Wina Armada Sukardi. (Foto: Ist/koleksi pribadi Wina AS) |
“PAKAIAN sholat subuh kok kayak mau ke pesta,” kata isteri
penulis, suatu ketika saat beberapa tahun silam penulis mau sholat subuh di
mesjid. Penulis cuma tersenyum saja.
Memang setiap penulis sholat subuh ke mesjid, penulis upayakan
mengenakan busana yang serasi. Apapun macam dan corak pakian yang kenakan,
sedapat mungkin penulis upayakan tetap serasi. Mau memakai gamis, sarung,
celana sarung, pakian “pakistan,” baju koko, sampai jas, penulis upayakan
selalu serasi. Kombinasi warna dipadu sedemikian rupa, sehingga relatif cocok.
Mungkin hitam-hitam. Sarung atau celana sarung hitam dan pakian atas dengan
atau tanpa kerah berwarna hitam. Peci hitam. Waktu era sisa Covid-19 masih ada,
masker pun hitam. Itu kalau serba hitam. Tapi bisa juga dikombinasikan dengan
warna-warna lain yang matching.
Mungkin saja sebaliknya warna serba putih, termasuk kopiah
atau tutup kembali putih. Dapat juga atasan putih yang dapat dikombinasikan
dengar warna apapun.
Terkadang penulis memakai selendang dengan berbagai ukuran
panjang lebar serta pilihan aneka warna. Dalam hal ini termasuk yang
“tradisional” dari berbagai daerah di Indonesia.
Ingat, serasi tak berarti mewah, walaupun dapat pula memang
ada yang mewah.
Kenapa sholat subuh perlu memakai busana yang serasi?
Bukakah Allah tidak membutuhkan pakian yang serasi seperti itu? Cukuplah bagi
Allah keimanan dan ketaqwaan kita kepada-NYA.
Ya, memang Allah tidak membutuhkan busana yang serasi
seperti yang penulis pilih. Allah tidak memerlukan apapun dari kita, apalagi
sekedar memakai busana yang serasi. Betul itu, tapi perlu diingat justeru
kitalah yang memerlukannya. Kita yang membutuhkannya.
Memakai busana yang rapi dan terutama serasi, merupakan
salah satu wujud pribadi ikut menghormati Allah. Menjujung tinggi Alllah. Busana
serasi adalah cermin diri ingin memberikan yang terbaik buat Allah. Kita mau
mempersembahkan keserasian sebagai wujud simbol kita menempatkan Allah
benar-benar di tempat yang paling tinggi. Paling terhormat. Ketemu tokoh
penting di dunia saja, kita memilih busana yang pantas, apalagi menghadapi
kepada Allah di subuh hari.
Bila sepanjang kita telah melaksanakan kewajibannya dan
menghindari dari larangan Allah, barangkali sudah cukup. Allah tidak pernah
menuntut lebih dari kita. Namun sebaliknya kita sebagai umat-NYA, sebagai
hambaNYA, secara psikologis membutuhkan rasa ingin mengabdi.Rasa ingin
memberika. The best best, yabg
terbaik. Bhkan yang asal-asalan. Membutukan bukti nyata.
Berpakian yang serasi ketika sholat subuh di mesjid menjadi
bagian dari itu. Setidaknya buat penulis pribadi. Sebagai hambanya yang penuh
kekurangan dan kelemahan, kita senantiasa ingin memperlihatkan dan memberikan
yang terbaik kepada Alllah, dalam segala hal, ternasuk dalam busana. Kitalah
yang membutuhkan itu. Bukan Allah, sebab Allah sudah Maha Sempurna. Sedangkan
kita hanyalah mahkuk yang papa yang memerluka wujud pembuktian ikhwal kecintaan
kepada Allah.
Kendati tidak ada larangan, kita tidak ingin menghadap Allah
Sesembahan Segala Manusia dengan pakian ala kadarnya, apalagi yang lusuh dan
compang camping. Betapa tidak tahu diri dan tidak tahu malunya kita, saat
menghadap tokoh manusia, kita memakai pakaian yang baik, bahkan mungkin
juga terbaik, sementara sebaliknya
menghadap Allah kita berpenampilan sesuka kita.
Penampilan diri dengan busana yang serasi ketika sholat
subuh juga menambah rasa percaya diri kita. Dengan penampilan seperti itu kita
yakin dan percaya sudah berupaya memberikan lahir batin yang terbaik dari diri
kita kepada Allah.
T a b i k!
Bersambung…..
Penulis adalah wartawan dan avokat senior dan anggota Dewan
Pakar Pimpinan Pusat Muhamadiyah. Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak
mewakili organisasi.
0 Comments