Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (16): Niat Ingsun

Wina Armada Sukardi. 
(Foto: Ist/koleksi pribadi Wina AS)   



Oleh: Wina Armada Sukardi

 

SELAMA ini hamba hampir tidak pernah melihat dirinya ketika sholat subuh di mesjid.  Rasa-rasanya dia bukanlah jemaah sholat subuh, setidaknya di mesjid dekat rumah hamba. Makanya hamba tak dapat mengenalinya.

Namun, alhamdullilah, belakangan ini, hamba malah selalu melihat dirinya rajin ikut sholat subuh di mesjid. Kalau hamba melihat ke arahnya, terkadang dia tersenyum ke hamba. Mau tak mau hamba pun balik tersenyum kepadanya.

Bukan hanya itu, beberapa hari kemudian dia malah sudah sholat dekat hamba. Tentu, jika ada orang yang menjadi ”anggota baru” jemaah sholat subuh di mesjid, hamba ikut senang, karena berarti tambah lagi manusia pencinta Allah, pencita sholat subuh di mesjid.

Setelah sekitar dua minggu terus menerus sholat subuh di mesjid, sewaktu bubar sholat subuh,  dan sudah di depan perkarangan mesjid mengambil sandal, seorang tetangga memperkenal dirinya kepada hamba. Kami pun saling bersalaman. Kami ngobrol-bgobrol sejenak sebelum pulang ke rumah.

Tahulah hamba dia tinggal masih satu RW dengan hamba. Dia pensiunan PNS dan kini memiliki beberapa rumah kontrakan.

Mungkin inilah salah satu gunanya sholat subuh di mesjid: memperoleh teman baru. Apalagi lebih ke sini, dia juga beberapa kali jika sholat subuh di mesjid, sudah duduk bersebelahan dengan hamba.

Beberapa hari setelah orang yang memperkenalkannya kepada hamba, seusai sholat subuh seperti pertemuan pertama sebelumnya, menjelaskan jemaah baru sholat subuh berjmaah di mesjid ini berminat membeli salah satu tanah milik hamba.

Memang kebetulan manakala anak gadis hamba masih SMA, dia termasuk “Abas” alias “Anak Basket. “ Untuk latihannya kebetulan saat itu ada sebuah rumah tetangga yang letaknya sangat dekat dengan rumah hamba, mau dijual, dan pas hamba  pun sedang diberikan rejeki oleh Allah.

Singkat cerita, lantaran antara pemiliknya dengan hamba sudah saling mengenal, perundingan berjalan lancar. Sebagai sesama tetangga, waktu itu hamba memberikan harga yang memadai buat dirinya. Dalam artian, harganya sedikit di atas rata-rata nilai pasar. Memberikan rezeki ke tetangga merupakan hal yang membahagiakan hamba.

Setelah rumah itu hamba beli, bangunanya lantas hamba hancurkan. Lantainya hamba perkuat dan pleaster dengan semen. Di ujung kiri kanan, hamba pasang ring basket. Jadi sebuah lapangan basket. Di situlah anak gadis hamba sering berlatih basket.

Begitulah mungkin cinta seorang ayah kepada anak gadisnya.  Sepanjang mampu, dan memberikan kegiatan yang positif, apapun yang diperlukan sang anak gadis, sejauh mungkin bakal dipenuhi ayahnya.

Hal yang sama terjadi pada diri hamba. Lantaran sewaktu SMA anak gadis hamba hobby main basket, sebagai Ayah yang kebetulan saat itu diberikan kemampuan, hampa pun menyediakan lapangan basket buat anak gadisnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, anak gadis hamba lulus SMA dan  kuliah di fakultas hukum. Dia mulai tak aktif lagi di dunia basket dan tak lagi memakai lapangan basket yang dibuat khusus ayahnya buat dia. Jadi lahan tersebut menjadi kurang bermanfaat.

Makanya kalau memang ada orang yang berminat membelinya lahan itu, hampa dapat “memikirkannya“ untuk melepasknnya (baca: menjualnya).

Beberapa tetangga hamba mengetahui hal ini. Di sinilah kelebihan tetangga lingkungan hamba yang banyak berasal dari etnis Betawi. Urusan ketersediaan jual beli tanah mereka amat piawai. Kalau kita mau membeli tanah, di daerah manapun, pasti mereka bakal memperoleh informasi dan datanya. Begitu pula jika kita ingin menjual tanah, mereka pasti mampu mencarikan pembelinya.

Kenapa begitu? Jika transaksi jual belinya berhasil, tentu mereka sebagai mediator memperoleh hasil juga. Umumnya 2,5 persen dari nilai transaksi.

Demikian pula dengan lahan lapangan basket milik hamba. Dengan cepat mereka sudah memperoleh informasi dari hamba dan, entah dengan cara bagaimana, mereka selalu saja dapat mencari pembelinya. Termasuk jemaah sholat subuh berjemaah di mesjid yang baru ini.

Sebagai sesama jemaah sholat subuh di mesjid, hamba berpikir, kami harus saling melengkapi. Saling menolong. Maka perundingan tak berlangsung lama.

Hamba memberikan kepadanya harga yang  relatif murah. Maklumlah sesama jemaah sholah subuh di mesjid yang sama, hamba tidak terlalu melulu berhitung untung rugi lagi. Membantu memberikan kebahagian kepada sesama jemaah sholat subuh di mesjid, merupakan sesuatu yang membahagia hamba. Apalagi tetangga satu RW.

Di notaris semua kelengkapan dan keabsahan tanah diperiksa. Tak ada masalah sama sekali. Semuanya sah. Semuanya lengkap. Oleh sebab itu, transaksi berjalan mulus. Tanah pun berpindah tangan.

Adapun yang terutama hamba sesungguhnya ingin kisahkan,  bukan soal transaksi jual beli lahan lapangan basket milik hamba . Namun soal ini:

Beberpa hari sesudah transaksi rampung, hamba masih melihat pembeli tanah hamba itu sholat subuh di mesjid, tapi duduknya sudah agak jauh dari hamba. Sesudah sekitar seminggu, hamba tidak pernah lagi melihatnya sholaat subuh di mesjid.

Hamba tanya kepada para tetangga, apakah mungkin dia sakit atau bagaimana? Ternyata dia sehat-sehat saja. Cuma sudah tidak sholat subuh berjemaah di mesjid lagi. Begitu pula, setelah pembeli tanah dari hamba, dia sudah tidak pernah berkomunikasi dengan hamba.

Di sinilah pepatah lama masih berlaku: dalamnya laut dapat diukur, hati manusia siapa yang tahu?

Tak ada satu pun yang saling mengetahui apa niat jemaah yang sholat subuh di mesjid. Hamba yakin sebagia besar jemah sholat subuh di mesjid dekat rumah hamba, memang ingin mengabdi dan mewujudkan rasa tunduk dan patuh kepada Allah. Kendati begitu, barangkali selalu ada satu dua orang yang sholat subuh di mesjid hanya dengan niat ingin menerapkan strategi bisnis, atau pendekatan terhadap sesama jemaah saja. Setelah hal itu tercapai, mereka pun kembali meninggalkan sholat subuh berjemaah di mesjid.

Kata orang, niat ingsun, atau niat orang, memang siapa yang faham?  Termasuk niat masing-masing sholat subuh di mesjid? Kalaulah niatnya bukan semata-mata menyerahkan diri kepada Allah, tentu meninggalkan sholat subuh di mesjid bukanlah perkara yang luar biasa bagi mereka. Jika tujuan sudah tercapai, boleh jadi mereka tak peduli lagi dengan sholat subuh di mesjid.

Astafirullah.

      T  a  b  i  k *

 

Bersambubg…..

 

Penulis adalah wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi.


Post a Comment

0 Comments