASI - UPN Veteran, Mata IBN Institute Bisnis Nusantara, LPM Media Publica,
dan LPM Unsika.
Kesit menyebutkan Revisi Undang-Undang Penyiaran tersebut mengandung
sejumlah ketentuan yang dapat digunakan untuk mengontrol dan menghambat kerja
jurnalistik. Beberapa pasal bahkan mengandung ancaman pidana bagi jurnalis dan
media yang memberitakan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan
pihak tertentu. Ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi
yang telah kita perjuangkan bersama.
“Tidak hanya jurnalis, sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran
juga berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, dan diskriminasi terhadap
kelompok marginal. Kekangan ini akan berakibat pada memburuknya industri media
dan memperparah kondisi kerja para buruh media dan pekerja kreatif di ranah
digital,” tutur Irsyan Hasyim dari AJI
Jakarta).
Disebutkan poin-poin yang ditolak yakni satu; ancaman
terhadap kebebasan pers: Pasal-pasal bermasalah dalam revisi ini memberikan
wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk mengatur konten
media, yang dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap
pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan, seperti termuat pada draf pasal 8A
huruf q, pasal 50B huruf c dan pasal 42 ayat 2.
Dua, kebebasan berekspresi terancam: Ketentuan yang mengatur
tentang pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga
mengancam kebebasan berekspresi warga negara, melalui rancangan sejumlah pasal
yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.
Tiga, kriminalisasi jurnalis: Adanya ancaman pidana bagi jurnalis yang
melaporkan berita yang dianggap kontroversial merupakan bentuk kriminalisasi
terhadap profesi jurnalis.
Empat, independensi media terancam: Revisi ini dapat
digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang
merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam
draf pasal 51E.
Lima, revisi UU Penyiaran berpotensi mengancam
keberlangsungan lapangan kerja bagi pekerja kreatif: Munculnya pasal bermasalah
yang mengekang kebebasan berekspresi berpotensi akan menghilangkan lapangan
kerja pekerja kreatif, seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial
dan lain sebagainya.
“Kami menuntut dan menyerukan; DPR RI segera menghentikan
pembahasan Revisi Undang-Undang Penyiaran yang mengandung pasal-pasal
bermasalah ini. DPR RI harus melibatkan organisasi pers, akademisi, dan
masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan
pers dan kebebasan berekspresi,” tutur Irsyan.
DPR RI, kata Irsyan, memastikan bahwa setiap regulasi yang
dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers.
“Menyerukan agar seluruh insan pers, pekerja kreatif dan
pegiat media sosial di Jakarta untuk bersiap turun ke jalan melakukan aksi
protes ke DPR RI. Kami percaya bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi
adalah hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu, kami akan
terus mengawal proses legislasi ini dan siap melakukan aksi massa jika tuntutan
kami tidak dipenuhi,” ucap Irsyan. (*/rls/pur)
0 Comments