![]() |
Kamera ini terpasang di masjid. (Foto: Istimewa) |
BERDALIH menerapkan ajaran “ambil yang baik-baik, dan
tinggalkan yang buruk-biru,” sampai saat ini di mesjid masih sering terjadi
kehilangan alas kaki. Sandal atau pun sepatu. Juga pada sholat subuh. Apakah
karena diambil anak-anak yang belum faham nilai-nilai baik buruk, ataukah oleh
orang yang dewasa yang sengaja menukar sendal atawa sepatu mereka yang butut
dengan gantinya yang bagus.
Tentu ini sesuatu yang sangat memprihatinkan. Mesjid adalah
rumah Allah. Rumah yang harus dihormati. Mesjid juga merupakan tempat siar
ajaran agama Islam. Dari mesjid diajarkan menerapkan ahklak yang luhur.
Dari mesjid diajarkan pula untuk menghindari hal-hal yang
buruk. Dengan demikian, sejati di mesjid semuanya harus sesuai ajaran Islam.
Ahlak harus ditegakkan. Di rumah Allah tidak boleh ada pencurian, apapun,
termasuk sandal dan sepatu, dengan alasan apa saja. Haram hukumnya mengambil
milik orang lain. Ini harus menjadi “doktrin” utama dalam penerapan ajaran Islam.
Hal ini harus pula disosialisasikan kepada semua pihak,
terutama anak-anak. Mesjid ialah tempat suci yang tidak boleh terjadi kejahatan
apapun. Jangankan sandal dan sepatu hilang, jika ada emas berlian atau uang
yang tertinggal atau jatuh di mesjid saja, pemiliknya harus dijamin bakal
memperolehnya kembali. Semua niat buruk di mesjid harus ditanggalkan. Di
mesjidlah nilai-nilai kebaikan patut diharapkan dan diterapkan. Jemaah harus
dibuat nyaman di mesjid. Tak boleh ada perasaan was-was nanti sandal atau
sepatu penulis hilang. Barang berharga sekalipun di mesjid harus dijamin aman.
Jika ke mesjid orang harus merasa barangnya diletakan di
mana saja, dijamin pasti bakal aman dan kembali. Selama di mesjid, barang apa
saja, yang jatuh atau hilang, tak bakalan lenyap. Harus dibuat dan dilaksanakan
mesjid itu lambang kejujuran. Dilarang keras menodai mesjid dengan sikap
kriminal yang sekecil apapun, termasuk mencuri sandal dan sepatu. Tapi yang
terjadi selama ini justeru sebaliknya. Di mesjidlah sering terjadi hilangnya
sepatu atau sandal yang bagus.
Jika ada “jemaah palsu,” artinya orang ke mesjid bukan untuk
benar-benar sholat, tapi melakukan kriminal seperti tetapi tidak terbatas pada
mencuri, harus dipastikan mereka harus dihukum seberat-beratnya, termasuk
sanksinya sosialnya. Agar dia malu. Agar keluarganya malu. Dengan begitu
diharapkan mesjid menjadi steril dari kejahatan. Perilaku manusia di mesjid
harus dipastikan menjadi sudi tauladan.
Bukan hanya hanya sebatas sandal dan sepatu, pengalaman
penulis sholat subuh di mesjid pun ternyata masih sering terjadi pencurian
motor. Padahal sebelum sholat, motor masih dijaga dan diwasi beberapa orang.
Dan batas antara sholar dengan pengawasan beda tipis. Tapi tiba pada waktu
sholat subuh, si maling secepat kilat mampu mencuri motor. Ini kan berarti dia
sudah mengamati situasi mesjid pada subuh hari dengan cermat. Pastilah para
maling sudah mengamati keadaan berhari-hari sebelumnya, sehingga mereka faham
benar kapan momen untuk mencuri.
Kejadian ini sudah beberapa kali terjadi.
Rupanya para pencuri sudah tidak takut lagi kepada Tuhan.
Tidk gentar kepada Allah. Mereka tak peduli mencuri di rumah Allah. Tak ada sebiji pun rasa sungkan mencuri di
rumah Tuhan. Di Mesjid. Ketamakan dan jalan pintas mencapai materi di dunia,
lebih utama bagi para penjahat itu ketimbang menyadari mencuri di rumah Tuhan
merupakan perbuatan tercela yang luar biasa. Perbuatan dosa besar. Mereka gak
peduli. Masa sabadoh rumah Tuhan atawa bukan. Mereka sudah tidak lagi memiliki
kepekaan sosial.
Menyadari fenomena ini, akhirnya pengurus mesjid memutuskan
memasang CC TV atau kamera pengintai. Beberapa kamera dibpasang menghadap ke
depan dan dapat memantau perkarangan dan tempat parkir mesjid. Begitu juga di dalam mesjid dipasang beberapa
kamera. Setelah pemasangan kamera, di tempel striker kecil: mesjid ini diawasi
oleh kamera, lengkap dengan gambar CC.
Adanya kamera ini memungkinkan diketahui apa yang sebenarnya terjadi.
Jika ada pencurian, khususnya pencurian motor, dapat dilihat dari rekaman siapa
pelakunya dan bagaimana melakukan pencurian.
Sebenarnya, ini hanya upaya membantu saja buat mengurangi
pencurian di lingkungan mesjid. Tetapi apa yang terjadi? Sejak adanya kamera,
ternyata hampir tidak ada lagi pencurian motor. Untuk sandal dan sepatu cuma
sekali dua kali saja, itu mungkin lantaran hanya tetukar.
Rupanya manusia dewasa ini kini lebih takut kepada
pengawasan melalu pengintaian kamera ketimbang takut kepada Tuhan. Bukti fisik
di duniawi lebih ditakutkan dibandingkan bukti yang dilihat oleh Allah dan
kelak diminta pertanggungjawaban “di alam sana.” Apakah jiwa para penjahat
memang demikian? Ataukah justeru hal itu
merefleksi rata-rata dari mentalitas kita?
T a b i k.*
Bersambung…
Penulis adalah wartawan dan advokat senior dan juga Dewan
Pakar Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/opini pribadi dan tidak
mewakili organisasi.
0 Comments