![]() |
Prof Dr H Aceng Hasani, M Pd beserta rekan sejawat sesama dosen. (Foto: Istimewa) |
Pengangkatan tersebut dilaksanakan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor
26360/M/07/2023. Prof Aceng mendapatkan angka kredit sebesar 869,50 dalam
bidang ilmu Pendidikan Bahasa Indonesia.
“Saya merasa bersyukur kepada Allah SWT. (Raihan) Guru Besar
ini merupakan cita-cita para akademisi. Sebab, puncak pencapaian akademisi itu
ditunjukkan dengan raihan profesor. Saya menyampaikan terima kasih kepada semua
elemen dan semua unit yang telah membantu dalam menyiapkan guru besar saya,”
ujar Prof Aceng kepada wartawan pada Jum'at (15/6/2023).
Prof Aceng mengatakan tanpa bantuan kepegawaian dan
teman-teman sejawatnya, proses seleksi pengajuan sebagai guru besar tidak akan
berjalan lancar. Apalagi, proses yang dilalui cukup panjang.
Untuk diketahui, Prof Aceng telah mengajukan diri sebagai
guru besar sejak 2019. Pria yang lahir di Pandeglang, Banten, pada 20 Agustus
1967 itu telah menempuh perjalanan panjang sebelum meraih gelar profesornya.
Prof Aceng mengawali pendidikan di SDN 2 Menes (lulus pada
1980), pendidikannya berlanjut di SMPN 1 Menes (lulus pada 1983), dan menempuh
pendidikan di SPG PGRI Pandeglang (lulus pada 1986). Kemudian, ia memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia pada 1991 di Untirta. Pada 2003, Prof
Aceng melanjutkan studi Magister Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), lalu studi Doktor Pendidikan Bahasa di UNJ pada 2011.
Di antara kesibukan dalam meraih gelar akademis, ia terus
aktif mengabdi sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Untirta,
baik di program sarjana, magister, maupun di program Doktor Pendidikan sejak
1991. Prof Aceng mengampu mata kuliah Menulis, Penulisan Karya Ilmiah,
Pembinaan Kompetensi Mengajar, Pengembangan Keilmuan Psikolinguistik, dan
Semantik.
Mendirikan Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta ketika
pertama kali mengajar di Untirta pada 1991, kondisi kampus masih berada di
bawah naungan yayasan IKIP Bandung – sekarang bernama Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung. Bahkan, dosen yang mengajar saat itu kebanyakan
berasal dari IKIP Bandung.
"Belum terpikir ke karier pada saat itu karena prodi
saya pun masih merger ke Sekolah Tinggi Pendidikan dan Keguruan Galuh, Ciamis,”
jelasnya.
Kemudian, ia berpikir untuk mengubah merger agar Untirta
memiliki Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sendiri. Ia bersama tim
pun menyiapkan proposal pengajuan Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia serta
meningkatkan kepercayaan masyarakat Banten terhadap kredibilitas Untirta.
“Perjalanan yang panjang. Akan tetapi, guru-guru senior dari
IKIP Bandung, guru-guru saya yang mengajar di sini, menitipkan dan terus
memotivasi agar Untirta memiliki Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
secara mandiri,” paparnya.
Dosen senior tersebut di antaranya adalah Ketua Jurusan IKIP
Bandung saat itu Alam Sutawijaya. Kemudian, ada Sukandi, Yoyo, Kosadi, Syadeli,
Soleh, Iman Kusandar, Noto, dan Kartiwa. Sebagai orangtua dan dosen senior,
kata Prof Aceng, mereka terus mendorong serta meminta dirinya dan tim bersama-sama
membangun Untirta.
“Walaupun, waktu itu satu SKS digaji Rp 7.000 dan tiga SKS
itu berarti Rp 21.000. Sementara, kontrakan saya perbulan saat itu Rp 20.000.
Jadi, uang mengajar itu (hanya) lebih Rp 1.000,” kenang calon rektor Untirta
itu.
Dukungan itulah yang membuatnya semakin berupaya keras agar
Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta mendapat kepercayaan masyarakat agar
para orangtua percaya dan mau menguliahkan anaknya di Untirta.
“Saat itu, banyak yang mundur. Kami membuka Pendidikan
Bahasa dan Sastra di Untirta pada 1986 dan pada 1991 jumlah mahasiswa menurun.
Ketika Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta berdiri secara mandiri dan
punya kekuatan hukum, saya kemudian bekerja sama dengan berbagai pihak seperti
PGRI, koperasi, dan dinas pendidikan. Alhamdulillah pada 1994 kami memiliki
mahasiswa di berbagai daerah sehingga uang kuliah dari mahasiswa waktu itu
surplus,” jelas Prof Aceng.
Misi sebagai professor Meskipun kini sudah menyandang gelar
profesor, menurut Prof Aceng, ada amanah yang harus terus ia jalankan. Sebagai
lulusan yang diajar oleh dosen-dosen mumpuni di bidangnya, ia ingin mencetak
guru-guru bahasa Indonesia yang memiliki kebanggaan dan keteladanan dalam
memperjuangkan bahasa persatuan ini.
“Kalau tidak ada Bahasa Indonesia, mungkin agak sulit
Indonesia ini bersatu. Suatu kekuatan yang luar biasa bahasa Indonesia dikuasai
oleh seluruh lapisan masyarakat. Ini adalah kebanggaan dan kami pun bersemangat
untuk mengajarkannya. Semangat kebangsaan yang memang harus ditularkan,”
katanya.
Meski demikian, ia menilai, pengembangan ilmu bahasa
Indonesia saat ini menemui banyak tantangan. Utamanya, di tengah penggunaan
bahasa Indonesia yang bermacam-macam. Kemudian, diperkuat dengan semakin
banyaknya media, serta kecerdasan bahasa asing yang ditunjukkan oleh para
generasi muda saat ini.
"Bahasa Indonesia hari ini harus dipadukan dengan
kenyataan kaidah lama. Misalnya, dalam bahasa Indonesia ada bahasa tabu. Bahasa
tabu itu harus dikaji betul mengapa orang tua dulu menyebut dengan satu kata
saja, tapi efektif,” paparnya.
Prof Aceng mencontohkan ketika ingin melarang seseorang
berdiri di depan pintu, cukup menyebut “pamali”. Jika tidak boleh bepergian di
sore hari, cukup menyebut “sandekala”. Kemudian, katanya, ilmu bahasa Indonesia
juga bisa dipadukan dengan ilmu lain, seperti ilmu kedokteran, biologi,
sosiologi, dan psikologi. Sebagai contoh, saat dipadukan dengan ilmu psikologi
menjadi psikolinguistik.
Selanjutnya, perpaduan ilmu bahasa Indonesia dengan
sosiologi menjadi sosiolinguistik. “Nah, kalau itu dikaji (akan termasuk) ke
dalam bahasan ilmiah. Pesan saya kepada teman-teman yang masih (menempuh
pendidikan) S2 dan S3, hal-hal seperti itu terus harus dikaji dan bisa multidisiplin
kajiannya. Dengan begitu, akan lebih menarik,” jelasnya.
Prof Aceng mengaku ingin menggaungkan hal tersebut dan
menuliskannya menjadi sebuah kajian sehingga bisa masuk ke jurnal-jurnal
internasional. “(Dengan begitu) orang-orang (bisa) melihat budaya kita, bahasa
kita. (Hal ini) akan menarik orang untuk lebih belajar dan mengkaji lagi bahasa
Indonesia, yang menjadi kebanggaan kita semua,” tutur Prof Aceng.
Prof Aceng berharap dengan predikat guru besar yang
diberikan kepadanya, ilmu yang dimilikinya semakin meningkat, serta bisa
bermanfaat dan memotivasi generasi muda agar lebih cepat menjadi guru besar
seperti dirinya.
“Untirta punya target 20 persen (dosen menjadi guru besar).
Jadi, kalau 20 persen dari 837 jumlah dosen di Untirta, berarti (sekitar) 160
(dosen) seharusnya sudah menyandang guru besar. Namun, saat ini, (target itu)
belum tercapai. Jadi, harus kami kejar terus target itu,” ujarnya. (*/rls)
0 Comments