Wina Armada Sukardi. (Foto: Its/koleksi pribadi Wina AS) |
“APA yang paling dicari selama bulan Ramadhan,” tanya
seorang penceramah, dalan tausiah setelah sholat wajib subuh di mesjid dekat
rumah kami.
Jawaban para jemaah macam-macam, mulai dari mencari keridohaan Allah sampai mencari
ampunan. Setelah itu penceramah menyela, “Jujur aja deh! Selama bulan Ramadhan
ini yang paling dicari-ceri oleh kita, cuma adzan maghrib!” Jemaah tertawa, dan
ada yang cengar-cengir.
“Buktinya berdasarkan survei, adzan maghrib selama bulan
puasa menempati posisi paling tinggi yang ditonton atau didengar masyarakat!”
Ceramah atau tusiah di mesjid memang menyangkut
masalah-masalah religius. Dari keimanan, ketaqwaan sampai manfaat puasa.
Perkara ini tentu urusan serius. Oleh sebab itu, sebagain besar penceramah
menyampaikannya dengan serius pula.
Kendati begitu, ada penceramah yang menyelipkan humor-hunor
atau lelucon dalam ceramahnya. Nampaknya mereka faham, jemaah mungkin sudah
cape dan sebagia masih atau sudah mengantuk, padahal pesan-pesan keagamaan
harus tetap diberikan. Tapi bagaimana supaya misi itu sampai dengan
efektif kepada jemaah?
Di sinilah beberapa penceramah menyelipkan humor. Meskipun humor
ini biasanya tetap dikaitkan dengan pesan yang ingin disampaikan Sang
Penceramah. Ada yang untuk menyindir, ada yang untuk memperlihatkan Keagungan
Allah, atau betapa mulianya ahlak Nabi Muhammad SAW.
“Coba perhatikan, semua bulu di kepala kita, cepat
tumbuhnya, tapi kenapa alis ya segitu-gitu saja?!” kata seorang penceramah
beretorika.
Pada bagian lain dia mengambil contoh gigi. ”Ayo kenapa
setelah dewasa gigi gak tumbuh lagi? Bagaimana kalo gigi kita tumbuh terus,
kayak rambut! Bisa serem dan bahaya tuh!”
Kata seorang penceramah memancing.
Lantas akhirnya dia “menembak” dengan “klimaks.” Si
Penceramah menuturkan, Allah sudah mengatur semuanya dengan baik. “Dia
menciptakan ASI buat para bayi. Dari kecil orang udah dikasih rejeki
masing-masing. Apa gak hebat tuh?
Hebatnya lagi, susu manusia cuma dua, dan letakannya udah diatur di sana. Coba bagaimana
kalo kayak kucing atau anjing. Susunya banyak, berlerot dari atas ampe bawah?
Gimana kalau manusia seperti itu? Susunya lebih dari dua dan letaknya
dimana-mana,” ujarnya
Anggota majalis jemaah subuh di mesjid ada yang tertawa dan
ada yang cuma senyam-senyum saja. Relevansinya penceramah ingin memberitahu
Allah dengan segala kekuasaan-NYA telah membentuk manusia menjadi mahluk
terbaik.
“Masuk barang” itu. Maksudnya, dengan cara humor seperti ini
memungkinkan jemaah sholat subuh di mesjid menjadi lebih mudah mencernanya, di
samping menjadi tidak mengantuk.
Penceramah lain
berbeda pula. Manakala sedang serius-seriusnya membahas suatu topik, tetapi
dengan tiba-tiba dia berujar,”Waduh, kok dingin bener disini!” Rupanya dari
tadi dia sudah sangat kedinginan.
Salah satu AC di mesjid tempat kami sholat subuh memang
terpasang di dinding di belakang mimbar atau dengan kata lain, letaknya tepat
di belakang penceramah. Rupanya dia kedinginan, tapi tak ada yang
mengetahuinya.
Jadi, waktu dia tiba-tiba bilang kedinginan, jemaah agak
terkejut dan terasa lucu.
Ikwal ada unsur humor dalam kotbah di mesjid, hamba ingat
saat masih kuliah di Fakultas Hukum UI di Rawamangun, Jakarta Timur. Sekarang
kampusnya sudah dipakai oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Waktu itu kalau
sholat Jumat, para mahasiswa sholat di mesjid dekat asrana Daksinapati itu.
Di mesjid itu para penceramah sholat Jumat kalau sedang
kotbah sangat sering mengemukan materinya dengan humor. Ini dilakukan untuk
mengeritik pemerintah Orde Baru waktu itu.
Rezim di bawah pimpinan Pak Harto pemerintahnya sanga
represif. Untuk mengeritiknya harus berhati-hati, termasuk di lembaga
keagamaan. Humor menjadi salah sarana untuk dapat masuk memgeritik pemerintah.
Kalau tidak lewat cara humor, lelucon atau tawa mungkin para khotib waktu itu
sudah masuk black list atau daftar
hitam pemerintah. Konsukuensinya bisa dihukum atau bahkan “dihilangkan.” Tetapi
melalui humor mereka tidak dianggap menghina pemerintah, tapi pesan agamaya
tetap tersampaikan.
Secara teoritus humor tidak sekadar menghasilkan tawa
belaka. Humor atau kelucon berdasarkan
teori-teori psikologi diinilai sebagai fenomena sosial. Dalam hal ini, tawa
membawa pesan, mengampaikan misi. Di balik tawa, ada sesuatu yang ingin
disampaikan dan dapat sampai pada taraf untuk mempengaruhi. Dengan begitu humor
tidak sekadar menghasilkan tawa.
Dalam bukunya “Sense of Humor and Dimention of Personlity,”
Lefcourt dan Martin (Woshington : 1993) sudah menegaskankan, tertawa tidak
selalu dipicu rasa lucu. Sebaliknya tragedi dapat menghasilkan senyum dan tawa.
Rasa lucu, kata psikopog Elizabeth E. Hurlock, dapat
mengubah persepsi kita mengenai sesuatu hal. Sedangkan menurut John Sorey dalam
bukunya “Cultural Studies and The Stydt of Populer Culture: Theoriea and
Method,” jelas ada makna di balik kelucuan
Lebih jauh lagi, Arhur Koestler setelah melalukan penelitian
panjang, dalam bukunha “The Art of Creation” yang terbit tahub 1989
menyimpulkan, lelucon adalah proses intelektual.
Maka kehadiran humor pastilah memiliki alasan yang kuat.
Sementara bagi Arthur Koestler humor bukan untuk merendahkan manusia, tetapi
sebaliknya untuk mengangkat harkat martabat manusia.
Para penceramah atau khotib mungkin tidak membaca
teori-teori humor atau lecucon yang berasal dari barat tersebut, namun beberapa
dari mereka telah mmenerapkannnya secara intinktif.
Lewat humor atau lelucon yang mereka selipkan di antara
ceramah atau kotbah mereka, merupakan bagian dari dakwah untuk meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan para pendengarnya. Di balik tawa mereka memberikan pesan
dan misinya untuk menyakinkan, Allah Maha Kuasa.
T a
b i k***
Bersambung…..
Penulis adalah wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar
Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/ opini pribadi.
0 Comments