Wina Armada Sukardi. (Foto: Istimewa) |
SESUBUH hari ini,
hamba sudah tiga kali dipanggil “haji.” Pertama seketika hamba membuka pintu
pagar rumah, mau berangkat sholat subuh
ke mesjid, ada bebeberap tetangga yang kebetulan berjalan kaki, lewat depan
rumah hamba, juga mau ke mesjid. Mereka menyapa hamba, “Pak Haji!”
Hamba jawab,”Ya,
assalamualaiku, pagi.” Lantas kami berangkat bersama-sama ke mesjid, meski saya
agak di depan.
Kedua, ketika hamba baru ke luar dari dalam mesjid, setelah
ke luar sholat subuh di perkarangan mesjid mau mencari sandal, seorang jamaah
yang berada dekat hamba menyapa
saya,”Pak Haji Wina, apa kabar?”
“Alhamdullilah, baik dan sehat,” jawab hamba.
Terakhir, ketiga, pas hamba
mau buka kunci pagar rumah, ada sepasang suami yang juga baru pulang
sholat dari mesjid, dan berjalan pulang di belakang hamba, suaminya
menyapa,”Ayo dulan ya, Pak Haji!”
“Iya ya,” jawab hamba
sambil membuka kunci gembok pagar.
Hamba diberi nikmat oleh Allah SWT memperoleh kesempatan
naik haji tahun 2002, atawa 21 tahun silam. Sejak itulah hamba sering dipanggil
“Pak Haji” atau “Haji Wina.” Kadang-kadang cuma “Ji” saja.
Pada awal-awal pulang naik haji, hamba sering tidak sadar
jika ada orang memanggil “Pak Haji,” maksudnya diri hamba ini. Maklumlah
sebelumnya tak terbiasa dipanggil dengan atribut “Haji.”
Menariknya, pemakian dan penyebutan gelar haji hanya ada di
Indonesia. Khas Indonesia. Tak ada di negara lain. Baik orang Timur Tengah
maupun orang Barat tak ada tradisi penyebutan gelar haji, termasuk untuk mereka
yang telah berkali-kali naik haji.
Sudah lama penyebutan atau panggilan “Haji” kepada seseorang
menjadi perkara. Kebetulan kini jelang beberapa bulan lagi waktu naik haji,
kembali gaduh soal debat ini.
Orang awam sekali pun, sebagian besar, sudah hafal, ada lima
rukun Islam: membaca dua kalimat syahadat, melaksanakan sholat, menjalankan
ibadah puasa pada bulan Ramadhan, membayar zakat, dan pergi haji, jika mampu.
Secara sederhana kata haji dari bahasa Arab 'hajj' yang betarti pergi haji .
Secara ringkas pula, ada beberapa teori mengapa dan sejak
kapan gelar haji ini dipakai di Indonesia?
Teori pertama, berkeyakinan, gelar haji sudah muncul dan
disebut dalam kebudayaan pra-Islam pada kerajaan-kerajaan nusantara , dan atau
pada era Hindu-Budha. Pada masa itu, telah dipakai istilah “Haji” atau “Aji “
yang berarti "Raja".
Dalam sejarah Nusantara pra-Islam, “Haji “ atau “Aji” juga
merupakan gelar untuk penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan
tetapi posisinya di bawah Maharaja.
Pemakian gelar ini terutama ditemukan dalam pratasi-prastasi
bahasa Melayu Kuno, Sunda, dan Jawa.
Contohnya,
legenda Jawa Aji Saka. Nama Aji Saka bermakna "Raja
Permulaan".
Teori kedua, menerangkan gelar haji secara formal berasal
dari pemerintah kolonial Belanda. Gelar itu diberikan kepada orang-orang yang
baru pulang naik haji. Waktu itu pemerintah kokonial Belanda menduga
orang-orang yang baru pulang naik hajilah yang menjadi pelopor nasionalisme
perlawanan terhadap pemerintah penjajah Belanda.
Jadi, untuk memudahkan pengawasan orang yang baru pulang
haji, oleh penjajah disebutlah mereka Haji. Tak tanggung-tanggung , untuk itu,
tahun 1916, penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang
yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar haji.
Memang jika disimak, pada sekitar priode itu sejumlah tokoh
Islam Indonesia selepas menunaikan ibadah haji mendirikan berbagai organisasi Islam.
Tercatat Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam usai
ibadah haji pada 1905.
Lantas ada KH Ahmad Dahlan, seusai pulang ibadah haji,
mendirikan Muhammadiyah pada 1912. Pada tahun yang sama Oemar Said
Tjokroaminoto mendirikan Sarekat juga selepas kembali dari ibadah haji.
Ada pula KH Hasyim Asy'ari usai ibadah haji mendirikan
Nahdlatul Ulama pada 1926.
Jadi, oleh pemerintah
penjajah Belanda, gelar haji lebih merujuk kepada orang-orang yang telah naik
haji dan patut diawasi lantaran semangat nasionalismenya.
Teori ketiga menjelaskan dulu naik haji tidaklah sesederhana
kiwari. Selain lama dan harus berpisah dengan keluarga, mereka juga seperti
mempertaruhkan nyawa.
Bukan hanya berbulan -bulan, mereka sampai dua tiga tahun
baru dapat kembali dari menunaikan ibadah haji. Mereka harus pula menembus
gelombang ombak yang besar dan berbagai kesulitan lainnya, termasuk
mengeluarkan dana yang besar.
Banyak yang melaksanakan ibadah haji sambil belajar atau
bekerja di rantau. Mereka juga berinteraksi dengan warga bangsa lain yang
kebetukan juga sedang menunaikan ibadah haji, secara intens di sana.
Kalau kemudian jika sakit dan meninggal saat melaksanakan rukun
haji, beritanya waktu itu, sampai ke tanah air masih simpang siur karena komunikasi masih sulit
dan orang yang kembali dari haji juga lama. Tak heran, orang yang dulu naik
haji, terkadang tidak pulang lagi dan hilang begitu saja.
Oleh lantaran itulah, sebelum naik haji biasanya keluarga
yang mau naik haji, pada zaman dulu melaksanakan upacara selamatan. Mereka
mendoakan agar segalanya berjalan lancar dan selamat.
Maka secara sosiologis, masyarakat yang telah kembali dari
menunaikan ibadah haji, diberikan penghormatan dan kedudukan yang tinggi.
Mereka ditandai dengan panggilan dan sebutan “Haji.”
Nah, tradisi ini masih terus berlangsung sampai sekarang.
Orang yang sudah berhasil melaksnakan rukun Islam kelima, naik haji, status
sosialnya diletakan pada tempat yang tinggi. Terhormat. Manefistasinya, mereka
ditandai dengan sebutan atawa panggilan “Haji.”
Dari uraian ini dapat disimpulkan beberapa hal.
Dari aspek keagamaan, ibadah haji merupakan rukun wajib Islam
kelima, bagi yang mampu melaksanakannya.
Dari sudut ini, haji bukanlah gelar, karena memang tak ada gelar buat
itu.
Bagi kalangan ini,
secara normatif, haji adalah pelaksanaan ibadah rukun Islam kelima dan
bukan gelar bagi seseorang. Tak ada ketentuan yang mengharuskan orang telah
menunaikan ibadah haji, diberi gelar “Haji” atau dipanggil “Haji,” mamang.
Apalagi pihak ini
menegaskan, arti “haji” adalah orang yang menjadi tamu Allah ketika menuaikan
haji. Jadi, setelah kembali ke tanah air, sudah bukan tamu Allah lagi, sehingga
sebutan “Haji” tidak cocok dan tidak relevan sama sekali.
Tak heran sebagian ulama dan kaum intelektual keberatan dan
menolak adanya panggilan atau sebutan “Haji” kepada seseorang.
Sebaliknya dari aspek sosiologis, dari sudut pandang
kebudayaan, penyebutan “Haji,” sudah berjalan lama. Penyebutan gelar “Haji”
yang sempat merujuk kepada kaum nasionalisne radikal, telah berubah menjadi
sebuah penghargaaan. Sebutan atau panggilan “Haji “ merupakan suatu kehormatan.
Secara sosial dahulu begitu sulitnya menunaikan ibadah haji.
Penuh perjuangan dan bahaya serta memerlukan ketabahan luar biasa. Pada saat
ini pun naik haji bagi sebagia rakyat sahaya atau para kawula tetap bukan
perkara mudah. Selain membutuhkan biaya yang tak sedikit dalam ukuran
masyarakat kebanyakan Indoensia, juga masih harus antri panjang bertahun-tahun.
Berdasarkan hal itu, penghargaan terhadap orang yang
akhirnya berhasil naik haji, sangat beralasan. Meletakan orang yang telah
menunaikan ibadah haji dalam tempat terhormat, sama sekali tidak salah.
Dengan demikian, dari sudut ini, panggilan atau penyebutan
“Haji” atau “Pak Haji” (untuk perempuan menjadi “hajjah”) memiliki dasar
sejarah dan alas pembenar yang kuat. Ini penghormatan terhadap perjuangan
terhadap seorang umat Islam yang telah berhasil menunaikan rukun Islam kelima
dengan selamat. Lantas apa salahnya jika kepada mereka diberikan panggilan atau
sebutan kehormatan “Haji” atau “Hajjah?” Tak ada yang salah.
Dalam konteks penyebutan dan panggilan “Haji” makna kata
“Haji” secara sosiologis sudah mengalami penambahan atau pergeseran dalam
kebudayaan Indonesia. Kata “haji” tak lagi semata-mata bermakna hariah,
melainkan juga sudah menjelma menjadi bagian dari penghormatan masyarakat
kepada orang yang berhasil menunaikan rukun Islam kelima.
Kalau begitu mana yang benar dong? Hamba berpendapat,
dua-duanya benar. Dari tinjauan perpektif agama memang tak ada dasar penyebutan
dan panggilan “haji,” meskipun tak ada pun larangan penyebutan dan panggilan
“Haji.”
Dari tinjauah sosiologis dan kebudayaan, sebutan atau
panggilan penghormatan “Haji” merupakan hal yang wajar. Dan yang terpenting
penghormatan panggilan dan penyebutan itu tidak bertentangan dengan aqidah
agama Islam. Sebutan dan panggilan itu tidak mengandung kontrakai dengan ajaran
Islam. Dia tidak mesekutukan Allah, bahkan menghormati Allah melalui
penghormatan terhadap sesama hamba Allah yangbsudah berhasil menunaikan ajaran
Allah, rukun Islam kelima.
Islam agama sangat
demokratis. Para pihak yang pro kontra terkait soal ini, silakan menjalankan
pendpatnya masing-masing. Bagi yang tidak setuju dan keberatan terhadap sebutan
dan panggilan “Haji” di masyarakat, tentu boleh menyatakan menolak terhadap
sebutan dan pengilan itu. Sebaliknya bagi mereka yang masih merasa perlu dengan
simbol-simbol penyebutan dan pangilan kehormatan “Haji” dalam kehidupan dan
penghidupan keseharian, juga dipersilakan melanjutkan.
Adapun yang tidak boleh adalah, saling mengujat. Saling
menghina. Merasa paling benar sendiri. Merasa pemegang otoritas tunggal dalam
menafairkan agama di masyarakat, sedangkan yang lain tidak berhak, salah dan
haram hukumnya.
T a b i
k.*
Bersambung…..
Penulis adalah wartawan dan advokat senior dan Dewan Pakar
Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/opini pribadi.
0 Comments