Wina Armada Sukardi. (Foto: Istimewa) |
KENDATI masih banyak mengandung kontraversial, tampaknya Peraturan Presiden (Perpres) “tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas” terus saja disorong buat segera disahkan menjadi Perpers agar dapat secepatnya berlaku.
Beberapa alasan dikemukakan pihak
yang menyokong Rancangan Perpres ini. Dengan adanya Perpers ini kelak, mereka
berharap, ada kepastian karya pers yang didistribusikan melalui algoritma
benar-benar karya pers yang berkualitas. Bukan kaleng-kaleng. Bukan
abal-abal. Apalagi hoax.
Lantas diharapkan, dengan adanya
Perpres ini mampu memberikan pendapatan yang adil bagi media atas platform
digital. Dengan begitu, ada pendapatan yang lebih distributif dan adil.
Lewat Perpers ini pula
digadang-gadang hanya pers yang berkualitas saja yang bakal disebarluaskan oleh
Perusahaan platform digital. Dalam alur pikir para pendukung Perpres ini,
sebagai konsekuensinya perusahaan pers yang dinilai “tidak berkualitas”
distribusinya menjadi terbatas dan bakal menghadapi banyak kendala.
Hal ini lantaran jika Perpers soal
ini disahkan, patform digital seperti mesin pencari Google berpotensi tidak
dapat langsung mencantumkan berita dari perusahaan pers semacam itu.
Kenapa? Perusahaan platform nantinya
wajib menjalin kerja sama dengan perusahaan pers “pemilik” berita sebelum menyiarkan
karya pers. Itulah yang disebut publishers rights. Perusahaan pers punya hak
untuk dibayar terhadap produk-produk yang dihasilkannya. Maka perusahaan
penyebar informasi atau platform digital wajib membayar kepada perusahaan pers
setiap menyiarkan berita dari perusahaan pers.
Kabarnya dalam proses pengodokan
Perpers ini semua pihak yang terkait sudah dilibatkan. Sudah didengarkan. Dari
situ pula terkuak, sejatinya, masih banyak perbedaan prinsipil dari para pihak.
Masih ada keraguan dari beberapa pihak, Rancangan Perpers ini
bakal benar-benar mampu menghasilkan eko sistem pers yang kondusif
menjaga kemerdekaan pers. Google, misalnya, menilai rancangan yang diajukan justeru masih akan berdampak negatif pada ekosistem
berita digital yang lebih luas.
Terakhir, dua hari silam, beberapa
organisasi wartawan pun, seperti AJI, AMSI dan lainnya, membuat petisi menolak
kelas draf Perpers ini.
Walaupun demikian, faktanya, naskah rancangan Perpres tersebut hari-hari ini mau dikirim Kementerian Kominfo ke Presiden Joko Widodo untuk segera ditandatangani. Setelah terjadi pergantian Menkoinfo, rancangan Perpres ini malah dipercepat untuk sampai di meja Presiden.
Kontradiktif
Filosofi dalam Undang-Undang (UU)
Pers No. 40 tahun 1999 tentang Pers, antara lain, tidak ada satu pihak pun yang
boleh mencampuri urusan pers. Pers ditempatkan sebagai lembaga independen. Pers
yang menentukan bagaimana mereka melaksanakan kemerdekaan. Pers sendiri pula
yang membuat regulasi soal pers.
Dalam hal ini yang menilai kualitas
karya pers adalah pers sendiri. Bukan lingkungan di luar pers. Maka tanggung
jawab pemeliharaan kualitas pers berada di pundak pers sendiri juga. Bukan di
pihak lain. Tidak juga di pihak pemerintah dalam hal ini presiden.
Dari judul Perpers ini saja sudah jelas
terlihat mengandung kontradiktif.
Simaklah judul Perpers “Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk
Mendukung Jurnalisme Berkualitas.” Hal
Ini berarti pers telah menyerahkan dan mengandalkan proses peningkatan kualitas
pers kepada perusahaa platform digital. Ini tentu mengandung kontrakdiksi.
Perusahaan platform digital
bukanlah perusahaan pers atau badan hukum jurnalistik. Mereka perusahaan yang
menyediakan saluran pipa informasi dari seluruh pihak di seluruh dunia. Dari
manapun. Perusahaan platform digital sama sekali tak terkait langsung dengan
pembuatan karya-karya pers. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak memiliki
wartawan.
Pertanyaannya, mengapa dalam
Perpers kita perlu menyerahkan dan mengandalkan kualitas karya pers atau jurnalistik
kepada perusahaan platform digital? Kepada lembaga yang tidak mengurusi proses
pembuatan berita? Mereka pun tidak kompeten soal apakah sebuah karya
jurnalistik itu berkualitas atau tidak.
Di sinilah kalau Perpers disahkan,
bermakna kelak pers telah menyerahkan urusan peningkatan kualitas karya
jurnalistik kepada lembaga yang tidak kompeten dan tidak terlibat dalam proses
peningkatan kualitas karya jurnalistik. Ironis dan kontrakdiksi.
Lewat Perpers ini pula, jika jadi
disahkan, pers telah memberikan sebagian kewenangan kepada presiden. Pemerintah
(baik presiden maupun aparatnya) selama ini menurut UU Pers tidak diperkenankan
ikut campur dalam urusan pers. Namun dengan adanya tawaran pengesahan Perpers
ini, maka dibukalah pintu untuk pemerintah mencampuri urusan pers. Lewat
Perpers ini pemerintah diberi karpet merah untuk ikut kembali mengatur dunia
pers yang dalam UU Pers jelas sebetulnya tidak diperbolehkan.
Adanya Perpers ini memungkinkan
pada kemudian hari pemerintah membuat berbagai regulasi di bidang pers. Dengan
kata lain, Perpers ini merupakan undangan terbuka kepada perintah untuk
“cawe-cawe” di dunia pers. Dan sekali pemerintah diizinkan masuk ke dalam dunia
pers, sejarah telah membuktikan, betapa pemerintah (siapapun) bakal tergiur untuk menciptakan “pers yang berkualitas dalam
mendukung pemerintah.” Pers bakal dikebiri. Pers dibuat mandul!
Ini jelas kontradiktif yang terang
benderang.
(Bersambung…)
Penulis adalah Pakar Hukum dan
Etika Pers
0 Comments