![]() |
Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Istimewa/tribunnews.com) |
PERNAH ada yang minta saya menulis catatan tentang putra sulung Presisen RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka. Saya tidak menolak, tapi setelah sekian lama baru catatan ini saya penuhi.
Bagi saya, Gibran tidak ada istimewanya selain takdirnya
sebagai anak Jokowi yang ditakdirkan sebagai Presiden RI 2019-2024.
Dibanding Yusril Ihza Mahendra, Mahfud, MD, Erlangga
Hartarto, Muhaimin Iskandar, atau bahkan dengan Anis Matta, Fahri Hamzah,
Sandiaga Uno, Gibran sebetulnya bukan siapa-siapa. Gibran hanya punya satu;
anak Jokowi. Selebihnya, belum apa-apa.
Yusril, berprestasi sejak masih jadi mahasiswa. Ia pernah
beberapa kali menjadi menteri. Kepakarannya di bidang hukum tidak ada
tandingannya. Konsistensi dalam karir teruji.
Fahri Hamzah juga begitu. Ia pernah menjadi anak muda yang
berkeringat pada masa reformasi. Berkarir di parlemen dan tangguh di pentas
politik. Konsistens dan karakternya jelas. Begitu juga nama lain yang
disebutkan di atas. Semuanya adalah orang-orang yang bukan hanya berkeringat,
tapi pernah babak belur mengasah kapasitas diri di tengah masyarakat.
Lah Gibran?
Sebagai Walikota Solo, Jawa Tengah, Gibran belum punya
prestasi yang patut diacungi jempol. Elektabilitasnya pun pada saat menang
dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Solo tiga tahun silam karena digjayanya
partai Banteng yang memang jagoan di Solo.
Elit di negeri kita ini sepertinya memang sedang mabuk,
terhipnotis, atau sedang gelap mata. Mereka orang-orang hebat yang pernah babak
belur membangun track record (rekam
jejak) kepemimpinan harus bungkuk-bungkuk menyalami Gibran dan menjadikannya sangat sesuatu.
Saya tidak alergi siapapun berhak menjadi Presiden atau jadi
wakil presiden. Silahkan saja. Tapi kalau hanya berbekal sebagai anak presiden,
hanya memiliki catatan elektabilitas yang debatable,
how come nanti jika dia memimpin bangsa besar ini.
Tapi terhadap Gibran rasanya ada rekayasa yang terkesan
sampai segitu ugal-ugalannya.
Mulanya anak muda yang tidak punya track record secuil pun ini bisa menjadi walikota. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) berhasil merekayasa sampai akhirnya Gibran terpilih
dan dilantik jadi jadi Walikota Solo pada 26 Februari 2021.
Ketika mau mengatrol menjadi calon wakil presiden (Cawapres),
karpet merah pun digelar melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
menurut pakar hukum penuh rerkayasa. Demi memuluskan jalan Gibran sampai-sampai
MK zigzag melahirkan keputusannya.
Setelah jalan hukum terbuka, lalu Partai Golongan Karya (Golkar)
merebut Gibran dari PDIP dan menyodorkan kepada Prabowo Subiyanto – Ketua Umum
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) untuk menjadi bakal calon Wapresnya.
Ini lucunya. Golkar yang amanat partainya mencalonkan ketuanya sebagai bakal
calon wakil presiden (Bacapres), kemudian mundur jadi mengajukan Bacapres, kok
bisa-bisanya malah mencalonkan kader partai lain yang yang diajukan Golkar
menjadi Cawapres. Saat dicalonkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Golkar,
Gibran masih kader PDIP.
Ah, skenario ini kasar bangat, dan sudah kebaca dari
awalnya.
Gibran akan diusung menjadi pemimpin. Modalnya hanya karena
dia anak presiden yang akan habis masa jabatannya. Dan, kebayang tidak apa yang
kelak dilakukan Gibran kalau mereka menang dalam kontestasi?
Kalau Gibran jadi pemimpin, bagaimana dia akan mengarahkan
bangsa ini meniti kemauan. Dan, ketika usia presiden sudah 72 tahun, alias usia
yang sudah tidak mjuda lagi, apakah kapasitas Gibran bisa menjadi tumpuan bagi
masa depan Indonesia ? Jangan-jangan akan sama seperti Bapaknya yang berbuat
beda dengan yang diucapnya. (**)
Penulis adalah wartawan senior.
0 Comments