Ilsutrasi, bunga Kembang Merak. (Foto: Istimewa) |
TULISAN sobat Wina Armada Sukardi ikhwal puisi itu bukan perkara baru tapi tetap menarik dan mengundang
perbincangan. Soal bentuk atau isi, estetis atawa substantif, pilihan kata,
diksi, irama atau makna, menjadi wacana esei atau kritik sastra sejak, Angkatan
45, Gelanggang, Lekra, Manifes Kebudayaan/Angkatan 66, Puisi Tempe sampai ke
puisi zaman now alias pujangga medsos...
Penulis menulis puisi, kalau pakai istilah Medan, Sumatera
Utara: suka hatilah! Terserah orang mau bilang apa. Tak terperangkap dalam
rumusan, aliran, dst, dst.
Tapi dari pengalaman panjang menikmati puisi, sebagai
pembaca dan deklamator, redaktur sastra siaran radio swasta, kemudian menulis
beberapa puisi, penulis menandai puisi (lepas dari bentuk dan rumusan
estetika), secara substantif/ maknawi senantiasa mewakili suara zamannya.
Terutama mencoba mencuatkan kepermukaan suara kawula yang bungkam. Dari sisi
ini, puisi kemudian bisa dianggap memprovokasi. Bahkan pada masa orla (orde lama)
dan orba (orde baru) distigmatisasi sebagai subversif.
Lekra menggadang-gadangnya sebagai realisme sosialisasi,
sedangkan pihak yang lain mengagungkan humanisme universal. Persamaannya, kedua
aliran itu dalam pandangan penguasa yang berbeda, dianggap memprovokasi atawa
subversif. Karenanya "ditakuti" penguasa yang mengutamakan stabilitas
politik.
Ada pengalaman yang bagi penulis menggelitik: pada masa jadi
pelajar SMA di Manado, Sulawesi Utara, tahun 60-an, ketika mau mendeklamasikan
sajak Krawang-Bekasi, Chairil Anwar, panitia menyensor dulu ungkapan, menjaga
Bung Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Syahrir. Kita paham, Bung Karno
menganggap Bung Hatta dan Bung Syahrir sebagai lawan politiknya. Celakanya,
sastra kena getahnya, puisi mesti disunat.
Tersebutlah, tahun 1973, penulis pindah dari Surabaya, Jawa
Timur, ke Jakarta, menjadi penyiar Radio ARH Jakarta. Menjelang peristiwa 15
Januari 1974, untuk mendukung gerakan mahasiswa yang melakukan koreksi terhadap
rezim orba, kami menyampaikannya melalui puisi. Teman-teman menugaskan penulis
membaca puisi-puisi Taufiq Ismail dari kumpulan Tirani dan Benteng, direkam dan
disiarkan berulang-ulang. Akibatnya sejak 16 Januari 1974 Radio ARH
dibredel/ditutup tak boleh siaran. Untunglah Radio BBC siaran Indonesia dari
London menyiarkan nasib Radio ARH, dan sepekan kemudian boleh siaran lagi.
Bagi penulis ini pembelajaran sebuah paradoks. Tirani dan
Benteng, puisi-puisi perlawanan Taufiq Ismail yang ditulis sekitar peristiwa
1965 - 1966, yang jelas-jelas mendukung gerakan mahasiswa mendongkel Sukarno
dan mendukung Suharto, kok tiba-tiba mendapat pemaknaan yang berbeda tatkala
dibaca ulang jelang Peristiwa Malari. Ternyata puisi dianggap memprovokasi,
karena itu subversif, jadi ditakuti penguasa, dan mesti dilarang.
Karena itu, penulis gembira Antologi Kaki Langit Puisi-puisi
Tempe, bisa terbit, tidak kena bredel, malah disambut Mochtar Lubis sebagai
puisi kaum muda yang berani bersuara sebagai kesaksian zaman. Anda boleh baca
puisi-puisi subversif dalam kumpulan itu, yang lulus dari timbangan Taufiq
Ismail dan Remy Sylado.
Yakinlah, provokasi, subversi, radikal itu kata-kata yang
yang positif, tapi kita suka memaknai negatif.
Jadi tak perlu repot kan? Puisi yang mewakili isi kalbu
manusia yang memperjuangkan nasibnya untuk menikmati keadilan, adalah sekaligus
puisi yang indah. (**)
Tabik😇🙏
0 Comments